Begitu akrab dengan konsep itu akhir-akhir ini. Galau. Kosakata yang pertama kali muncul di sebuah acara gegap gempita di prime time TransTV yang kemudian tutup dengan segera. Mungkin acaranya terlalu heboh sehingga justru tidak menimbulkan kesan yang berarti bagi penonton. Nama acaranya sendiri, aku lupa. Hee..
Yah, lebih baik kembali membahas tentang galau. Saking riuhnya istilah itu, ia sanggup mengalahkan konsep resah, bingung, kacau, ataupun serba canggung. Padahal istilah galau sebenarnya hanya sebuah konsep tentang keberadaan seseorang yang sedang berdiri di persimpangan untuk memilih, memilih ke kiri atau ke kanan, memilih untuk tetap menikmati kondisi yang sekarang atau mengubahnya, atau kata orang Palembang, “Galau itu... Gelisah Antara Lajuke Apo Urungke...” Haha!
Jadi, itulah kondisinya... Saat orang belum bisa fokus dengan tujuan hidupnya, diapun galau. Akan bertambah galau saat kenangan masa lalu yang ada terlintas dalam benak, ataupun saat rencana masa depan yang lagi-lagi gagal. Puncaknya, mungkin ia akan bersedih, marah dengan kondisi yang ada, hingga terdiam. Yah, akhirnya... Lagi-lagi, ia harus menyadari kehambaannya, bahwa pasrah atas garis Tuhan untuk hidupnya adalah yang terbaik.
Saat masalah itu datang, rasanya tak ada yang perlu dimengerti. Pertanyaan-pertanyaan bodoh tentang kenapa atau kok bisa itu benar-benar menjadi retorika. Kalau saatnya memang harus terjadi yaa terjadi saja. Hanya senyum getir atau bahkan nyinyir yang kemudian hadir. Entah mentertawakan diri sendiri, atau mentertawakan betapa lucunya hidup ini dan perilaku manusia-manusia di dalamnya.
Yaaah, kita berlari sejauh-jauhnya, hingga hati membatu. Namun, saat Ia memanggil untuk kembali bersimpuh, mungkin tak ada cara lain selain menangis tersedu dan mengakui, “Benar ya Allah... Engkaulah kekasihku sesungguhnya. Engkau yang memilikiku seutuhnya. Engkau mau apakan diriku lagi ya Allah? Aku pasrah...” Itulah yang terjadi. Puncak kehampaan, puncak keresahan, puncak kegalauan hanya akan kembali terisi dengan debu-debu yang justru mendamaikan saat sudah mengakui kekalahan kita atas kebesaran Sang Maha Tinggi.
Daaaaan... Itulah kondisi yang terjadi dengan diri ini sekarang. Subuh yang begitu kosong, terbangun karena Fafa yang ingin buang air kecil. Fafa yang kini sedang ingin melakukan semuanya sendiri, tidak mau ditolong untuk memakaikan celananya atau apapun itu yang ingin ia coba lakukan sendiri. Namun sulitnya, saat ia belum mampu mengatakan apa yang ia inginkan sehingga yang menjadi lawan bicara sulit untuk menangkap, sehingga ia hanya marah dan menangis jika dipaksa melakukan hal yang menurut kita baik namun tidak baginya. Seperti tadi usai buang air kecil, ia yang gak mau dipakaikan celana sehingga akhirnya tertidur lagi tanpa celana. Saat mau dipakaikan, ia terbangun, mengamuk lagi dan menangis.
Kubiarkan ibuku mengambil alih ia sementara, aku yang beberapa waktu terakhir memang tak mendekatiNya, akhirnya memutuskan untuk sholat. Fafa ternyata juga ingin ikut sholat dan ibuku kembali ke kamarnya. Usai sholat, dengan hati yang aku tidak tahu lagi apa warnanya saat ini, putihkah, hitamkah, atau hijaukah, aku hanya bisa menangis. “Kuatkan aku, ya Allah... Kuatkan aku...” ujarku sambil terus menangis. Aku menikmati tangisan itu, menikmati moment transendensi bahwa yang kita tangisi itu di hadapan wujud yang kita yakini ada namun tidak diketahui seperti apa. Namuuuun... kenikmatan untuk menangis itu tak bisa berlangsung lama. Di sebelahku, ada Fafa yang menggunakan mukenah pinknya ikut menangis saat melihat diriku menangis. Ayolah naaak, jangan menangis karena melihat mama menangis. Renyuh sekali rasanya hati ini...
Senyum. Yah, konsep kedua yang kemudian dipahami bisa menawar konsep sebelumnya. Dunia yang tak mendengar. Dunia yang tak melihat. Dunia yang tak bisa merasakan. Senyumilah saja. Terserah senyum itu dengan alasan atau tujuan apa. Saat bibir sudah melengkung tinggi, galau itu hilang walau untuk sementara. Untuk menjadi permanen, proses hidup yang akan banyak mengajarkan kita tentang paket pembelajaran sekaligus: daya tahan, daya juang, daya asih.
Kosong itu isi, isi itu kosong... Sebuah kalimat yang selalu dikatakan dalam sebuah sinetron laga Cina di masa lalu menjadi kesimpulan akhir untuk tulisan ini. Apa artinya? Silahkan dimaknai sendiri.. Saya sendiri cukup tersenyum, dan kembali menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya dan tentu saja akan selalu menikmati apapun yang terjadi di dalamnya. :)
Galau galau
BalasHapusBu nita yang lagi galau