Selasa, Desember 09, 2008

Setiap Generasi Punya Sejarah Sendiri

Surakarta – Perkembangan penulisan sejarah dengan visi Indonesiasentris sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat dikatakan “gagal”, namun memang harus diwaspadai bahwa gejala ke arah itu sedang terjadi. Beberapa usaha mengembangkan historiografi Indonesiasentris dan kesadaran akan pentingnya hal itu mulai tumbuh di kalangan sejarawan akademisi, meskipun belum menjadi “trend” yang kuat.
Demikian wacana yang berkembang dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku 9 Kota (Semarang, Makassar, Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Bandung, Denpasar, Padang, dan Surabaya) “Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!” karya Prof. Dr. Bambang Purwanto di Ruang Seminar Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Sabtu (11/12). Hadir sebagai pembicara dalam acara itu, antara lain penulis Prof. Dr. Bambang Purwanto serta dua Dosen Sejarah UNS Drs. Soedarmono, SU dan Drs. Warto,M.Hum.
Dipaparkan Bambang Purwanto, sejak Seminar Sejarah yang pertama kali diadakan di Yogyakarta tahun 1957 muncul penulisan sejarah Indonesia yang Neerlando-sentris, yang hanya memberi peran penting terhadap orang-orang Belanda dan melupakan atau bahkan menghilangkan peran aktif penduduk Indonesia dalam sejarah. Padahal kolonialisme Belanda bukanlah faktor tunggal yang mempengaruhi sejarah Indonesia. Oleh karena itu dinamika lokal otonom, kehidupan sehari-hari yang jauh dari gejolak politik, perlu mendapatkan porsi perhatian yang sama seperti ketika menjelaskan politik dan kekuasaan kolonialisme Belanda.
Warto mengatakan, hal ini tidak lepas dari peran aktif “empu sejarah Indonesia”, Prof. Sartono Kartodirjo, yang memperkenalkan penulisan sejarah struktural dan multidimensional. Selama ini penelitian dan penulisan sejarah hanya dipandang sebagai tindakan hitam-putih, benar-salah, dan memancing rasa dendam. Sejarah Indonesiasentris seharusnya dipahami sebagai suatu pemikiran sejarah yang berusaha menempatkan peran masing-masing aktor sejarah secara proporsional, seimbang, dan manusiawi, bukan didasarkan pada prasangka, stereotipe, subordinasi, atau bahkan dendam sejarah.
Menurut Soedarmono, setiap terjadi jarak zaman, maka selalu muncul gap generation (anak-anak zaman) dalam memahami value historiografinya. Dikatakannya bahwa Bambang Purwanto telah mewakili sejarawan zamannya, mendekonstruksi teori bapaknya sendiri (Teori Multidimensional Approach – Sartono ’70), bahwa “sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”, atau “setiap generasi berhak menuliskan sejarahnya kembali.” (sba)

1 komentar:

  1. yaah,...pak dhar gak selalu fresh klo berhadapan dengan sejarawan ugm.setiap generasi punya sejarah sendiri...dah lama tuh!klo pingin nggak nerlando sentris kita pilih tema-tema sejarah kuliner,orang kita kalo punya hajatan manten itu...gak yahu kalo hidangan -hidangan yang disajikan sangat indisch sekali!saya sendiri tertarik pada sejarah sosial.seperti "kenapa orang Solo gampang sekali dimobilisir?" pengalaman SI,PKI bahkan PDI-P(bukan tentang huru-haranya lho,ya!

    BalasHapus

Komenku buat nitastory kali ini...