Sejak Aristoteles menulis buku mengenai Politics and Rhetoric, kita disadarkan bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Proses penyampaikan pesan mulai dari proses kampanye, saat penyampaian pesan ke khalayak sampai meningkatkan citra dari politician sangat membutuhkan program komunikasi yang memadai. Mengkomunikasikan pesan politik bukanlah pekerjaan mudah, jauh lebih rumit dibandingkan dengan mengkomunikasikan pesan bisnis. Dalam politik segmentasinya lebih beragam karena khalayaknya sangat luas, dan khusus di Indonesia ditambah lagi dengan beragam budaya dari masyarakatnya.
Kompleksitas komunikasi ini ditambah lagi dengan perkembangan dari media massa dewasa ini, yang sudah sangat liberal, sehingga sumber informasi bagi masyarakat sangat beragam. Mengantisipasi ini semua dibutuhkan suatu pengenalan budaya dan media yang tepat, agar pesan yang disampaikan dapat diterima masyarakat dengan positif. Untuk itu pengalaman dan pengetahuan yang memadai dibutuhkan. Adapun berbagai strategi atau program komunikasi politik yang dapat kita lihat selama ini, yaitu :
1) Kampanye Politik
Kampanye Politik merupakan suatu manajemen dalam menarik minat massa, serta mengkomunikasikan program-program yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi khalayak. Kampanye Politik memerlukan pendekatan persuasif yang baik. Ketepatan dalam pengemasan, bahasa, media dan waktu dalam menyampaikan pesan tersebut sangat penting, terutama untuk keperluan komunikasi persuasif.
2) Penciptaan Citra
Dalam perjalanannya citra seorang politician harus selalu dijaga dan ditingkatkan di mata khalayaknya. Komunikasi Politik disini lebih dipahami sebagai upaya dalam membantu dan mengembangkan komunikasi yang dirancang untuk menjaga dan meningkatkan citra positif, didukung oleh pengalaman dan pengembangan program.
3) Komunikasi Kebijakan
Seringkali kebijakan yang dilontarkan direspon secara negatif oleh khalayak, oleh sebab itu Komunikasi Kebijakan dikembangkan untuk mengantisipasi kemungkinan itu. Diharapkan salah respon terhadap ide-ide dapat dihindari dan kesuksesan reputasi dapat diraih.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Komunikasi Politik merupakan salah satu fungsi dalam sistem politik yang amat penting. Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik sekaligus menyalurkan kebijakan yang diambil atau output dari sistem politik itu. Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui itu pula rakyat mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan pengawasan itu tersalur atau tidak.
Upaya peningkatan kualitas komunikasi politik menjadi kewajaran serta membudaya dalam diri masyarakat yang hidup dalam suatu sistem politik yang demokratis. Upaya tersebut juga diharuskan tetap berada dalam paradigma pandangan hidup dan ideologi nasional. Dengan demikian hal itu bukan saja tidak mengingkari nilai-nilai dasar yang menjadi hakikat atau jatidiri ideologi nasional, tetapi sekaligus memperkuat relevansi dan aktualitasnya. Adapun Indonesia sejak menyatakan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, esoknya makin memantapkan diri dalam naungan ideologi Pancasila.
PEMBAHASAN
A. Komunikasi sebagai Politik
Miriam Budiarjo (1984:9) merinci bahwa definisi “politik” mencakup 5 hal pokok, yaitu negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan distribusi/alokasi. Namun, at the core, politik adalah “kekuasaan”; tentang bagaimana kekuasaan diletakkan dalam lokus tertentu (misalnya negara), berkenaan dengan keputusan-keputusan yang mengikat seluruh warga, tentang kebijakan yang mengatur kehidupan bersama dengan bijaksana, dan tentang distribusi dan alokasi kekuasaan itu sendiri. Di sini kita memasuki wacana komunikasi sebagai politik.
Pada tahun 1984, Harold Laswell mendefinisikan “komunikasi” sebagai Siapa? Mengatakan Apa? Dengan Saluran Apa? Kepada Siapa? Dengan Akibat Apa? Apa yang tampak? Komunikasi adalah proses untuk meraih kekuasaan—power. Kenapa kekuasaan? Oleh karena inti politik adalah bagaimana “seseorang” mengatur “orang lain” menurut cara yang dikehendakinya. Bukankah ini konsep power sesungguhnya?
Kekuasaan adalah inti dari politik, karena kekuasaanlah yang menentukan apakah yang bersangkutan memang memegang “kuasa” tersebut. Caranya tidak lain dengan meletakkan komunikasi sebagai sebuah politik. Mengikuti Jurgen Habermas, teoritisi Kritis dari Jerman, komunikasi adalah proses perebutan pengaruh yang paling demokratis yang pernah ada. Ada beberapa “modal” untu k mempunyai kekuasaan. Beberapa yang cukup efektif adalah :
1. Kekuatan fisik (termasuk militer)
2. Uang (termasuk harta benda)
3. Jabatan
4. Pemerasan
Keempat “modal” tersebut memang cukup efektif dalam meraih kekuasaan, namun keempatnya adalah sarana yang tidak cukup fair dibanding komunikasi. Di dalam komunikasi mereka yang berebut kekuasaan harus mampu mempengaruhi orang banyak baik dengan cara-cara yang karismatikal ataupun cara-cara yang intelektual. Tak kurang dari akademisi Sibernetik yang mengabsahkan bahwa information is the power yang menegaskan bahwa penguasa informasi adalah pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.
B. Komunikasi sebagai Bagian dari Proses Politik
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell Jr. pada tahun 1966 menerbitkan bukunya yang kemudian menjadi buku monumental dalam politik dan pembangungan, yaitu Comparative Politics A Developmental Approach. Mereka memperkenalkan “sistem politik” yang keluar dari pemaknaan tradisionil “negara, pemerintah, nasion”. Katanya :
Political system includes not only governmental institutions… but all structures in their political aspect… A system implies interdependence of parts, and boundary of some kind between it and its environment.
Almond-Powell mengedepankan konsep sistem dengan mempergunakan basis berfikir dari David Easton yang mengatakan ada 2 hal yang penting dalam sistem yaitu “input” dan “output”. Keduanya merangka dalam sebuah proses :
Input → Conversion → Output
Di sini pula kita mulai meyakini bahwa politik terdapat satu fungsi pokok yaitu “Komunikasi Politik”. Fungsi komunikasi bergerak di dalam ketiga fungsi tersebut. Di dalam fungsi input misalnya berlaku dalam proses agregasi dan artikulasi kepentingan; dalam fungsi konversi di mana input diolah di dalam sistem politik untuk dijadikan output dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berasal dari input dan diolah dalam fungsi konversi disampaikan kepada warga masyarakat untuk dipatuhi serta dikoreksi apabila terdapat kekurangan. Secara khusus, Almond-Powell juga mengatakan bahwa komunikasi politik berperan sebagai pemelihara dan pengadaptasi (maintenance and adaptation functions).
C. Komunikasi sebagai Fungsi dalam Manajemen Politik
Di dalam praktek politik, maka penyelenggara intinya adalah pemerintah atau eksekutif. Di sini kita melihat bahwa komunikasi adalah bagian dari fungsi manajemen pemerintahan. Seperti diketahui, manajemen pokoknya terdiri dari 4 fungsi generik: planning, organizing, leading, controlling. Komunikasi merupakan instrumen yang melekat mulai sejak fungsi pertama hingga keempat. Namun, yang menjadi titik tumpu adalah pada perannya di-leading karena pada prinsipnya tugas manajemen adalah mencapai hasil. Hasil dapat dicapai jika keputusan (yang benar dan tepat) dibuat. They who made decission is leader.
D. Indonesia dan Komunikasi Politik
D. 1. Posisi Indonesia
Kepulauan nusantara Indonesia yang terdiri dari 13.667 pulau besar dan kecil mempunyai luas hampir 2 juta km2, dengan penduduk sekitar 220 juta orang. Ditinjau dari sudut geografi politik, maka dalam hal luas fisik dan jumlah penduduk, Indonesia tergolong dalam kategori very large size. Dalam hal penduduk, setingkat dengan negara-negara besar lainnya yang mempunyai penduduk di atas 100 juta, sedang dalam hal fisik geografi, satu tingkat di bawah negara-negara yang memiliki luas di atas 5,2 juta km2. Seperti diketahui, P.A. Reynolds mencoba mengklasifikasikan kekuatan-kekuatan negara yang ada dalam 5 kategori, yaitu (1) super power, (2) great powers, (3) medium powers, (4) small powers, dan (5) micro powers. Adapun klasifikasi negara-negara menurut fisiknya dibagi dalam : (1) gigantic size, (2) very large, (3) large, (4) medium, (5) small, (6) very small, dan (7) mediature size, yaitu memiliki luas kurang dari 2.250 km2. Sedangkan klasifikasi dari jumlah penduduk, yakni : (1) very large, (2) large, (3) medium large, (4) medium small, (5) small, dan (6) very small.
Meski Indonesia tergolong sangat besar dalam jumlah penduduk dan sangat luas wilayah teritorialnya, namun ia belum dapat dikategorikan sebagai super power atau bahkan great powers (J. Salusu, Indonesia dan Komunikasi Politik, 1993:264). Banyak syarat yang harus dipenuhi agar Indonesia meningkat dari kategori medium powers. Sebut misalnya tentang kekuatan militer dan kekuatan ekonomi. Kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih jauh di belakang, dan bahkan sering mengalami kesulitan dalam mengawasi lalu lintas kapal selam di perairan Indonesia, termasuk kapal-kapal penangkap ikan. Dari segi kekuatan ekonomi, GNP per kapita Indonesia masih menempati urutan belakang dari 10 negara Asia.
D. 2. Pokok-Pokok Komunikasi Politik Indonesia
Berikut ini akan dipaparkan mengenai Pokok-Pokok Komunikasi Politik Indonesia, yaitu :
Komunikasi politik dilakukan dalam rangka mengembangkan demokrasi. Oleh sebab itu komunikasi Politik di Indonesia dilaksanakan dalam rangka mengembangkan Demokrasi Pancasila.
Selain menjadi tujuan, Pancasila juga menjadi dasar pengembangan demokrasi, dan pedoman dalam kehidupan bernegara, berbangsa maupun bermasyarakat. Oleh sebab itu Komunikasi Politik yang dikembangkan di Indonesia adalah juga bagian dari pembangunan dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Komunikasi Politik di Indonesia bukanlah alat untuk pemecah belah, bukan alat untuk mempertentangkan birokrasi dengan rakyat, bukan pula sebagai alat untuk mempertentangkan struktur dan partisipasi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat, dalam pembangunan.
Komunikasi Politik di Indonesia bersifat terbuka, meskipun ini tidak berarti kebebasan mutlak, melainkan keterbukaan yang tertata dan teratur. Karena keterbukaan mutlak akan menimbulkan anarkisme, sedangkan tatanan saja justru akan mengakibatkan kebekuan. Oleh sebab itu keterbukaan membutuhkan tatanan, dan sebaliknya tatanan tidak mungkin dipisahkan dari keterbukaan. Keduanya saling membatasi, namun juga saling melengkapi dan mendorong pengembangan secara kreatif.
Sebagaimana demokrasi Indonesia yang bersifat dinamik dan integralistik, maka Komunikasi Politik di Indonesia juga demikian halnya.
Dinamik, karena Komunikasi Politik itu merupakan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kehidupan politik bangsa.
Berbicara mengenai dinamika, Komunikasi Politik pada dasarnya merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan demokrasi itu sendiri, yang tumbuh secara evolutif, bertahap, dari yang sederhana berkembang menuju ke tatanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman.
Mengenai sifat integralistik, UUD 1945 menegaskan bahwa negara meliputi dan melindungi segenap bangsa. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan mengatasi segala paham perseorangan. Oleh Mr. Soepomo, seorang perumus pasal-pasal UUD 1945 baik dalam sidang BPUPKI maupun PPKI, paham yang demikian ini disebutnya paham integralistik. Pendekatan dalam pengembangan Komunikasi Politik juga harus bersifat integralistik, karena ia mengemban misi persatuan.
Sifat integralistik menjadi semakin penting bila diingat kondisi bangsa Indonesia yang beraneka ragam corak dan budayanya. Komunikasi Politik sangat diharapkan mampu memupuk keutuhan bangsa yang beraneka ragam ini, atas dasar azas Bhinneka Tunggal Ika.
D. 3. Mekanisme Komunikasi Politik
Lancarnya komunikasi politik itu diharapkan memperlancar mekanisme pengambilan keputusan sesuai dengan sistem dan tujuan kenegaraan RI, karena komunikasi politik dan birokrasi sangat menentukan pertumbuhan demokrasi dalam rangka mencapai cita-cita bangsa, yakni kesejahteraan rakyat.
Birokrasi pada dasarnya diperlukan dalam pengembangan Komunikasi Politik, khususnya Komunikasi sebagai Fungsi dalam Manajemen Politik. Namun bobot peranannya akan selalu tergantung pada perkembangan sosio-politik, sosio-ekonomi dan sosio-budaya Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan Demokrasi Pancasila, maka pada era Reformasi birokrasi tetap memegang peranan penting dalam menumbuhkan komunikasi politik rakyat Indonesia. Namun demikian, pada akhirnya rakyatlah yang akan menentukan bobot komunikasi politik yang akan dijalankannya. Birokrasi bertugas menciptakan suasana agar komunikasi politik, baik secara vertikal maupun horisontal, dapat terlaksana secara dewasa, agar ia dapat menjadi pengayom sekaligus pelayan masyarakat di kemudian hari.
D. 4. Strategi Refleksi Dalam Komunikasi Politik
Pada era Orde Baru, terjadi komunikasi satu arah, dalam arti pemerintah sebagai pelaku pembangunan, sering memperlakukan rakyat hanya sebagai obyek pembangunan yang bersifat pasif. Akibatnya sering terjadi hambatan karena kurangnya kemampuan rakyat dalam berprakarsa. Dominasi pemerintah ini dianulir karena ingin cepat memperoleh keberhasilan dalam pembangunan, sehingga pemerintah pada masa itu cenderung mengesampingkan lembaga sosial yang ada. Di lain pihak, biasanya masyarakat tidak segera menunjukkan tanggapan positif pada hal-hal yang baru. Tak pelak Komunikasi Politik yang tercipta di Indonesia pada masa itu adalah Komunikasi Politik yang tidak wajar, ia menjadi komunikasi yang bersifat top-down dan tidak mengalami timbal balik sehingga tidak serta merta terjadi proses Komunikasi Politik yang berkelanjutan.
Jika kita mempersoalkan dominasi pemerintah yang terjadi pada era Orde Baru yang mengakibatkan terjadinya arus komunikasi satu arah ini, nampaknya Fred W. Riggs (1964:64) dapat memberikan jawabannya. Riggs mengemukakan bahwa di negara Dunia Ketiga ada 3 gejala, yaitu :
1. Formalitas
2. Overlapping
3. Heterogenitas
Yang dimaksud formalitas di sini adalah gejala adanya perbedaan antara yang tertulis/ formal/peraturan dengan pelaksanaan. Jadi lumrah saja jika realisasi suatu peraturan ternyata menyimpang.
Menurut Mochtar Pabottinggi (Indonesia dan Komunikasi Politik, 1993:64), ada 3 pendekatan yang harus sekaligus dilakukan jika kita ingin menciptakan suatu komunikasi politik yang dewasa di Indonesia, yaitu :
1. Kita harus mulai berpikir secara multiparadigma.
2. Kita harus menyadari bahwa ada ruang-ruang permasalahan politik di mana perbedaan pandangan akan selalu ada.
3. Kita harus saling memandang tanpa finalitas penilaian.
D. 5. Indonesia & Komunikasi Politik Kini
Perilaku politik berubah total tatkala Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, 21 Mei 1998. Sistem sosial dan politik berubah. Rakyat yang sebelumnya sangat terbelenggu, menjadi bebas bahkan terkesan liar. Tingkat partisipasi rakyat mencapai titik kulminasi tertinggi pada era ini. Rakyat yang dahulunya tidak mau protes kebijakan pemerintah, sekarang menjadi berani. Demonstrasi yang dahulu ditabukan, saat ini menjadi kegiatan sehari-hari. Habibie yang dinilai belum bisa menghapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) digugat, diprotes dan dipojokkan. Demikian pula era Gus Dur. Pada waktu ia melontarkan ide untuk mengampuni Soeharto, mahasiswa memprotesnya. Mereka sempat berdemonstrasi di jalan Cendana menuntut Soeharto diadili. Buntutnya, terjadi konflik fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Lain halnya pada era Megawati yang dinilai lambat bahkan “bisu” dalam merespon setiap permasalahan yang timbul di negeri ini. Hingga pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini pun, yang merupakan presiden pilihan rakyat Indonesia secara langsung, tetap sering didemo oleh rakyatnya akibat dari kebebasan politik rakyat atau ruang publik rakyat yang “kebablasan”.
Tak pelak siapa pun kini berhak mempergunakan Komunikasi Politik sebagai sarana dalam memperoleh kekuasaan. Adapun aktor atau komunikator dari Komunikasi Politik tersebut kini tidak hanya pemerintah, namun juga ada pihak-pihak lain. Intinya, setiap orang atau instansi atau lembaga, memiliki hak yang sama dalam ber-Komunikasi Politik, meski tentu saja akan terdapat perbedaan proporsi di antara kesemuanya. Dari para aktor tersebut masih ada satu aktor lagi yang justru paling penting peranannya dalam menyebarluaskan pesan para aktor Komunikasi Politik tersebut, yaitu Media Massa, baik cetak maupun elektronik. Hal ini karena media massa merupakan alat komunikasi yang paling dibutuhkan dalam mengubah persepsi masyarakat tentang para pemburu kekuasaan negara sehingga diharapkan masyarakat akan tertarik dengan pesan-pesanya (strategi politik) sehingga akan mendukungnya dalam proses Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali di Indonesia.
PENUTUP (KESIMPULAN & EVALUASI)
Komunikasi Politik, menurut H. Harmoko, pada intinya adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya. Komunikasi Politik adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh kekuasaan. Unsur-unsur dalam komunikasi pada umumnya terdiri dari: komunikator, komunikan, pesan, media, tujuan, efek, dan sumber komunikasi. Semua unsur tersebut berada pada 2 situasi politik dan struktur politik, yakni pada suprastruktur politik (Misal: Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) dan infrastruktur politik (Misal: partai politik, kelompok kepentingan, tokoh politik, dan media komunikasi politik).
Komunikasi Politik Indonesia terus mengalami dinamika mengikuti pergantian pemimpin negaranya. Setiap era memiliki karakteristik Komunikasi Politik yang berbeda. Saat ini Indonesia tengah berada dalam kondisi Komunikasi Politik yang benar-benar bebas dan terbuka. Namun perlu ditekankan bahwa makna kebebasan yang ada harus dibarengi dengan tanggung jawab yang bertujuan pada akhirnya untuk kepentingan bersama demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dan Nimmo. 2001. Komunikasi Politik Khalayan dan Efek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Fred W. Riggs. 1964. Administration in Developing Countries. Misslin Houhton.
Maswadi Rauf & Mappa Nasrun (editor). 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Redi Panuju. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2004. Komunikasi Pemerintahan. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Pada era Orde Baru, terjadi komunikasi satu arah, dalam arti pemerintah sebagai pelaku pembangunan, sering memperlakukan rakyat hanya sebagai obyek pembangunan yang bersifat pasif. Akibatnya sering terjadi hambatan karena kurangnya kemampuan rakyat dalam berprakarsa. Dominasi pemerintah ini dianulir karena ingin cepat memperoleh keberhasilan dalam pembangunan, sehingga pemerintah pada masa itu cenderung mengesampingkan lembaga sosial yang ada. Di lain pihak, biasanya masyarakat tidak segera menunjukkan tanggapan positif pada hal-hal yang baru. Tak pelak Komunikasi Politik yang tercipta di Indonesia pada masa itu adalah Komunikasi Politik yang tidak wajar, ia menjadi komunikasi yang bersifat top-down dan tidak mengalami timbal balik sehingga tidak serta merta terjadi proses Komunikasi Politik yang berkelanjutan.
Jika kita mempersoalkan dominasi pemerintah yang terjadi pada era Orde Baru yang mengakibatkan terjadinya arus komunikasi satu arah ini, nampaknya Fred W. Riggs (1964:64) dapat memberikan jawabannya. Riggs mengemukakan bahwa di negara Dunia Ketiga ada 3 gejala, yaitu :
1. Formalitas
2. Overlapping
3. Heterogenitas
Yang dimaksud formalitas di sini adalah gejala adanya perbedaan antara yang tertulis/ formal/peraturan dengan pelaksanaan. Jadi lumrah saja jika realisasi suatu peraturan ternyata menyimpang.
Menurut Mochtar Pabottinggi (Indonesia dan Komunikasi Politik, 1993:64), ada 3 pendekatan yang harus sekaligus dilakukan jika kita ingin menciptakan suatu komunikasi politik yang dewasa di Indonesia, yaitu :
1. Kita harus mulai berpikir secara multiparadigma.
2. Kita harus menyadari bahwa ada ruang-ruang permasalahan politik di mana perbedaan pandangan akan selalu ada.
3. Kita harus saling memandang tanpa finalitas penilaian.
D. 5. Indonesia & Komunikasi Politik Kini
Perilaku politik berubah total tatkala Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, 21 Mei 1998. Sistem sosial dan politik berubah. Rakyat yang sebelumnya sangat terbelenggu, menjadi bebas bahkan terkesan liar. Tingkat partisipasi rakyat mencapai titik kulminasi tertinggi pada era ini. Rakyat yang dahulunya tidak mau protes kebijakan pemerintah, sekarang menjadi berani. Demonstrasi yang dahulu ditabukan, saat ini menjadi kegiatan sehari-hari. Habibie yang dinilai belum bisa menghapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) digugat, diprotes dan dipojokkan. Demikian pula era Gus Dur. Pada waktu ia melontarkan ide untuk mengampuni Soeharto, mahasiswa memprotesnya. Mereka sempat berdemonstrasi di jalan Cendana menuntut Soeharto diadili. Buntutnya, terjadi konflik fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Lain halnya pada era Megawati yang dinilai lambat bahkan “bisu” dalam merespon setiap permasalahan yang timbul di negeri ini. Hingga pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini pun, yang merupakan presiden pilihan rakyat Indonesia secara langsung, tetap sering didemo oleh rakyatnya akibat dari kebebasan politik rakyat atau ruang publik rakyat yang “kebablasan”.
Tak pelak siapa pun kini berhak mempergunakan Komunikasi Politik sebagai sarana dalam memperoleh kekuasaan. Adapun aktor atau komunikator dari Komunikasi Politik tersebut kini tidak hanya pemerintah, namun juga ada pihak-pihak lain. Intinya, setiap orang atau instansi atau lembaga, memiliki hak yang sama dalam ber-Komunikasi Politik, meski tentu saja akan terdapat perbedaan proporsi di antara kesemuanya. Dari para aktor tersebut masih ada satu aktor lagi yang justru paling penting peranannya dalam menyebarluaskan pesan para aktor Komunikasi Politik tersebut, yaitu Media Massa, baik cetak maupun elektronik. Hal ini karena media massa merupakan alat komunikasi yang paling dibutuhkan dalam mengubah persepsi masyarakat tentang para pemburu kekuasaan negara sehingga diharapkan masyarakat akan tertarik dengan pesan-pesanya (strategi politik) sehingga akan mendukungnya dalam proses Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali di Indonesia.
PENUTUP (KESIMPULAN & EVALUASI)
Komunikasi Politik, menurut H. Harmoko, pada intinya adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya. Komunikasi Politik adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh kekuasaan. Unsur-unsur dalam komunikasi pada umumnya terdiri dari: komunikator, komunikan, pesan, media, tujuan, efek, dan sumber komunikasi. Semua unsur tersebut berada pada 2 situasi politik dan struktur politik, yakni pada suprastruktur politik (Misal: Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) dan infrastruktur politik (Misal: partai politik, kelompok kepentingan, tokoh politik, dan media komunikasi politik).
Komunikasi Politik Indonesia terus mengalami dinamika mengikuti pergantian pemimpin negaranya. Setiap era memiliki karakteristik Komunikasi Politik yang berbeda. Saat ini Indonesia tengah berada dalam kondisi Komunikasi Politik yang benar-benar bebas dan terbuka. Namun perlu ditekankan bahwa makna kebebasan yang ada harus dibarengi dengan tanggung jawab yang bertujuan pada akhirnya untuk kepentingan bersama demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dan Nimmo. 2001. Komunikasi Politik Khalayan dan Efek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Fred W. Riggs. 1964. Administration in Developing Countries. Misslin Houhton.
Maswadi Rauf & Mappa Nasrun (editor). 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Redi Panuju. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2004. Komunikasi Pemerintahan. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
(Tugas UAS Mata Kuliah Komunikasi Politik, S1 Ilmu Komunikasi UNS, Tahun 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komenku buat nitastory kali ini...