Senin, Oktober 17, 2016

Melestarikan Budaya Makan Pempek di Ajang Pempek Festival Palembang Icon

Oleh Sumarni Bayu Anita, S.Sos, M.A
Penulis Buku “Pempek Palembang”, Dosen dan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang

Setiap kita yang menyatakan diri bagian dari masyarakat tertentu, memiliki tanggung jawab untuk melestarikan apa yang menjadi budaya di tengah masyarakat yang kita diami, baik material culture maupun immaterial culture. Seperti yang terjadi dalam Pempek Festival yang dilaksanakan di Palembang Icon, Kamis-Minggu, 13-16 Oktober 2016. Secara tidak sadar, orang-orang yang terlibat di dalamnya sudah mengambil bagian tanggung jawab itu: melestarikan budaya makan pempek.

Sebagai penulis Buku Pempek Palembang (2014) dan sekaligus pengamat budaya untuk aspek kuliner di Kota Palembang, selama 4 hari berada di event tersebut, saya sadar bahwa banyak orang yang masih memiliki kepedulian yang sangat tinggi untuk mencoba memperjelas identitas yang mereka miliki. Ada banyak rasa sangsi apakah suatu event akan berhasil atau tidak, namun di event yang juga dihadiri oleh Bapak Gubenur Sumatera Selatan, Ir. H. Alex Noerdin di hari pertamanya itu benar-benar menyedot masyarakat Palembang maupun non Palembang untuk hadir di dalamnya.

(Gubernur Sumatera Selatan, Ir. H. Alex Noerdin Ikut Hadir di Pempek Festival Palembang Icon)
Ada 19 tenant pempek di Kota Palembang yang ikut berkontribusi untuk eksist tampil memperkenalkan identitas masing-masing rupa dan rasa pempek hasil olahan tangan-tangan terampil mereka. Sebut saja Pempek Ori, Pempek Meledos, Pempek Bear 889, Pempek Ekpress, Pempek Saga Sudi Mampir, Pempek Moco, Pempek Embool, Pempek Nony 168, Pempek Beringin, Pempek Pak Raden, Pempek Cek Molek, Pempek Athira, Pempek Scream, Pempek Pink, Pempek Udang, Es Kacang Sudi Mampir, Minuman Eat Street, dan lain-lain. Oya, satu lagi, Stand Buku Pempek Palembang juga hadir di sana meski hanya dua hari pamerannya, yakni Sabtu-Minggu, 15-16 Oktober 2016.

(Stand Buku Pempek Palembang di Pempek Festival Bersama Fafa, Ria, Fitri, dan Dian)
Beberapa memang pemain lama, namun sebagian besar diisi oleh para pemain baru yang mencoba menawarkan modifikasi baru untuk produk mereka. Penggunaan bahan di luar bahan baku utama yang selama ini menjadi pakem Pempek Palembang, yakni daging ikan giling (belida, gabus, dan tenggiri), sagu, garam dan air beserta isiannya yang berupa telur, tahu, pepaya muda, udang kering dan sambal kecap berubah menjadi isian bahan-bahan makanan lain yang lebih disukai oleh masyarakat modern, seperti sosis, keju, ayam dan lain sebagainya. Salahkah itu?

(Alat Tukar Uang Versi Pempek Festival di Palembang Icon: Unik)
Jawabnya tidak. Kenapa? Dari aspek peninjauan budaya, perkembangan modernitas memang memahami bahwa perubahan itu adalah hal yang pasti. Tidak ada yang mampu untuk menghalangi seseorang untuk menghasilkan suatu produk budaya baru, pempek sosis atau pempek keju misalnya. Ya silahkan saja. Namun tetap, setiap kita wajib tahu tentang mana yang disebut Pempek Asli yang berjumlah 29 varian (hasil penelitian saya, tesis KBM UGM, 2012) dan mana Pempek Modifikasi. Sama seperti kesakralan suatu tarian yang dulu hanya bisa dilakukan di hadapan tamu kehormatan saja, sekarang masyarakat sudah sering melakukan tarian penyambutan bahkan di ajang Rapat Kelurahan.

(Menikmati Pempek di Pempek Festival Sekaligus Bersosialisasi Dengan Rekan Sejawat)
Yang perlu diyakini oleh orang Palembang bahwa pempek adalah kuliner asli Kota Palembang karena ia lahir di kota ini melalui proses hibriditas. Hibriditas di sini berasal dari ras Cina yang sudah hadir di Kota Palembang sejak Masa Perompak Cina pada abad 14-15 atau bahkan mungkin sebelum itu. Panganan yang mirip dengan pempek misalnya Kamaboko, Kekian, Ngohiang dan Bakso Ikan. Terlebih karena Pemerintah Kota Palembang sendiri per 1 Agustus 2014 kemarin telah mendapatkan Hak Paten Atas Pempek dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dan ini berlaku hingga 50 tahun ke depan. Ada 12 varian Pempek Palembang yang telah dipatenkan, yaitu Pempek Panggang, Pempek Lenjer, Pempek Telok, Pempek Kapal Selam, Pempek Pistel, Pempek Tahu, Pempek Adaan, Pempek Kulit, Otak-otak, Pempek Kering, Kelesan Kerupuk, dan Godo-godo (baca tribunnews.com dan palembang.go.id).

(Saya Bersama Gubernur Sumatera Selatan, Bapak Ir. H. Alex Noerdin)
Di ajang Pempek Festival itu sendiri, saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara di dalam Talk Show tentang "Pempek Palembang" yang digelar di puncak acara, yakni hari terakhir, Minggu, 16 Oktober 2016 pukul 16.00 WIB. Saya ditemani MC Edi Sapta Zein (EO Stage Management) dan Moderator Setia Gumilang (Marcomm Manager Palembang Icon) memberikan sharing informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan tentang Pempek Palembang itu sendiri. Satu kesimpulan akhir yang perlu dipahami oleh kita sebagai pencipta, pelestari sekaligus pengembang suatu kebudayaan. Meninjau dari objek Pempek Palembang, maka kita harus menyadari bahwa ketika melihat Pempek Palembang itu harus dari dua sisi, yakni satu pempek sebagai produk budaya dan dua pempek sebagai produk pasar.

(Talk Show Pempek Palembang Bersama Saya, Mas Gumi dan Edi)
Sebagai produk budaya, pempek menjadi bagian material culture kebudayaan Palembang, yakni wujud benda yang biasanya merupakan hasil tingkah laku dan karya para pemangku kebudayaan yang bersangkutan, yang disebut para ahli sebagai kebudayaan fisik dan kebudayaan material (Hanafiah, 1995:1-2). Lebih jauh dari ranah sejarah, dari ranah sosiologi pempek sebagai produk budaya adalah dengan pemberian fakta bahwa pempek seringkali digunakan sebagai penghubung ikatan sosial bagi Wong Palembang terhadap kenalan maupun keluarga mereka di wilayah lain. Misalnya, kita kadang memberikan oleh-oleh Pempek Palembang kepada kenalan kita agar mereka bisa mengetahui lebih dalam tentang budaya yang kita jalani selama ini.

(Foto Bersama Dengan Pembeli Buku Pempek Palembang di Pempek Festival)
Sedangkan pempek sebagai produk pasar, pempek pure menjadi makanan yang memiliki kelas tertentu. Dari identifikasi model ini, nyatanya pempek bagi Wong Palembang memang menciptakan kelas-kelas yang berdampak pada perilaku mereka sendiri dalam mengkonsumsinya. Adapun pempek kelas atas sebagai wacana dominan seringkali muncul sebagai “rupa” pempek yang layak dijadikan sebagai ikon kuliner Kota Palembang. Wacana itu dihadirkan melalui pengetahuan yang kemudian menjadi ajang kuasa kalangan tertentu. Untuk yang ini, misalnya, ada pembedaan harga Pempek Palembang mulai dari yang Rp 1.000 sampai dengan Rp 8.000 per buah hanya untuk varian pempek kecilnya. Harga-harga ini ditengarai dipengaruhi oleh bahan ikan, tempat jualan, takaran ikan, rasa, segmentasi pasar, dan kemasannya.

(Ada 19 Tenant Yang Ikut Meramaikan Event Pempek Festival Palembang Icon)
Akhirnya, sebagai pengamat sekaligus penikmat Pempek Palembang, saya berharap bahwa Pempek Palembang akan selalu menjadi kuliner pilihan utama bagi masyarakat Palembang. Dan tiap-tiap orang di dalamnya memiliki rasa loyalitas untuk melestarikan kebudayaan ini. Hal-hal sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan tetap mengkonsumsi panganan ini dan memberikan dukungan yang positif atas perkembangan yang terjadi, misalnya modifikasi produk pempek, baik dari segi rasa maupun pengemasan.

(Serah Terima Cinderamata Usai Talk Show Antara Narasumber dan Pihak Penyelenggara)
Untuk yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi, seperti Pemerintah Daerah baik Pemerintah Kota Palembang maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan agar selalu mengagendakan festival kuliner semacam ini menjadi agenda tahunan yang semakin tahun semakin besar skalanya. Hal ini sekali lagi disadari bahwa selain musik dan fashion, kuliner jauh lebih mudah dalam memberikan penetrasi untuk pengenalan langsung tentang budaya. Pempek adalah Palembang yang bisa dibungkus dan dirasakan, dengan memakan pempek secara tidak langsung, kita belajar untuk mengenali dan sekaligus mencintai kota ini. I love you pempek, I love you Palembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komenku buat nitastory kali ini...