Rabu, April 11, 2012

Wong Palembang, Wong Kito Galo

Dari bahasa mereka menyebut diri mereka sendiri, Wong Palembang (dibaca Wong Plembang), tiga budaya akan langsung menyertainya: Melayu, Jawa dan Cina. Kata Wong yang berarti orang jelas sebuah kata berasal dari bahasa Jawa. Hal ini ditengarai bila para pemimpin terakhir orang Palembang sebelum kolonialisme datang terbingkai dalam sistem kekuasaan feodalisme Kesultanan Palembang Darussalam yang merupakan manusia-manusia dari tanah Jawa. Adapun kata Palembang yang langsung merujuk nama tempat memiliki sejarah yang diambil berdasarkan kronik Tiongkok, yakni kata Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua yang merujuk pada Palembang. Sedangkan gaya bahasa ketika menyebutkannya sendiri: “Wong Plembang”, irama dan logat Melayu yang berayun akan langsung kentara. Sementara orang Palembang menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang, di tempat lain, orang-orang yang berada di luar lingkaran Wong Palembang lebih mengenal mereka atau memang lebih suka menyebut diri mereka sebagai Wong Kito atau bahkan Wong Kito Galo.

(SFC Memenangkan Final Copa 2007)
Sebutan “Wong Kito” bagi orang Palembang menjadi lebih lekat didengar secara nonlokalitas sejak tim sepak bola kebanggaan Palembang, Sriwijaya FC berjaya memenangkan berbagai pertandingan tingkat nasional. Meski julukan resmi Sriwijaya FC adalah Laskar Sriwijaya, namun di media dan di kalangan penggemar fanatiknya justru lumrah disebut Laskar Wong Kito. Bahkan embel-embel julukan ini ditambah lagi menjadi Laskar Wong Kito Galo. Jika dialihbahasakan menjadi bahasa Indonesia, maksud kata Wong Kito Galo itu adalah “orang kita semua”. Maknanya, masyarakat Palembang – Sumatera Selatan, di mana pun berada adalah satu saudara. Saudaranya tidak sebatas sesama orang Palembang saja, namun bersahabat dengan orang lain juga di luar Palembang. Namun akibat seringnya kata ini dipopulerkan oleh media seiring dengan perkembangan Palembang yang menggeliat karena Sriwijaya FC maupun perhelatan Sea Games XXVI tahun 2011 lalu, kata Wong Kito alih-alih menjadi identik untuk menunjukkan identitas seseorang sebagai orang dari Palembang.

Jika banyak pendapat mengatakan bila Wong Kito secara langsung dinyatakan sebagai Wong Palembang, namun ternyata orang Palembang “asli” sendiri justru tidak bisa menerimanya.
Itu awalnya hanya istilah celotehan yang kemudian menjadi populer. Seperti Syahrini yang mengatakan istilah “Sesuatu”. (RM Ali Hanafiah, wawancara pribadi, 22 Februari 2012).
O, bukan! Wong Kito bukan sebutan untuk orang Palembang. Orang Palembang sebutannya cukup Wong Plembang saja. (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, wawancara pribadi, 24 Februari 2012).
Pernyataan RM Ali Hanafiah selaku budayawan Palembang yang sekaligus sebagai orang keturunan Palembang asli itu senada dengan penjelasan di awal. Begitu pun jawaban dari Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang pada Festival Keraton Nusantara ke-7 di Palembang, 26-28 November 2011 lalu diangkat menjadi Ketua Yayasan Kesultanan Nusantara dengan tegas menyatakan bahwa sebutan untuk orang Palembang adalah Wong Palembang bukan Wong Kito. Untuk pendefinisian siapa sesungguhnya Wong Palembang, RM Ali Hanafiah yang juga menjabat sebagai Kepala UPTD Musium Sultan Mahmud Badaruddin II itu menyatakan bahwa ada tiga hal yang bisa membuat seseorang itu bisa disebut sebagai orang Palembang, yakni dari garis keturunan, domisili, dan perkawinan.
Kalo nak disebut Wong Palembang, itu ado tigo syarat: 1. Asli, artinyo anak keturunan sultan-sultan dan yang mempunyai gelar. 2. Tinggal di Palembang, artinyo lahir, besak, mencari, dan mati di Palembang. Dengan kata lain, beranak-pinak di Palembang. 3. Perkawinan. (RM Ali Hanafiah, wawancara pribadi, 22 Februari 2012).
Seperti halnya kebudayaan Jawa, kebudayaan Palembang juga mengenal adanya gelar bagi keturunan masyarakat golongan bangsawannya. Hal ini sebagai bagian dari sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, orang Palembang asli pun telah memiliki kesadaran kelas, akibat pengaruh budaya Jawa yang disesuaikan dengan budaya lokal Palembang. Kesadaran kelas tersebut dengan jelas dapat dilihat dalam identitas pemakaian gelar di kalangan lingkungan kraton. Identitas gelar tidak saja berlaku sebagai pembeda antara kelas bangsawan, priyayi, dengan kelas rakyat, namun juga di kalangan priyayi itu sendiri. 

(Gadis Palembang)
Ditulis oleh J.C. Van Sevenhoven (1971), priyayi berarti keturunan raja-raja, sultan, atau kaum ningrat. Kedudukan itu dapat diperoleh karena kelahiran atau atas perkenan dari raja atau sultan (sebagaimana dikutip dalam Santun dkk, 2010:70-72). Golongan priyayi dibedakan menjadi tiga golongan yaitu Pangeran, Raden (R) – Raden Ayu (RA) dan Masagus (Mgs) – Masayu (Msy). Golongan rakyat juga memiliki gelar lain, yakni Kiai Mas atau Kemas (Kms) – Nyimas (Nym), Kiai Bagus atau Kiagus (Kgs) – Nyayu (Nyayu) dan orang-orang yang tidak memiliki gelar atau rakyat jelata. Rakyat jelata dibagi-bagi lagi atas pertama, orang-orang miji yang tidak dipungut pajak mereka memiliki kewajiban kerja halus dengan para raja, pangeran atau raden atau bisa diminta tenaga kasarnya dalam keadaan peperangan. Kedua, orang-orang senan yang kedudukannya lebih rendah dari seorang miji, namun mereka tidak dapat diperkerjakan oleh siapa pun kecuali untuk pekerjaan sultan. Syarat pertama ini, meski sekarang beberapa gelar tersebut masih banyak kita jumpai di kalangan orang Palembang, namun tidak sedikit dari mereka yang menghapus gelar itu sendiri.

Kedua, disebut orang Palembang jika ia tinggal di Kota Palembang. Syarat keaslian inilah yang kemudian banyak menimbulkan persinggungan kecil bila orang Palembang yang berada di luar, misalnya di tanah rantau ketika mendengar pengakuan orang yang sesungguhnya tidak berasal dari Kota Palembang tapi juga mengaku sebagai orang Palembang. Sebuah fakta bahwa orang di luar Kota Palembang namun masih di kawasan Propinsi Sumatera Selatan akan menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang. Keleluasaan untuk menyebut diri sebagai orang Palembang semakin disadari karena keaslian itu sendiri mulai dipertanyakan saat ini. Namun seyogyanya jika mereka ikut menambahkan bahwa mereka adalah Wong Palembang Kabupaten, dan hal inipun berdampak pada orang Palembang yang ikut menambahkan keterangan bahwa ia adalah Wong Palembang Kota.

(Peta Sumatera Selatan)
Mengikuti perkembangan otonomi daerah, Sumatera Selatan sendiri kini terdiri dari 11 kabupaten, yakni Banyuasin, Lahat, Muara Enim, Musi Banyuasin (MUBA), Musi Rawas (MURA), Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), dan Lintang Empat Lawang, dan juga 4 kota, yakni Palembang, Prabumulih, Pagar Alam, dan Lubuk Linggau. Jelas bahwa Palembang yang merupakan ibukota propinsi Sumatera Selatan hanya merupakan satu kota yang ada di Sumatera Selatan sendiri. Palembang hanya suatu wilayah yang memiliki luas 400,61 km² dari keseluruhan luas Sumatera Selatan yang mencapai 87.017 km².

Pembedaan sebagai identitas diri ini sesungguhnya hal wajar karena para penduduk asli Sumatera Selatan ini memang terdiri dari beberapa suku yang masing-masing mempunyai bahasa dan dialek sendiri. Suku-suku tersebut antara lain suku Palembang, Ogan, Komering, Semendo, Pasemah, Gumay, Lintang, Musi Rawas, Meranjat, Kayuagung, Ranau, Kisam, dan lain-lain. Namun memang di lapangan semua suku ini hidup berdampingan dan saling membaur dengan suku-suku pendatang termasuk dengan orang asing, bahkan banyak terjadi perkawinan antarsuku sehingga hal ini ikut menjadi syarat ketiga yang terpenuhi. Selain itu, suku-suku ini memiliki seni dan budaya sendiri yang saling berbeda atau hampir bersamaan. Meski tiap kelompok etnik memiliki corak khas dalam kebudayaan dan struktur bahasa sendiri, namun tetap merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan satu sama lain dalam lingkungan hukum adat di daerah Sumatera Selatan. Mereka saling mempengaruhi sehingga unsur kebudayaan yang satu terdapat juga pada kebudayaan suku lainnya. Hal ini disebabkan adanya proses difusi, akulturasi dan adaptasi. Kesatuan dan keseragaman kebudayaan dalam suku bangsa disadari sendiri oleh para warganya.

Apa yang dinyatakan oleh Kasubag Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang Habson berikut ini tentang Wong Kito menjadi jawaban dari kesimpangsiuran makna dari ungkapan Wong Kito itu sendiri.
Bagi saya, ungkapan Wong Kito Galo lebih mengarah pada sikap yang menunjukkan adanya rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan keharmonisan. Istilah ini juga memperkenalkan kerumunan atau komunitas yang juga menjadi bagian kekitaan. Dengan adanya kerumunan ini, Anda akan merasa nyaman dan tenang karena mereka berada di pihak Anda. Mereka tidak akan memberikan masalah bagi Anda, justru akan mendukung Anda. (Habson, wawancara pribadi, 23 Februari 2012).
Orang Palembang senang mendukung orang-orang yang pantas untuk didukung. Keberpihakan secara terbuka menjadi pilihan sikap umum yang diambil ketimbang memilih wilayah abu-abu di antara dua kubu atau dua pilihan. Dengan kata lain penggunaan istilah Wong Kito itu memiliki arti sebagai pihak kita atau keluarga kita. Boleh jadi, ia adalah orang yang memiliki keterikatan maupun keterkaitan dengan Palembang namun belum tentu menunjukkan sebagai orang Palembang asli jika tidak ditelusuri lebih lanjut. Artinya, siapapun bisa menjadi Wong Kito asal ia masih ada kaitannya dengan Sumatera Selatan. Namun patut digarisbawahi, suka atau tidak suka aspek esensialis kadang masih diperlukan sebagai pembeda antara orang yang satu dengan yang lain. Maka untuk dikatakan sebagai Wong Palembang, kiranya tiga syarat di atas perlu dicermati.

(Banner Wongkito)
Sebuah komunitas blogger Palembang yang bernama Wongkito dan beralamat di dunia maya di http://wongkito.net menerapkan aturan main dalam mencari anggotanya yang sesungguhnya juga mempertahankan identitas lokalitas mereka namun sekaligus mematahkan aspek genealogis bila yang bisa disebut orang Palembang harus berasal dari keturunan asli orang Palembang. Aturan main Wongkito berikut ini menjadi pedoman untuk mengklasifikasikan siapa yang bisa disebut orang Palembang dan berhak bergabung dalam komunitas sehingga pantas dimasukkan sebagai “Wongkito”.

Peraturan umum yang diizinkan masuk komunitas Wongkito:
  1. Punya blog dengan umur blog minimal 1 bulan.
  2. Orang Palembang, boleh lahir di Palembang atau berdarah Palembang, atau pernah tinggal di Palembang.
  3. Bangga dan cinta Palembang.
  4. Mau mengikuti kegiatan yang diadakan Wongkito dan berpartisipasi dalam mewujudkan visi dan misi Wongkito.
Menjadi orang Palembang bagi komunitas blogger Palembang Wongkito bisa ditunjukkan dengan tiga hal, yakni lahir di Palembang, berdarah Palembang yang artinya garis keturunan di atas mereka ada yang berasal dari Palembang, atau pernah tinggal di Palembang yang juga tidak dibatasi untuk jangka waktu berapa lama. Namun ketiga syarat di atas harus disertai dengan syarat selanjutnya, yakni bangga dan cinta Palembang. Syarat nomor tiga ini yang sesungguhnya menjadi syarat utama kesemuanya, bahwa identitas ke-Palembang-an seseorang hanya akan muncul dan mengakar kuat jika mereka memiliki rasa bangga dan cinta akan Palembang. Hal ini juga senada dengan kesimpulan pendapat sang Sultan Palembang tentang siapa yang pantas dan berhak disebut sebagai Wong Palembang.
Jadi intinyo Wong Palembang itu adalah orang yang hidup di Palembang yang jugo orang yang cinta dengan Palembang. (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, wawancara pribadi, 24 Februari 2012).
So, kamu punya dua syarat mudah itu? Boleh jadi kamu adalah Wong Palembang. Kalaupun tidak, tak jadi masalah. Kamu tetap bisa menjadi Wong Kito Galo, karena kita adalah keluarga. Dipastikan orang Palembang sangat suka menerima persahabatan, terlebih dari orang-orang setanah air yang mempunyai niat tulus untuk menjalin hubungan baik. Boleh jadi cara bicaranya terkesan kasar karena memang begitulah logatnya, namun percayalah Wong Palembang itu baik hatinya. Tak kenal maka tak sayang. Makanya kenalan dulu dong, ntar kamu malah sayang dan terpesona lho sama Wong Palembang. Hee!

Daftar Pustaka:
Santun, Dedi Irawanto M dkk, 2010, Iliran dan Uluan, Dikotomi dan Dinamika Dalam Sejarah Kultural Palembang, Yogyakarta: Eja Publisher.

13 komentar:

  1. Tulisannya bagus sekali mb, informatif, lengkap kutipan buku bahkan ada wawancara dengan orang2 yang kompeten two thumbs up

    eh iya salam kenal ya mb *salim*

    BalasHapus
  2. Alo Alika... Makasih ya, ud baca tulisanku. Iya, salam hangat juga ya, dari saya...

    BalasHapus
  3. Nah bu aku lah cuku syarat jadi wong kito nian, walaupun aku ikak urang suek sen...alias wang sare pek !

    salam kenal bae kupek yang rengke

    BalasHapus
  4. Rheezal: Hahaha... Samo baelah... Kami jugo wong katek duit, tp harga diri super tinggi... :D Yoi, salam kenal balik, yung... Mokasih yeh lah mampir di blog kami... :)

    BalasHapus
  5. wah wah detail banget artikelnya mbak ^_^
    keeren ...indonesia emang negara yang hebat dan indah...
    oiya kalo cinta dengan gadis Palembang gimana ^_^ hi hi
    intinya tulisan ini komplit
    mampir juga yak k blog ane

    BalasHapus
  6. Hai, mbak Nita, salam kenal :)
    Seneng deh nemu tulisan ini karena emang lagi nyari komunitas blogger Palembang jg biar bisa banyak belajar. Gimana dong cara gabungnya?
    Webnya kok ga detect ya, Mbak?
    Atau mungkin ada komunitas di grup sosmed (Line, WA, Fb, dll)?
    Seneng banget kalo bisa terhubung ddan bergabung ikut belajar blogging bareng :)
    Makasih, Mbak, ditunggu infonya :)

    BalasHapus
  7. tulisan yg menarik tapi jika bisa ditambahkan dengan hubungan palembang dengan majapahit, demak,mataram dan voc akan semakin banyak yg terkupas..
    terimakasih
    salam - wong solo

    BalasHapus
  8. Alah sare ige ,aq dak btuh pengakuan,percye sukur dak sudah,yg penting sudah ketanam di hati jd la itu,

    BalasHapus
  9. Ceritanya cukup menarik..
    Kalo mau baca berita bahaso palembang, mampir ke blog saya yah..thanks

    Klik Berita Bahasa Palembang

    BalasHapus
  10. Salam kenal semua
    saya cobak lihat lihat tulisannya cukup bagus tambah wawasan saya.
    trima kasih ya admin

    BalasHapus
  11. Yang Merupakan Agen Judi Poker DominoQQ BandarQ Online Terbesar di Asia Hadir Untuk Anda Semua Dengan 10 Games dan Bonus Yang Menarik!

    Bonus yang Kami Berikan di MEJAQQ :
    * Bonus CASHBACK 0,5% (Dibagikan setiap hari Rabu dan Minggu)
    * Bonus REFERRAL 10% + 10% SEUMUR HIDUP (Total kemenangan REFERRAL anda)
    * Minimal Deposit 20,000
    * Minimal Withdraw 20,000
    * 7 Bank Lokal (BCA, BNI, MANDIRI, BRI, DANAMON, CIMB NIAGA, dan PERMATA)
    * Deposit via E-Money, Pulsa TELKOMSEL
    * 100% Member vs Member
    * Pelayanan Bank dan Livechat 24 jam
    * Tersedia Dalam Aplikasi Android

    Info Lebih Lanjut :
    WA 1 : +85515620767
    WA 2 : +855882308459

    Kunjungi situs kami di :
    MEJAQQ
    BandarQ Online
    Agen BandarQ Online
    Situs BandarQ Online

    BLOGSPOT :
    DUNIA VIRAL
    DUNIA MOVIE
    DUNIA GAME
    CERITA SERAM 69

    BalasHapus

Komenku buat nitastory kali ini...