Sejak H–10 Idul Fitri 1425 H, satu persatu anggota kepengurusan Koperasi “Kopma UGM” pun mulai berguliran untuk melakukan tradisi unik bangsa Indonesia, yup: MUDIK! Mudik merupakan istilah yang sudah sangat melekat dalam persepsi kita sebagai seremoni yang harus dilakukan bagi para perantauan untuk kembali ke kampung halaman jika hari besar keagamaan tiba. Di Indonesia sendiri yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, otomatis saat lebaran atau Hari Raya Idul Fitri lah, fenomena mudik itu terselenggara. Tapi, tentu saja kecuali jika di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, fenomena mudik baru terjadi bila Hari Raya Nyepi atau Galungan yang hadir.
Terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta kepada Tuhan, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama. Menurutnya, dalam struktur iman itu, antusiasme, cinta dan persaksian tumbuh saling berjalin. Setiap orang berhak untuk memuja, mencinta dan bersaksi dalam kesendiriannya. Dengan begitu, iman sangatlah bermusuhan dengan yang namanya kemusyrikan. Iman yang sejati menurutnya, adalah yang bergantung pada individualitas dan kebebasan.
Kini, bila dikaitkan lagi dengan fenomena unik Idul Fitri di Indonesia pada umumnya, dan di Koperasi “Kopma UGM” pada khususnya, maka sesungguhnya tujuan mudik itu sendiri ternyata bukan lah berat pada makna religinya, namun jauh pada budaya sosialnya sebagai moment untuk berkumpul kembali dengan keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan individu tersebut. Serangkaian budaya yang kemudian mengikuti, seperti buka puasa bersama, ngabuburit, mudik, takbiran keliling, mengirim kartu-sms-email ucapan lebaran, mengirim parcel, halal bi halal, hingga yang paling lazim dilakukan yakni berjabat tangan seraya mengucapkan “Minal Aidin Wal Faizin ya…!” menjadi sebuah keharusan yang utama dilakukan ketimbang mengintropeksi iman dan cinta diri kepada Tuhan semesta alam.
Hal ini terjadi juga di Koperasi “Kopma UGM” yang sebagian besar anggota kepengurusannya berasal dari luar Yogyakarta. Lebaran menjadi sebuah alasan yang sakral untuk mudik! Tak ada yang disalahkan sebenarnya dari mudik itu sendiri. Namun yang disayangkan adalah batas waktu kepergian mereka untuk menemui keluarga tercinta yang kadang tanpa mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan mengenai batas waktu cuti lebaran kepengurusan. Seyogyanya, tahun 2004 ini, berdasarkan kebijakan pengurus mengenai Cuti Bersama Kepengurusan, cuti lebaran hanya berlaku pada tanggal 10-20 November 2004. Namun, bila melihat kondisi yang ada, nyatanya masih ada beberapa anggota kepengurusan yang belum kembali aktif di Koperasi “Kopma UGM” hingga H+10 tiba.
Sebuah kemakluman yang terjadi sepanjang tahun berdirinya Koperasi “Kopma UGM”. Bahwa status kepengurusan yang notabene adalah juga mahasiswa, yang hanya punya kesempatan pulang jika lebaran tiba, yang memiliki dana terbatas untuk ongkos pulang pergi (PP) ke kampung halaman tercinta, maka akan sangat rugi bila waktu kepulangan hanya sebentar. Dampak dari permasalahan ini sesungguhnya akan berimbas pada program dan kinerja kepengurusan itu sendiri yang kemudian menjadi tersendat. Bila sebuah kesinisan timbul, “Tanpa pengurus Kopma masih bisa tetap berjalan.” Maka, siapa sesungguhnya yang akan disalahkan?
Tak ada yang mau disalahkan, semua pasti akan mencari pembenaran untuk membela diri. Tapi memang tak perlu dicari kambing hitam karena sesungguhnya hal ini sudah menjadi budaya di Koperasi “Kopma UGM” yang entah kapan akan ada ide radikal untuk mengatasinya. Maka kini yang selayaknya patut kita tekankan adalah dengan kembali memahami makna Idul Fitri itu sendiri. Islam sebagai agama dan Idul Fitri sebagai hari besarnya sebenarnya hanya untuk mendorong satu pemahaman tentang penyampaian iman dan cinta manusia sebagai mahkluk yang dicipta kepada Allah SWT sebagai penciptanya. Kita sebagai manusia memang takkan pernah luput dari kesalahan dan dosa, maka melalui ujian di bulan Ramadhan dan kemenangan di Hari Raya Idul Fitri selayaknya menjadikan kita dapat lebih bijaksana dalam menjalani hidup. Semua memang harus berasal dari hati nurani yang tulus, baru kemudian diucapkan, dan dilakukan.
Tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri, begitu ujar orang bijak. Selain itu ada lagi yang tidak akan berubah, betapa pun perubahan terjadi di lingkungan kita, yakni : idealisme. Idealisme adalah paham tentang nilai-nilai hidup yang mengandung keinginan kuat untuk mendekati hal-hal ideal seperti: kejujuran, kebaikan, ketertiban, kearifan, kesetaraan, kesejahteraan, dan hal-hal semacam itu. Makna dan turunannya tentu akan berbeda, apabila dipandang dari sudut yang berlainan, dan dengan kepentingan yang beragam. Sepanjang kita memahami nilai-nilai idealisme dengan landasan yang sama, dan selama kita mempunyai visi yang seragam, serta sejalan dengan cita-cita menyejahterakan kita, Koperasi “Kopma UGM” beserta lingkungan kita, maka perubahan apa pun, insya Allah tidak akan membuat kita gentar menapaki masa depan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komenku buat nitastory kali ini...