I. Pendahuluan
Tingginya angka kecelakaan serta masih semrawutnya lalu lintas dan angkutan jalan saat ini masih ditunggu oleh masyarakat Indonesia agar berkurang, meski muluk untuk berharap hilang tanpa bekas. Tragedi di jalan raya yang sering melanda tidak hanya terjadi karena satu faktor, namun saling berkaitan sehingga menciptakan lingkaran setan. Setiap pihak yang bertanggung jawab di dalamnya, yakni Polri, Departemen Perhubungan (Dirjend. Perhubungan Darat, DLLAJ Tk.I atau Tk.II), Jasa Raharja, dan Direktorat Jenderal Bina Marga harusnya dapat lebih bermoral dalam memanusiawikan situasi dan kondisi yang ada. Meski diakui semuanya memang tak terlepas dari budaya yang diciptakan oleh masyarakat Indonesianya sendiri.
Melalui sejarah, masyarakat Indonesia sesungguhnya telah dibesarkan dalam budaya yang mengagumkan. Nilai-nilai Pancasila yang mengalir dalam jiwa mereka seharusnya dapat menjadikan mereka sosok sempurna, yakni manusia yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai yang sebenarnya telah coba ditanamkan sejak di bangku sekolah dasar tersebut, kini nampaknya hilang entah kemana. Dewasa ini, ketika Indonesia dikatakan masih mengalami krisis multidimensi, namun bila dilihat di lapangan nampaknya tidak demikian.
Banyaknya perbedaan antara teori dan prakteklah yang menjadikan aspek keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesungguhnya telah apik diatur dalam UU RI Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjadi kacau balau ketika penerapannya. Oleh karena itu peran masyarakat selaku pengguna lalu lintas dan angkutan jalan harus terus ditingkatkan agar mampu mengatasi keadaan itu dengan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama yang bertanggung jawab. Namun diakui memang tidak semudah membalikkan telapak tangan karena yang akan diubah disini adalah sikap manusia Indonesianya yang kadung telah membudaya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
II. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Indonesia
Dalam UU RI Nomor 14 Tahun 1992, ditetapkan pengertian lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan; sedangkan angkutan adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah pelosok daratan dengan mobilitas tinggi dan mampu memadukan moda transportasi lain. Pengembangan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri dari jaringan transportasi jalan, kendaraan beserta pengemudinya, serta peraturan-peraturan, prosedur dan metoda sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna dan berhasilguna.
Menilik lalu lintas pada salah satu kota besar Indonesia, yakni Bandung dengan luas wilayah 16.730 ha, saat ini memiliki jumlah penduduk sekira 2.141.847 jiwa (tahun 2001). Panjang ruas jalan di Kota Bandung sekira 1.071 km dengan jumlah kendaraan mencapai 588.640 buah (samsat 1999). Perbandingan tingkat penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan tiap tahun di Bandung berkisar 0,6% : 12%. Angka itu menunjukkan ketidakseimbangan antara jumlah jalan dan kendaraan sehingga tak aneh bila Bandung semakin macet. Menurut Prof. Ir. Ofyar Z. Tamin MSc.Eng dari Departemen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), idealnya dalam satu wilayah kota, sekira 10-30% wilayahnya harus dialokasikan untuk pergerakan kendaraan, sedangkan di Bandung, hanya 2-3% wilayahnya yang dimanfaatkan untuk fasilitas jalan.
Apa yang terjadi di Bandung, banyak pula yang terjadi di kota-kota besar Indonesia lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemda setempat di antaranya melalui pelebaran jalan dan perubahan jalur dua arah menjadi satu arah. Langkah itu cukup bagus pada awal-awal pelaksanaan, namun lama-kelamaan langkah itu tidak berpengaruh lagi untuk mengurangi kemacetan. Penyebabnya adalah penggunaan lahan jalan untuk perparkiran, pedagang kaki lima, dan lain-lain. Keadaan diperparah ketika memasuki bulan puasa. Jalur jalan yang bisa digunakan berkurang drastis hingga satu jalur, tepatnya di daerah pasar-pasar yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang terkadang menjadi nigthmare bagi pengguna kendaraan.
Secara kuantitas tingkat keselamatan lalu lintas (kecelakaan) Indonesia mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir, namun secara kualitas (fatalitas) cenderung mengalami peningkatan. Secara kelembagaan, kinerja keselamatan lalu lintas dipengaruhi oleh jumlah lembaga yang menangani, semakin besar jumlah lembaga yang menangani maka kinerja keselamatan lalu lintas cenderung memiliki kinerja yang buruk. Dampak paling kentara dari krisis multidimensi yang melanda negeri ini dapat dilihat dari kondisi infrastruktur dan prasarana transportasi. Secara kasat mata, kita bisa melihat contoh nyata dari soal ini dengan semakin parahnya kerusakan jalan-jalan. Tak cuma jalan di dalam kota, jalan propinsi dan negara pun mengalami kerusakan yang sudah di luar batas kewajaran. Tengok saja, jalur utara Jawa Barat yang menjadi penghubung signifikan lalu lintas transportasi dari Jatim, Jateng, Jabar, dan DKI, seakan bukan sebuah jalan lintas nasional. Kerusakan fisik ditambah kelemahan dari segi sarana dan prasarana pendukung, membuat kondisi jalur ini ibarat "neraka" bagi pengemudi. Ironisnya, akibat masih belum bangkitnya perekonomian nasional, kondisi ini tak bisa diperbaiki secara maksimal. Makin lama, kerusakan-kerusakan yang terjadi semakin parah.
Permasalahan lain, yakni mengenai angkutan umum perkotaan (angkot) yang sebenarnya merupakan salah satu tulang punggung ekonomi perkotaan. Kota yang baik dan sehat dapat ditandai dengan melihat kondisi sistem angkutan umum perkotaannnya. Transportasi yang aman dan lancar, selain mencerminkan keteraturan kota, juga mencerminkan kelancaran kegiatan perekonomian kota. Angkutan umum harus direncanakan dan dikoordinasikan sebaik-baiknya sehingga pelayanan angkutan umum bisa menjamah setiap inci daerah perkotaan yang ada khususnya daerah pemukiman, perkantoran, dan pertokoan. Meski Indonesia tak bermasalah dengan jumlah angkot yang ada, namun yang patut menjadi perhatian adalah operasional angkot itu sendiri. Sering terjadinya rebutan penumpang, aksi kriminalitas di dalam angkot/bis, aksi salip dengan kendaraan pribadi, serta knalpot yang tak layak pakai menimbulkan fenomena tersendiri yang mengancam keselamatan para penumpangnya.
Kita dapat menyimpulkan bersama bahwa permasalahan angkutan umum di kota-kota besar di Indonesia memang cukup pelik. Hal yang selalu terlihat di lapangan adalah masalah di tingkat operasional berupa kenyamanan, tarif, waktu tunggu, waktu perjalanan, dan lain-lain. Namun permasalahan operasional itu merupakan hasil interaksi berbagai macam keputusan pada level sebelumnya, yaitu pada tingkat manajemen dan kebijakan. Masalah di perencanaan misalnya melibatkan pihak terkait dan berwenang seperti DLLAJ, DPU/DTK, pemda, bappeda, polisi, organda, pengusaha, dan dealer. Juga adanya jaringan trayek yang saling tumpang tindih, jumlah armada yang tidak sesuai kebutuhan, dan keberadaan terminal liar. Sementara dari segi kebijakan dan regulasi --melibatkan DLLAJ, polisi, organda, pemda, dispenda, pengusaha, dan menteri perhubungan-- permasalahan yang timbul misalnya dari masalah perizinan dan tarif.
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu bentuk dampak negatif paling parah dari aktivitas lalu lintas yang dibangkitkan karena adanya aktivitas sistem masyarakat. Oleh karenanya berbagai bangsa berupaya segala cara yang mungkin untuk menekan tingkat kecelakaan yang ada. Upaya tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda diantara berbagai negara karena perbedaan faktor budaya, tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya dan sebagainya, sehingga cukup sulit untuk mengukur dan membandingkan tingkat kerawanan lalu lintas suatu negara atau satu negara terhadap negara lainnya.
Dengan menggunakan metode "Traffic System Risk" diperoleh hasil bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Myanmar. Sedangkan negara lainnya seperti Thailand dan Philipina pada posisi yang relatif lebih baik, dalam arti resiko mengalami kecelakaan lalu lintas di kedua negara tersebut relatif lebih kecil. Untuk mengurangi angka kecelakaan disarankan penanganan keselamatan lalu lintas di Indonesia agar lebih komprehensif, dengan didukung sistem informasi dan manajemen kecelakaan yang handal sehingga setiap upaya dibidang keselamatan dapat lebih tepat sasaran dan efisien.
Di wilayah Indonesia terdapat lima daerah yang dinilai rawan kecelakaan lalu lintas, yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Lampung. Khusus di Jawa Barat, wilayah Cirebon adalah daerah yang paling tinggi persentasenya. Hal itu terjadi karena di Cirebon ada jalur pantura yang dikenal sangat rawan lakalantas. Di jalur ini, menurut data, terjadinya kecelakaan itu terjadi setiap 57 menit, baik yang menewaskan penumpangnya maupun tidak. Akibatnya angka kecenderungan pelanggaran disiplin di masyarakat membawa dampak yang cukup signifikan. Pada tahun 2001 ada 12.791 kasus kecelakaan dan tahun 2002 ada 12.267 atau hanya menurun 4,3 persen. Sedangkan korban mati sia-sia di jalan pada tahun 2001 tercatat 9.522, dan tahun 2002 tercatat 8.762 atau hanya menurun 7,98 persen. Sedangkan kecelakaan menonjol yang melibatkan massal seperti bus, pada 2001 tercatat 34 kasus, dan 2002 tercatat 49 kasus atau naik 40 persen. Sedang korban meninggal dunia dalam angkutan massal pada tahun 2001 mencapai 285, sedang pada 2002 tercatat 314 orang.
Tewasnya 55 Siswa SMK I Yapemda, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, di dalam bus AO Transport di depan PLTU Paiton, Situbondo, Jawa Timur, 8 Oktober 2003 lalu, adalah peristiwa nasional paling mengenaskan bagi dunia lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia. Pasalnya, korban tewas terbakar dalam bus yang juga terbakar akibat ditabrak truk dari depan dan belakang. Wajar apabila publik menyebutnya sebagai "Tragedi Situbondo". Namun, sopir dan kernet bus serta truk selamat dari maut karena mereka menyelamatkan diri sendiri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya lakalantas itu. Namun yang terutama, menurut Kababinkam Polri Komisaris Jenderal Drs. Adang Daradjatun, dari hasil analisis dan evaluasi Polri, terjadinya kecelakaan lalu lintas itu 91% diantaranya disebabkan faktor manusia (human error), sisanya karena faktor kendaraan serta faktor jalan.
Biasanya yang dimaksud human adalah pengemudi. Namun dalam pengertian safety initiative yang dimaksud human adalah semua orang yang terlibat dalam penggunaan sistem lalu lintas. Ini berarti bisa siapa saja, termasuk pembuat keputusan, kontaktor jalan, pengguna jalan, penghuni pinggir jalan dan pengemudi, pengemudi, kontraktor jalan, desainer jalan, pengelola jalan, pejabat, menteri bahkan pemerintah. Karena semua pihak yang terlibat dalam penggunaan teknologi lalu lintas adalah human, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua penyebab kecelakaan lalu lintas adalah human error. Dalam kecelakaan lalu lintas dikenal ada beberapa faktor yang paling mempengaruhi, yakni :
1) Faktor Peraturan
Kebijaksanaan yang memungkinkan beberapa jenis kendaraan berjalan dalam suatu ruas jalan telah memberikan kontribusi yang penting dalam kecelakaan lalu lintas. Jika sebuah truk lewat di jalan dimana disitu juga lewat sepeda motor, maka kemungkinan kecelakaan antara sepeda motor dan truk di jalan itu sangatlah tinggi. Walaupun tabrakan yang melibatkan kendaraan sejenis bisa berakibat fatal, namun akibat yang lebih fatal dari kecelakaan lalu lintas adalah jika kecelakaan itu melibatkan dua jenis kendaraan yang berbeda. Kebijaksanaan yang membiarkan jalan raya menjadi ladang bisnis menjadikan situasi jalan raya menjadi berbahaya. Di mata supir angkutan umum, penumpang yang berdiri di pinggir jalan seolah-olah seperti uang yang berceceran dipinggir jalan yang harus dikumpulkan sebanyak mungkin. Soal kapasitas penumpang dan martabat manusia menjadi tidak penting. Rebutan penumpang dengan cara berhenti sembarangan dan kebut kebutan telah membahayakan keselamatan penumpang dan pengguna jalan lain.
Sangat baik apabila pembuat keputusan seperti menteri atau dirjen mencicipi hasil kebijaksanaannya dengan naik kendaraan umum. Jika sebuah mobil diijinkan untuk mengangkut penumpang melebihi kapasitas desain mobil tersebut, maka pejabat yang mengijinkannya sebaiknya mau mencoba naik mobil tersebut. Karena dengan naik bus yang penuh sesak, berkeringat, desak-desakan serta emosi karena melihat supir sembrono dan kondektur serakah, mungkin di pikiran pejabat tersebut akan timbul ide untuk memperbaiki kondisi angkutan massal. Kalau pejabat enggan naik kendaraan umum memang patut dimaklumi karena ini menyangkut martabat, keselamatan dan harga diri. Selain itu, penerbitan SIM yang longgar adalah faktor yang penting dalam kecelakaan lalu lintas. Pemberian SIM hanya menilai kemampuannya untuk mengemudi, sedangkan penilaian untuk keselamatan sangatlah kurang. Memberikan SIM kepada orang yang tidak menghargai keselamatan sama saja dengan memberikan 'license to kill'.
2) Faktor Desain Jalan
Jika di suatu ruas jalan sering terjadi kecelakaan maka biasanya kontraktor jalan tersebut akan berkomentar bahwa jalan itu memang angker, padahal jalan bukanlah kondisi alam yang tidak dapat diubah. Jika desain jalan tersebut memang terbukti mengundang kecelakaan, maka desain jalan itu harus diubah dengan desain yang lebih aman. Misalnya jika jalan tersebut licin diwaktu hujan, permukaan aspalnya bisa diganti dengan jenis yang tidak licin. Membuat rambu 'jalan licin diwaktu hujan', tapi membiarkan jalan tersebut tetap licin tanpa ada usaha untuk memperbaiki kondisi jalan tersebut, sama saja dengan mengundang celaka.
3) Faktor Kendaraan
Modifikasi kendaraan bukanlah masalah sepele. Tabrakan yang terjadi pada Tragedi Situbondo diketahui bahwa truk telah memodifikasi tangki bahan bakar solar. Akibatnya setelah tabrakan tangki solar robek, solar menyembur ke dalam bus pelajar. Korban yang tewas terbakar bukan hanya 5 atau 10 penumpang, tapi semuanya, berjumlah 55 penumpang. Kendaraan itu tidak hanya berbahaya bagi penumpangnya saja, tapi juga bagi pengguna jalan lain. Kita tentu juga tidak ingin dibuntuti oleh kendaraan yang remnya blong.
Desain dan perlengkapan kendaraan juga ikut memberikan kontribusi yang penting dalam kecelakaan lalu lintas. Perhatikan sebuah bus yang kapasitasnya mencapai 50 penumpang tetapi pintunya hanya tiga. Satu untuk supir, satu untuk kernet, satu lagi untuk lima puluh penumpang. Dalam Tragedi Situbondo lebih dari 50 penumpang berebut satu pintu belakang untuk keluar. Bagi korban pintu itu layaknya seperti pintu kehidupan. Tragisnya pintu itu gagal melaksanakan tugasnya di saat-saat terakhir masa dinasnya. Tak ada penumpang yang antri itu yang keluar hidup hidup. Bahkan beberapa diantaranya memerlukan test DNA untuk mengenali mayatnya.
Menyinggung tentang upaya dalam rangka keselamatan penumpang angkutan umum, Dishub pun harus tegas kepada para pengusaha angkutan untuk menyediakan alat-alat keselamatan, khususnya dalam keadaan darurat seperti alat pemecah kaca (martil/kapak), P3K, pintu darurat, dan lain-lain. Pihak Dishub juga harus meminta kepada petugas/awak kendaraan agar memberitahukan kepada penumpang sebelum pemberangkatan perjalanan mengenai keberadaan pintu darurat dan peralatan lainnya.
4) Faktor Penumpang
Penumpang dapat memberikan kontribusinya dalam upaya meningkatkan mutu keselamatan. Penumpang yang kritis terhadap pengemudi akan berpengaruh terhadap kewaspadaan pengemudi. Karena itu sebagai penumpang diharap tidak ragu untuk menegur pengemudi yang sembrono. Ajaklah pengemudi untuk mengobrol tentang hal-hal yang ringan, sambil memantau perilaku mengemudinya. Dengan demikian kita pun telah berperan dalam upaya keselamatan untuk seluruh penumpang. Jika dalam keadaan tertentu, meski telah melakukan usaha namun tetap dirugikan, maka sebagai penumpang berhak mengadukan kerugian tersebut kepada pihak yang berwenang, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Polri atau perusahaan angkutan langsung.
5) Faktor Cuaca
Cuaca juga dapat meningkatkan bahaya keselamatan lalu lintas. Jalan yang basah dan kaca yang buram dapat membahayakan pengguna jalan. Karena itu pemahaman akan karateristik cuaca dan ketrampilan mengemudi pada kondisi cuaca buruk sangatlah penting dalam mengantisispasi cuaca yang buruk. Jika cuaca sangat buruk, janganlah malu untuk berhenti. Karena saat kecelakaan terjadi, itu merupakan tanggung jawab pengemudi, bukan cuaca.
6) Faktor Pengemudi
Pengemudi adalah harapan terakhir dari segala jenis upaya keselamatan lalu lintas. Jika semua faktor tidak dapat diharapkan untuk mewujudkan keselamatan, maka benar jika di tangan pengemudilah harapan terakhir. Pengemudi yang menghargai keselamatan penumpang dan trampil adalah andalan semua penumpang. Karena itu pendidikan bagi pengemudi seperti Safety Driving Course atau Penataran Keselamatan Jalan Raya adalah salah satu upaya untuk meningkatkan keterampilan pengemudi. Dalam kegiatan penataran, para sopir diberikan pembekalan berupa mental ideologi, pengetahuan UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengetahuan UU asuransi Jasa Raharja, tata cara mengemudi yang baik, dan lain-lain. Sementara itu, untuk penilaian sopir teladan meliputi disiplin dan etika berlalu lintas, pengetahuan teknik kendaraan bermotor, pengetahuan umum, kepedulian kepada keselamatan penumpang, tanggung jawab pengemudi, psikotes, dan klinik pengemudi.
Menyinggung tentang faktor manusia, disebabkan antara lain, selama ini sopir dikejar-kejar setoran kepada pengusaha otobus (PO) dalam menjalankan bus atau kendaraan umumnya. Solusi lain yang dapat dilakukan yakni dengan menerapkan sistem gaji yang representatif kepada sopir tersebut, diyakinkan lakalantas akan jauh berkurang. Semua faktor diatas adalah faktor human karena dibalik faktor itu ada human yang bisa mengendalikan faktor tersebut. Jadi bisa dikatakan 'human behind the factor'.
IV. Masyarakat Pancasilais
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Sehingga masyarakat merupakan makhluk sosial yang hidup saling bergantungan antara satu dengan lainnya. Al-Quran pun telah menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan kebangkitan, dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar ma'ruf nahi munkar, serta konsep fardhu kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa bila sebagian mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu. Meskipun Al-Quran menisbahkan watak, kepribadian, kesadaran, kehidupan dan kematian kepada masyarakat, namun Al-Quran tetap mengakui peranan individu, agar setiap orang bertanggung jawab atas diri dan masyarakatnya.
Salah satu hukum kemasyarakatan yang amat populer adalah firman Allah SWT yang berbicara tentang hukum perubahan : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka (QS Ar-Ra'd [13]: 1). Dapat dikemukakan bahwa ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT, dan kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan-Nya.
Menyadur nilai religius yang terdapat dalam Islam, masyarakat di Indonesia pun masih harus berbaur lagi dengan nilai budaya yang ada. Konsep kebudayaan yang popular dari Profesor Koentjaraningrat diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dapat dilihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikiran, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia adalah kebudayaan. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan tersebut harus berupa pengetahuan dan keyakinan bagi masyarakat yang mempunyainya. Kebudayaan juga digunakan oleh warga masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka.
Melihat bahwasannya masyarakat Indonesia ber-Pancasila karena memang itulah kenyataan hidup bangsa Indonesia. Kita akan selamanya ber-Pancasila karena jika tidak, kita akan hancur. Pancasila tidak akan ketinggalan zaman, jika dilakukan secara murni dan konsekuen dan karena Pancasila itu sendiri bersifat fleksibel. Akar kekacauan bangsa Indonesia bukan Pancasila-nya tapi pada faktor pelaksanaannya. Belum ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan Pancasila itu dengan benar, tapi masih banyak dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Maka disini yang kita perlukan sebenarnya kesadaran moral. Pengertian kesadaran moral itu sendiri adalah kemauan sukarela untuk selalu berpegang atau mempertahankan prinsip moral dan mendasarkan pengukuran tindakan moral itu dengan hati nurani.
Hubungan antara masyarakat Pancasilais dengan peningkatan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia sangat jelas. Semua hal yang berada dalam Negara Kesatuan Repulik Indonesia ini pastilah berdiri pada dasar Pancasila, yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan sila kelima dari Pancasila itu, yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Di dalam memahami keduanya pun memiliki kesamaan, bisa dilihat dari tiga dimensi pemahaman, yakni idealitas, normativitas, dan realitas. Dimensi lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia dapat kita pahami seperti di bawah ini:
· Dimensi Idealitas : Lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia dipahami sebagai sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan untuk membantu mewujudkan kemakmuran bangsa Indonesia, dan didalamnya berisi asas-asas fundamental atau tetap, seperti asas manfaat, asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas keseimbangan, asas kepentingan umum, asas keterpaduan, asas kesadaran hokum, dan asas percaya pada diri sendiri.
· Dimensi Normativitas : Lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia dikatakan sebagai alat untuk mengatur hidup yang berjalan menyesuaikan dengan dinamika masyarakat.
· Dimensi Realitas : Lalu lintas dan angkutan jalan Indonesia harus dikonkritkan dengan tindakan. Jika kita ingin memiliki sebuah situasi lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat maka kita harus melakukan tindakan yang real atau nyata untuk mewujudkannya.
V. Penutup
Dalam jangka panjang, peran masyarakat Indonesia dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan adalah dengan memperbaiki kebiasaan mengambil risiko para pengguna jalannya. Masyarakat harus diajak memahami bahwa lawan dari keselamatan, yakni bahaya itu sangat merugikan mereka. Bahaya adalah suatu situasi atau sistem di mana tidak ada sebuah alasan yang diduga potensial dapat melukai manusia atau elemen-elemen fisik dalam sistem, padahal tidak dikehendaki (Hale dan Glendon, 1987). Bahaya merupakan sesuatu yang omnipresent (selalu mungkin terjadi), sedangkan keselamatan tidak dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai ketidakadaan bahaya. Oleh karena itu, masyarakat akan mulai melindungi diri dengan meningkatkan kewaspadaan dalam berlalu lintas karena persepsi masyarakat terhadap keselamatan dalam lingkungan teknik sudah mengandung pengendalian bahaya.
Lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia sebenarnya telah memiliki peraturan dan hukum yang baik agar dapat mengendalikan bahaya. Dalam pelaksanaannya pun, ada aparat yang bertugas memastikan semua peraturan ditaati. Tetapi karena peraturan itu tidak dibuat kebanyakan anggota masyarakat, maka kelompok masyarakat ini turut menciptakan sebuah kebiasaan sendiri yang mereka rasa nyaman, kendati cara itu sama sekali tidak sesuai dengan peraturan dan hukum yang ada. Aparat yang seharusnya menjaga peraturan pada konsisi tertentu dengan terpaksa menerima kenyataan itu dan membolehkannya, apalagi mereka secara ekonomis dapat diuntungkan. Jadi, terbentuklah sebuah kebiasaan baru yang lebih aktual, bukan imajiner. Singkatnya, ada sistem hukum yang diciptakan berdasarkan idealisme. Ada sistem sosial yang diciptakan berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat. Di Indonesia, yang kedualah yang sering dijalankan.
Namun semua masih dapat diubah, meski harus dengan usaha yang menyeluruh dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan di dalamnya. Masyarakat Indonesia yang pada dasarnya Pancasilais tentunya akan mudah diajak bila mereka pun turut dilibatkan dalam kegiatan peningkatan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan bersama. Caranya, antara lain dengan usaha komunikasi yang terpadu berupa kampanye di media cetak dan elektronik, pelatihan kepada guru-guru SD, serta penyuluhan bagi pelajar SMA mengenai keselamatan lalu lintas dan tata cara berlalu lintas. Melalui penyuluhan itu, diharapkan para pelajar SMA yang tergolong pengemudi pemula dapat memahami akan ketentuan berlalu lintas. Pelajar SMA yang dipilih karena usia remaja pengendalian emosinya masih rentan. Kedua, penegakkan hukum secara selektif yang dapat menimbulkan efek jera. Polri dalam hal ini harus dapat memberikan usulan kepada hakim untuk membatalkan atau mencabut SIM pengemudi yang melakukan pelanggaran. Ketiga, pengadaan proyek percontohan kawasan tertib lalu lintas. Keempat, pengenalan penggunaan kamera pemantau kecepatan. Kamera ini akan ditempatkan di beberapa titik di ruas-ruas jalan ibu kota dan titik-titik rawan lainnya. Dan kelima, perlindungan penumpang melalui aplikasi penggunaan sabuk pengaman dan helm. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komenku buat nitastory kali ini...