Rabu, April 27, 2011

Ceritaku Tentang Fafa

Fafa tengah tidur sekarang. Tenang sekali. Di atas tempat tidur berukuran 120 x 200 cm dengan sprey polkadot biru tua-muda itu dia tengah menghembuskan nafasnya dengan teratur. Aku suka memandanginya ketika tidur, apalagi kalau kedua matanya tengah membuka menyapa dunia. “Apa nak? Apa yang tengah kau lihat?”

Usia Fafa baru hitungan hari sekarang. Senin, 18 April 2011, pukul 18.30 WIB lalu, aku baru melahirkannya secara caesar di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupku. Meski dibingkai dengan beragam rasa saat menjalani drama operasi itu hingga akhirnya selesai. Sungguh, saat mendengar tangisan Fafa, semua rasa itu berubah menjadi keharuan yang luar biasa.

Cerita bermula ketika aku memutuskan untuk mulai mondok di RB Rachmi, yang beralamat di Jl. KH. Wachid Hasyim 47 Yogyakarta, pada hari Minggu, 17 April 2011, pukul 10.00 WIB. Keputusan itu diambil setelah melakukan kontrol kehamilan terakhir dengan dokter kandunganku, dr. Irwan T. Rachman, SPOG, di tempat yang sama malam sebelumnya. Usia kehamilanku sudah lewat 5 hari dari HPL (Hari Perkiraan Lahir), membuat dokter kandunganku menyarankan untuk induksi agar proses persalinan dapat terjadi. Proses persalinan secara normal menjadi harapan saat itu, karena sebenarnya posisi bayiku sudah masuk panggul dan berada dalam posisi normal.

Minggu pagi, suamiku, Mas Rudy, datang dari Serang, tempatnya bekerja saat ini, ke Yogyakarta. Jadilah, pada pukul 10 pagi, kami berdua tiba di RB Rachmi, untuk mulai mondok. Ketika datang, kami disuruh memilih kamar yang diinginkan dan mengisi dua formulir data pasien. Kamar di RB Rachmi saat itu tengah penuh, hanya tersisa 3 kamar, 2 kamar kelas utama, dan 1 kamar kelas IA. Alhasil, aku memilih kelas IA.

Begitu masuk kamar, setengah jam kemudian, aku mulai diinduksi. Aku disuruh memasukkan obat kecil ke dalam mulut, diletakkan di antara gigi dan pipi bagian dalam dan membiarkannya larut tanpa dikunyah. Awalnya dr. Irwan memang ada, untuk kunjungan pertama saja, namun seterusnya hanya bidan, perawat, ibu kantin, dan petugas kebersihan yang datang, keluar-masuk kamar.

Selama menunggu, aku hanya menonton TV. Mas Rudy sendiri malah tertidur di tempat tidur yang juga tersedia di kamar itu. Dia kecapekan karena baru pagi tadi tiba. Empat jam kemudian, bidan pun kembali mengontrol apakah sudah ada tanda-tanda kontraksi? Aku jawab, tidak ada perubahan. Kontraksi memang ada, tapi masih jarang. Aku pun diberi obat lagi, kumakan dengan cara yang sama seperti obat yang pertama.

Waktu seolah berlalu begitu lama. Menu nasi dan snack yang cukup variatif dari RB Rachmi pun seolah tak mampu menghibur rasa deg-degan dalam hatiku. Kenapa belum teratur juga kontraksinya? Hingga induksi oral yang ke-4 pun, masih belum ada tanda-tanda flek. Setiap kali bolak-balik ke kamar mandi untuk memeriksanya, lagi-lagi harus kecewa karena tidak ada warna pink atau merah. Hanya putih seperti biasanya.

Hari sudah berganti Senin sekarang. Semalam aku tidur di RB Rachmi ditemani suami dan ibuku yang sengaja datang dari Palembang. Karena belum ada perubahan, pagi, aku berinisiatif untuk jalan-jalan sebentar keluar. Karena katanya, banyak bergerak akan mempercepat terjadinya kontraksi. Akhirnya, aku pun berjalan keluar dengan suamiku di sekitar parkiran Ngabean yang ada di depan RB Rachmi. Suamiku yang kedinginan selama di kamar, langsung mencari sinar matahari. Aku sendiri menghindari matahari pagi karena aku punya alergi dengan itu. Hanya sebentar berjalan, aku memintanya untuk pulang lagi ke RB Rachmi karena capek. Namun, sebelumnya kami sempat membeli nasi gudeg yang berjualan tak jauh dari sana.

Jam 8, bidan kembali mengontrol, dan sekarang saatnya untuk periksa dalam. Oow, ini pengalaman pertamaku. Malu, gak enak, sakit, semua jadi satu. Ternyata hasil pemeriksaan itu belum ada pembukaan sama sekali. Karena itu, aku kembali diinduksi untuk kelima kalinya, namun yang ini melalui vaginal. Iya, obat kecil yang tadinya dimasukkan lewat mulut itu, harus dimasukkan lewat bawah dengan bantuan tangan bidan. Ya Allah, ternyata sakit sekali prosesi yang satu ini. Mo nangis rasanya, saat tangan bidan menekan dalam-dalam hingga menyentuh dinding rahimku.

Rasa tidak nyaman mulai muncul setelah itu. Entah apa karena faktor psikis, ato psikologis, karena faktor matahari jalan-jalan tadi pagi, ato karena induksi terakhir, alergiku pun menderaku. Pertama bentol merah kecil muncul di siku kiriku. Lama-lama, muncul bentol-bentol lain di daerah tubuh yang lain. Makin lama makin terasa gatal, panas, dan banyak. Aku berusaha tidur dan minum air putih untuk mengurangi alergi itu. Pukul 12 siang, ibu dan suamiku memutuskan pulang ke Sedayu, berganti jaga dengan adikku Dewi. Suamiku pulang karena harus siap-siap untuk pergi lagi ke Serang. Dia sudah beli tiket kereta api menuju Jakarta yang akan berangkat pukul 4 sore nanti.

(Bersambung)

1 komentar:

Komenku buat nitastory kali ini...