“Taruh di mana mawar-mawar putih ini?” Pewee sedikit berteriak padaku.
“Di sana saja, sudut kamar. Aku ingin ketika Hocney masuk ia akan langsung melihatnya. Oh ya, mana Fsodez? Aku tidak melihatnya sejak tadi?” mataku keluar jendela, mencoba untuk mencari Fsodez.
Pewee mendekatiku usai meletakkan belasan mawar putih itu. Ia memegang tanganku dan memaksaku untuk melihat ke arahnya.
“Geysee, apa kau bahagia saat ini?” tanyanya mengejutkanku.
“Ada apa Pewee? Mengapa pertanyaanmu aneh? Tentu aku bahagia. Hocney akan pulang dari kuliahnya, dan kami akan segera menikah, lalu menempati rumah ini,” jawabku dengan mata berbinar.
Mata Pewee meredup.
“Coba aku mampu membeli rumah sebesar ini, hingga kau mau menikah denganku…”
“Pewee?? Kamu bilang apa? Kemarilah…” Lalu aku memeluknya.
Entah mengapa, Pewee menangis dan serasa tak mau lepas dari tubuhku.
“Hey, kenapa hanya aku yang jadi penonton. Pewee lepaskan tanganmu, kau pikir hanya kau yang kehilangan Geysee…” Sebuah suara mengejutkan aku dan Pewee.
Aku melepaskan diri dari Pewee. Mendekati Fsodez yang tiba-tiba datang dari beberapa jam ini menghilang dari hadapanku.
“Aku ingin bicara denganmu,” ujarku, lalu kami menuju taman belakang. Kami duduk di kursi teras yang berwarna putih. Rumah ini memang penuh nuansa putih, bersih. Mendamaikan hatiku untuk menyambut hari jadiku dengan Hocney. “Fsodez, terima kasih kau mau datang hari ini. Bagaimana kabarmu dengan Futta?” Aku membuka pembicaraan.
Fsodez menoleh padaku, ia hanya menatapku lekat, lalu seperti Pewee, ia pun menangis. Aku tercengang. Ia tak perlu bersikap begitu untukku. “Aku tak menyangka kau akan benar-benar dimiliki oleh orang lain, aku menyesal meninggalkanmu… Kau begitu berharga. Kau seperti malaikat…”
“Fsodez???”
“Kau seperti malaikat, beruntung lelaki yang bisa memilikimu seutuhnya…”
Aku hanya bisa menggeleng perlahan. Aku menatap Fsodez.
“Please, detik ini aku ingin kau mulai belajar tegar. Pikirkan Futta, gadis yang pernah menolongmu dari kelumpuhan, sehingga ia yang harus menanggungnya. Pikirkan juga perasaanku.. Detik itu, kau meninggalkanku atas perasaan bersalahmu. Begitu mudah melupakan janji yang telah kita bina selama enam tahun. Detik itu, kau biarkan aku merasa terbuang atas rasa galaumu. Begitu saja lupa atas kenangan yang ada… Detik itu, aku sangat terluka…”
Fsodez beranjak dari tempatnya duduk, bersimpuh, “Maafkan aku, maafkan aku… Aku benar-benar kalut, dan aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk membalas kebaikan Futta padaku hingga harus meninggalkanmu…”
Aku menarik nafas sesak.
“Yah, tetaplah begitu. Aku pun kini akan meraih bahagiaku… Lupakan semua cintamu untukku, Futta lebih memerlukannya. Jangan sesali semua yang sudah terjadi. Percuma.”
“Tapi, Geysee kau mengambil keputusan ini terlalu cepat. Kita berpisah baru sebulan, tapi kau sudah memutuskan untuk menikah dengan Hocney…”
Aku melihat Pewee yang gelisah di dalam rumah, tak enak juga meninggalkannya sendirian. “Pewee, tolong bawa pizza di atas meja, kita makan bersama di sini!” Teriakku.
Aku beralih pada Fsodez, lalu tersenyum.
“Aku sudah tidak tahan untuk selalu membagi perasaanku…”
“Maksudmu?”
Pewee membawa sekotak pizza keju, meletakkannya di atas meja lalu duduk di sebelahku.
“Kalian lapar? Ayo, kita makan pizzanya sama-sama!” ujarku lalu mengambil satu potong.
Pewee menatap kosong, tatapannya sendu.
“Hey, Pewee! Apa yang kau pikirkan?”
Pewee menatapku.
“Fsodez benar, Gey! Kau terlalu cepat memutuskan untuk menikah.”
Aku mencoba menahan sesak di jiwaku. Jahat sekali, mereka membiarkan aku di dalam tanda tanya, suatu kepengecutan. Aku wanita, aku butuh pegangan.
“Kenapa kalian berdua? Pewee, kau dulu yang mengajarkanku untuk setia pada Fsodez, kau pun selalu menghindari pembicaraanku tentang perasaanmu terhadapku. Kau bilang kita hanya sahabat. Kedekatan kita dalam pengertian itu. Kau terlalu mengagungkan persahabatanmu dengan Fsodez kan? Hingga menahan perasaanmu sendiri? Dan akhirnya, aku bukan berakhir dengan Fsodez tapi orang lain…”
Pewee terlalu mengatur perasaannya.
Fsodez terlalu plin-plan.
Cinta mereka padaku terlalu besar, tapi mengapa tak tulus untuk menyerahkannya secara nyata padaku?
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Aku beranjak untuk membuka pintu.
Saat kubuka pintu, Hocney sudah tersenyum.
“Hocney?!!”
Aku menyerbunya. Memeluknya.
*
Entah, bagaimana aku bisa tersadar.
Saat itu, di mataku, entah, di sebelahku ada Pewee bertelanjang dada.
“Apa yang kau lakukan di atas tempat tidurku, Pewee?” aku tak yakin dengan pandanganku.
Pewee hanya menatapku bingung.
“Kamu kenapa, Gey? Mimpi apa tadi?”
Aku mencoba mengingat, bagian mana yang sebenarnya menjadi mimpiku.
“Gey, apa perlu kita lakukan sekali lagi, sampai kau siap menemui Hocney dan Fsodez hari ini untuk makan pizza?”
“Apa?” Aku tambah bingung.
“Supriseee!!!”
Teriakan itu memenuhi ruang kamar.
Lalu, Hocney mendekatiku.
Aku menatapnya. “Apa yang terjadi Hocney?”
Hocney tersenyum. “Dokter bilang hari ini kau akan sadar dari komamu.”
“Koma?”
“Yah, kau lupa ya sudah menyelamatkan Fsodez dari truk itu, yang membuat dirimu sendiri terluka.”
“Apa? Hocney, apakah aku lumpuh?” tanyaku dengan nafas tertahan.
“Coba kau gerakkan tubuhmu.”
Aku menggerakkannya, untunglah semua bisa digerakkan. Tapi ada satu yang kurasakan tak berfungsi, ia lumpuh…
“Hocney… mengapa aku merasa tanpa kasih?”
Hocney tersentak.
“Apa maksudmu? Aku di sini mengasihimu…”
“Aku juga, Gey…” Pewee mendekatiku.
“Mana Fsodez?” tanyaku.
Hocney mengerutkan dahi. “Sebaiknya kau lupakan dia…”
“Kenapa, ada hubungannya dengan gadis yang bernama Futta?” tebakku.
Raut Hocney nampak gusar, “Mungkin…”
Aku mulai marah. Begitu teganya Fsodez melakukan semua itu.
“Geysee, kau percaya dengan mereka?” Suara Fsodez memasuki pendengaranku.
Aku mendongak.
*
“Geysee, bangun sayang sudah pagi.”
Aku tersentak. Hocney menatapku. Kepalaku terasa pening. Hocney mendekatkan bibirnya ke bibirku. Lalu menyentuhnya. Ups!
“Pagi ini kita keliling komplek yuk!”
“Kamu sudah sarapan?” tanyaku sekenanya.
“Belum, aku menunggumu.”
Aku bangun dari tempat tidur, Hocney memegang tanganku hingga meja makan. Sesaat aku tak bisa berkata apa-apa, di meja makan sudah ada Fsodez dan Pewee. Aku hanya menatap mereka. Mereka menikmati pizza di atas meja, aku tak berminat sedikit pun. Hingga akhirnya, Hocney yang lulusan elektro Jerman itu membuka piyamaku, baru aku sadari bahwa aku adalah seorang robot. Tubuhku hancur saat menolong Fsodez tapi hatiku masih bisa terselamatkan…
* * *
Yuk yang suka Taruhan Online Bisa Kunjungi kita di BandarVIP.com
BalasHapus