Hari Rabu pagi, alat bantu infus dan alat bantu buang air kecil yang melekat di tubuhku pun dilepas. Lega sekali rasanya. Karena kedua alat itu sudah dilepas, hari ini, aku belajar bangun dari tempat tidur. Belajar berjalan, dan mandi sendiri di kamar mandi. Walau susah, aku terus menyemangati diriku sendiri. “Ayo, Nita, kamu pasti bisa!” Yah, walau berjalan seperti robot rusak, aku tetap berjalan. Walau susah sekali untuk mandi, aku tetap mandi.
Ketika sudah bisa berjalan, aku jadi lebih leluasa melihat Fafa yang ditaruh di box. Aku pun sudah bisa menggendongnya. Alhasil, ketika sterilisasi ruangan oleh para pengelola bangsal yang selalu dilakukan pukul 08.00-11.00 WIB, aku bisa bertahan untuk menjaga anakku seorang diri. Untunglah Fafa bukan bayi yang rewel, dia suka sekali tidur kalau perutnya sudah terisi. Pagi jam 7 tadi, saat aku berusaha memberinya ASI, namun nyatanya ASI-ku tak mampu melegakan perutnya yang kosong karena semalam ia sudah 3 kali BAB. Ibuku pun berinisiatif membelikan susu formula, dan aku sungguh terbantu. Awalnya, aku memang ingin idealis, memberikan ASI ekslusif setidaknya sampai 6 bulan. Namun, nyatanya karena berbagai keadaan membuatku harus bersikap realistis.
Iya, gara-gara itu aku pun dimarahin oleh suster senior di bangsal itu. “Yang nyuruh ngasih susu formula siapa?” katanya ketika pagi-pagi melakukan sidak ke seluruh kamar dan melihat sekotak susu formula terletak di atas meja. Dia bertanya dengan nada seolah aku adalah penjahat paling dicari se-Yogyakarta karena ketahuan memberikan susu formula kepada bayiku tanpa izin dia. Moodku emang lagi tak ingin basa-basi saat itu, dengan pasang muka jutek, aku pun menjawabnya ketus, “Inisiatif sendiri.” Mungkin melihat sikapku itu, tiba-tiba dia jadi melunak kepadaku. Awalnya, rasanya dia cuma tahunya marah-marah aja kalau ke kamar. Jadi, serasa bukan di rumah sakit aja, tapi di penjara!
Selama di rumah sakit itu, alergiku tetap kambuh malah makin parah. Aku sudah 2 kali disuntik anti alergi tapi tetap tidak hilang. Mungkin karena terlalu banyak menerima suntikan, obat, tekanan psikis dari suster galak, jadinya tubuhku yang alergi tak kunjung sembuh. Untunglah, Rabu siang, dr. Irwan akhirnya melakukan kunjungan, dan saat aku tanya kapan aku boleh pulang, dia bilang, kalau besok sudah diganti perban, aku boleh pulang. Hari Rabu itu juga, aku memang sudah tidak terapi lagi melalui infus, tapi sudah diganti menjadi terapi obat. Aku hanya harus bersabar menunggu 3 hari, jangka waktu yang sepertinya diterapkan untuk setiap pasien pasca operasi agar tetap mondok di rumah sakit.
Kamis jam 10-an, akhirnya perbanku pun diganti dengan perban waterproof. Ibuku membantuku mengurus administrasi. Agak terkejut juga ketika mendengar nominal yang harus dibayar. Kalau biaya rumah sakit ditambah biaya RB Rachmi, nominalnya menjadi 3 kali lebih besar dari nominal yang kurencanakan akan kukeluarkan kalau melakukan persalinan secara normal, normal itu pun sudah yang menginap di kelas IA selama 3 hari 2 malam di RB Rachmi. Yah, mau bagaimana lagi, aku maupun suamiku tidak punya ASKES, alhasil semua biaya pun harus dibayar lunas pagi itu juga. Iya, untungnya, aku punya tabungan dan jumlahnya, alhamdulilah masih mencukupi untuk itu.
Tak menyangka, aku mampu berjalan agak jauh hari Kamis itu. Stagen khusus pasca operasi itu kukenakan ketika menuju ATM yang ada di bagian depan rumah sakit untuk mencairkan uang. Sebenarnya bekas operasi ini tidak akan terlalu sakit kalau aku tidak terlalu gemuk. Namun kehamilan ini sendiri membuatku harus naik berat badan 25 kg dari sebelum hamil. Alhasil perutku masih seperti orang hamil 3 bulan, pasca operasi. Adanya beban dari perut yang membuncit, membuat bekas operasiku menjadi nyeri kalau aku harus berjalan. Kami pun pulang dengan dijemput oleh bapak mertuaku.
Ibuku memang ibu paling mulia. Selama proses pemulihan di rumah, dia yang masih dengan penuh perhatian mengurusku. Kakiku yang membengkak, membuatnya selama 3 malam berturut-turut memijat kakiku dan melulurinya dengan param. Membuatkan air panas rempah-rempah untuk aku mandi selama 3 hari berturut-turut. Awalnya, aku pun sangat sulit untuk terbangun dari tempat tidur. Seperti ada batu yang sangat besar bergelayut di perutku. Alhasil, ibuku membantuku bangun dari tempat tidur. Aku memeluk lehernya, dan bangun hingga bisa duduk. Dia juga yang berusaha membelikan obat cina untuk luka dalam meski harus berulang kali ke Malioboro, karena ketika hari pertama mencari, toko-toko obat cina itu tutup karena tanggal merah. Karena kesulitan untuk bergerak inilah, selama beberapa hari ini, aku tidak bisa memberikan ASI eksklusif untuk Fafa. Namun aku tetap berusaha memberikannya, meski dengan cara dipompa.
Yah, inilah ceritaku tentang Fafa. Tentang kelahiran Fafa, anak pertamaku, bidadari kecil yang kini menemani hidupku menjalani hari-hari. Tentang betapa berartinya kehadiran keluarga yang tak menghitung harga untuk membantu. Usia Fafa saat ini, tepat 8 hari. Delapan hari ini juga, aku seolah belajar kembali tentang kehidupan. Belajar menjadi ibu untuk anakku, setidaknya seperti ibuku terhadapku yang hingga saat aku menjadi ibu pun, dia senantiasa ada untukku. “Fa... Inilah tulisan mama untukmu, nak... Mama akan selalu ada untukmu. Menjagamu, memberikan yang terbaik yang mama punya untukmu... I love you, Fa... Really, really, love you...”
(Yogyakarta, 27 April 2011)
Yuk yang suka Taruhan Online Bisa Kunjungi kita di BandarVIP.com
BalasHapusHai Mbak, postingannya sudah lama ya, baru baca siang ini, dan saya menangis.. terimakasih telah berbagi cerita.
BalasHapusSalam,
dinarmarfuah@gmail.com
Assalamu'alaikum..salam kenal mam, saat ini sy sedang mencari t4 bersalin sc, Boleh tanya? Kenapa operasi sc nya di rujuk je sarjito mam.. apakahdi rsia rahmi gak menerima tindakan sc. Makasih mam jwbannya sangat sy butuhkan 😊
BalasHapusAssalamu'alaikum..salam kenal mam, saat ini sy sedang mencari t4 bersalin sc, Boleh tanya? Kenapa operasi sc nya di rujuk je sarjito mam.. apakahdi rsia rahmi gak menerima tindakan sc. Makasih mam jwbannya sangat sy butuhkan 😊
BalasHapus