Rabu, April 27, 2011

Ceritaku Tentang Fafa (2)

Aku sudah memintanya untuk tidak pergi sore itu. Memintanya untuk cuti, hingga aku benar-benar sudah melahirkan, toh tinggal sebentar lagi. Namun, suamiku tidak bisa memenuhinya. Dia beralasan bahwa di tempat kerjanya ini, dia belum genap 3 bulan, dan dia sudah membolos untuk hari Senin, tidak mungkin menambahnya dengan hari Selasa. Jujur, aku tidak mau anakku lahir tanpa ada suamiku di sisiku. Aku ingin suamiku yang langsung memperdengarkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri anakku saat ia lahir nanti.

Pukul 2 siang, bidanpun kembali memeriksa keadaanku. Dia terkejut melihat kondisiku saat itu. Ternyata alergi tak hanya menerpa tangan dan kakiku, tapi juga sudah mengenai mataku. Alhasil, mataku jadi membengkak dan mukaku jadi agak aneh. Padahal, aku lihat dia membawa obat kecil itu lagi, mungkin, dia mau melakukan induksi lagi untuk yang keenam kalinya. Aku kembali diperiksa dalam dengan bidan yang berbeda dari yang memeriksa jam 8. Masya Allah, yang ini lebih sakit dari yang tadi. Aku hanya disuruh untuk menarik nafas panjang saat tangan itu melesak masuk ke jalan lahir anakku kalau aku melahirkan secara normal.

Sang bidan pun keluar dari kamarku usai melakukan pemeriksaan dan mengatakan bahwa aku sudah pembukaan 1. Lalu, saat ia masuk lagi ke kamar, dia mengatakan bahwa setelah melaporkan keadaanku ke dr. Irwan, dokter menyarankan aku untuk operasi caesar karena induksi dinyatakan gagal. Deg! Berbagai perasaan berkecamuk di hatiku saat mengetahui kenyataan bahwa aku harus menjalani operasi caesar. Aku hanya disuruh memilih untuk dirujuk ke RSUP dr. Sardjito atau RS PKU Yogyakarta. Harusnya aku bisa saja normal kalau aku mau. Namun, andai aku harus menunggu untuk persalinan normal, aku harus menunggu sampai berapa lama lagi? Sedangkan alergiku semakin panas dan gatal. Dan rasanya pemeriksaan dalam yang dilakukan oleh bidan terakhir benar-benar membuatku yakin, bahwa keputusan caesar yang harus segera diambil.

Aku menelfon suamiku dan mengatakan kenyataan itu. Telfon terputus sementara. Tak lama, suamiku menelfon balik, ia setuju aku dicaesar dan memilih RSUP dr. Sardjito sebagai tempat rujukan. Akhirnya, adikku Dewi membantuku mengemas barang-barang, dan dengan ambulans RB Rachmi kami berangkat ke RSUP dr. Sardjito. Saat itu selain Dewi, juga ada bapak mertua dan ibu mertuaku yang ikut mengantarkan. Tiba di RSUP dr. Sardjito, aku langsung dimasukkan ke ruang IGD. Di sini aku mulai menjalani prosesi rumah sakit yang seumur hidup belum pernah kulakukan. Darahku diambil untuk skin test. Periksa tekanan darah, dipasangi infus, dipasangi alat bantu buang air kecil. Semua terasa aneh, dan semua terasa ‘menyiksa’. Aku ingin semua ini segera berlalu. Aku datang jam 15.30 WIB, dan katanya jam 16.00 WIB aku bisa segera dioperasi.

Tapi ternyata aku harus menunggu karena 2 ruang operasi yang ada di sana, semua tengah digunakan. Ya Allah, kuatkan aku. Selama menunggu, kontraksi pembukaan itu terus-menerus datang. Pinggang serasa mau patah, tempat-tempat yang tadi dipasangi alat bantu juga terasa ganjil. Saat kontraksi itu datang, walau dikuat-kuatkan, tak pelak air matapun beberapa kali mengalir di pipiku. Terlebih saat Mas Rudy masuk menemani di ruang IGD, menciumi keningku beberapa kali, mengatakan aku harus kuat, sembari mengingatkan untuk terus melafalkan beberapa surah Al-Quran. Saat ibuku pun masuk untuk menandatangi surat-surat pernyataan, setelahnya aku pun memintanya untuk memukul-mukul pinggangku karena semua terasa ngilu, pegal, tiduran salah, duduk juga salah. Berulang kali pun aku bertanya sama mereka, “Kapan operasinya? Lama sekali...”

Akhirnya, setelah menunggu, pukul 17.00 WIB aku mulai dibawa menuju ruang operasi. Aku pun berganti menggunakan pakaian operasi. Saat masuk ruangan operasi, saat itulah, aku benar-benar hanya bisa pasrah kepada-Nya. Akan kujalani, ya Allah... Lindungi aku. Kuatkan aku... Saat itu juga, aku merasa tubuh ini hanya benar-benar tubuh. Tak berdaya, tak ada artinya. Terserah para dokter itu akan melakukan apa atas tubuh ini. Aku hanya ingin segera bertemu dengan buah hatiku. Itu saja. Sesaat sudah di atas meja operasi, segala macam alat segera dipasang di tubuhku. Alat bantu oksigen, tekanan darah, detak jantung, dan ketika dr. Irwan sebentar lagi akan memasuki ruang operasi, para dokter itu, melakukan suntikan epidural di bagian punggungku. Itu untuk membius bagian yang akan dioperasi hingga kaki. Aku disuruh duduk, memeluk bantal, dan 3 suntikan pun kurasakan.

Dr. Irwan pun tiba-tiba menyapaku, “Ibu, bismillah yaa... Kita akan segera melakukan operasi.” Aku hanya mengangguk.  Akhirnya, pandanganku pun terhalang kain biru. Tubuhku menjadi objek operasi, kalau aku bisa mengira ada sekitar 7 orang selain aku di ruangan operasi itu. Dokter-dokter itu memang lucu, sembari mempersiapkan operasi, mereka tetap ngobrol seperti biasa. Sesekali menyapaku, “Gak takut kan, Mbak?” atau bertanya, “Aslinya orang mana, Mbak?” Mereka, dokter-dokter muda itu, seolah sengaja membuat suasana agar aku tidak tegang.

Saat bius sudah bekerja, aku disuruh untuk mengangkat kedua kakiku dan ternyata aku tidak bisa melakukannya. Saat semua dirasa siap, operasipun mulai dilakukan. Aku 100 persen sadar, tapi aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Aku hanya mendengar suara-suara. Dan tiba saatnya dr. Irwan mengajak dokter lain melakukan dorongan atas perutku untuk mengeluarkan bayiku, aku pun merasakannya. Walau selama operasi itu, aku pun menggigil tak henti-henti meski aku telah mencoba untuk memerintah pikiranku untuk tidak menggigil.

Tiga kali dorongan itu dilakukan, hingga akhirnya aku mendengar suara keras tangisan anakku. Tangisnya begitu menggelegar seolah ingin mengatakan kepadaku, “Mama, aku datang...” Dokter yang ada tak jauh dari kepalaku, langsung berujar, “Wah, tangisan wong Palembang ini. Kenceng banget!” Aku yang tadinya menangis terharu, langsung tersenyum. Tak lama, anakku yang sudah dibedong oleh dokter yang lain, didekatkan ke wajahku. “Ibu, anaknya perempuan. Cantik. Ayo, dicium.” Aku pun mencium pipinya yang cempluk dan putih itu sekali, lalu kemudian ia kembali dibawa pergi.

Aku masih harus menjalani tahap penjahitan. Agak lama kurasa, mungkin sekitar 20 menit. Aku merasakan setiap tarikan benang-benang plasenta itu, meski tidak terasa sakit. Hanya terasa gerakan-gerakannya. Akhirnya, setelah usai dijahit, dan dibalut perban, aku dikeluarkan dari ruang operasi dan masuk ke ruang pemulihan. Di sini aku baru kembali bertemu dengan keluargaku lagi dan juga suamiku. Iya, dia membatalkan kepergiannya ke Serang, dan otomatis tiket yang ia beli hari itupun menjadi hangus.

“Dek, anak kita cantik,” ujarnya ketika menemuiku. “Mirip siapa, Mas?” tanyaku. Dia cuma menjawab, “Belum tahu. Nanti kita cari tahu yaa...”  “Udah diazanin, Mas?” Dia pun mengangguk. Alhamdulillah... Akhirnya, impianku terjadi. Anakku lahir saat papanya ada di sini, dan papanya juga yang mengazaninya.

Akhirnya setelah 30 menit di ruang pemulihan, aku dibawa menuju ke ruang inap, tepatnya di bangsal Anggrek 2 nomor 7. Aku tinggal sendiri di situ, yah, itu memang kelas I. Walau perasaan, aku mesennya yang kelas II. Ternyata karena kondisi kamar kelas II yang penuh, aku pun masuk yang kelas I.

Selama 24 jam aku tidak diperbolehkan duduk, hanya boleh berbaring. Terasa sekali tidak berdayanya diri ini. Rasa kangen terhadap anakku pun muncul, namun karena alasan aku belum sehat, dia tidak diperkenankan untuk bergabung denganku. Untuk melihatnya di ruang bayi pun, hanya Mas Rudy yang boleh masuk. Keluarga yang lain tidak boleh. Akhirnya setelah menunggu, esoknya pukul 2 siang, anakku, Aruni Shafa Qurniawan, diperkenankan turun untuk berada di ruangan yang sama denganku. Kami seperti melihat artis, dia begitu cantik dan menggemaskan. Untunglah, sebelum Mas Rudy berangkat ke Serang hari ini, aku bisa melihatnya menggendong anak kami dengan penuh rasa kagum. Saat sore hari, ketika teman-teman dari HMP UGM (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada) berkunjung, walau aku hanya bisa tiduran di tempat tidur, mereka pun tampak seru sendiri dengan melihat Fafa.

Pukul 7 malam, aku pun belajar duduk. Ampun, sulit sekali. Namun, yang paling menyiksa adalah prosesi tadi pagi, yakni saat aku harus dimandikan di atas tempat tidur oleh 2 orang perawat. Saat aku dipaksa harus miring ke kiri dan ke kanan saat mereka harus mengelap bagian punggungku. Masya Allah, perih sekali, nyeri sekali... Tak sengaja, aku pun berteriak tertahan, saat aku dipaksa bergerak, “Aduuuh...”  Aku baru tahu rasanya sakit yang begitu sakit. Kan biasanya, paling cuma migren dan flu aja.

(Bersambung)

1 komentar:

  1. Istri saya juga melahirkan di RB rachmi dan sering kontrol juga dgn dr. Alfaina, semuanya baik2 saja.
    saran saya, coba gali informasi lebih dalam ttg gentle birth oleh bidan yessi aprilia, itu sangat bagus dalam proses mempersiapkan kehamilan secara normal. Dan coba ikuti yoga secara rutin, supaya proses persalinan bisa berjalan lancar. Semoga bermanfaat

    BalasHapus

Komenku buat nitastory kali ini...