Pengantar Nita:
Karena satu dan lain hal, saya lagi tidak sempat merangkaikan kata-kata untuk meng-update blog saya yang sangat saya cintai ini. Namun, saya ingin sekali memasukkan artikel dari Tabloid NOVA ini karena temanya yang sangat sensitif untuk dibaca sekaligus menjadi koleksi tulisan dalam blog ini. Jelas, saya tampilkan link sumbernya. Mo baca juga? Monggo dihaturi...
Ibu Nursyahbani yang terhormat,
Saya menikah 1999 dan mempunyai seorang anak berusia 3 tahun. Pertengahan tahun 2002, saya baru tahu bahwa suami saya ternyata mempunyai perempuan lain, sebut saja A. Bahkan sudah punya anak berumur 6 bulan. Saya pernah menanyakan status perkawinan mereka, dan suami bilang sudah menikah di depan penghulu dan mempunyai surat nikah. Yang ingin saya tanyakan:
1.Apakah perkawinan mereka sah secara hukum, meskipun tanpa persetujuan saya? Apakah KUA dapat mengeluarkan surat nikah tanpa adanya surat keterangan yang tidak mendukung pernikahan tersebut?
2.Bila tidak sah, apakah saya dapat menggugat/menuntut perkawinan tersebut? Jika bisa, bagaimana cara melakukannya?
3.Apakah anak dari hasil hubungan dengan A dapat dinyatakan sah secara hukum dan dapat dimasukkan sebagai ahli warisnya?
Demikian pertanyaan saya, atas bantuan Ibu saya ucapkan banyak terimakasih.
Suli ¬ Jakarta
Mbak Suli yang baik,
Sebagaimana telah berulang kali saya kemukakan dalam rubrik ini, pasal 3 UU Perkawinan menyatakan bahwa pada asasnya UU Perkawinan didasarkan pada asas monogami. Namun seorang suami dapat beristri lagi sampai 4 (empat) orang. Ketentuannya, dia harus terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk kawin lagi kepada pengadilan agama di tempat tinggalnya.
Pengadilan agama akan mengabulkan perkawinan kedua dan seterusnya apabila istrinya tidak dapat melahirkan keturunan, sakit terus menerus, mendapat cacat badan, atau jika tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Di samping alasan-alasan tersebut seorang suami juga disyaratkan untuk mendapatkan persetujuan dari istri-istrinya terdahulu, berlaku adil terhadap istri-istri atau anak-anaknya, serta mempunyai penghasilan yang cukup.
Mengenai syarat persetujuan istri tidak dimintakan secara mutlak, karena jika seandainya seorang istri tidak memberikan persetujuannya, maka pengadilan dapat memberikan penilaiannya sendiri, apakah ketidaksetujuan istri itu memang dapat diterima atau tidak. Ini berarti otoritas untuk memberikan persetujuan itu telah beralih kepada pengadilan seiring dengan otoritas pengadilan untuk memberikan izin kawin lagi tersebut.
Nah, berdasarkan ketentuan tersebut, jika perkawinan suami dengan A tidak melalui prosedur di atas dan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pasal 4 dan 5 UU Perkawinan, jelas perkawinan tersebut tidak sah secara hukum. Meski mungkin saja menurut ketentuan atau tafsir agama telah terpenuhi, yaitu ada wali, ijab kabul, saksi, dan mas kawin.
Dengan demikian surat kawin yang dimilikinya pun adalah surat kawin yang tidak sah, atau bisa juga asli tapi isinya palsu. Sebab surat kawin tersebut saya duga dibuat berdasarkan keterangan dan identitas diri yang tidak benar dari suami Anda. Untuk perbuatannya ini suami Anda terancam pasal 279 KUHP, yakni tentang larangan kawin lagi jika perkawinan yang pertama menjadi halangan untuk kawin lagi. Suami bisa terancam hukuman tujuh tahun.
Selain itu karena pemalsuan identitas diri atau keterangan palsu lainnya yang dimasukkan dalam akte perkawinannya maka ia dapat diancam dengan pasal 266 tentang pemalsuan surat-surat dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Para petugas yang mengeluarkan surat kawin yang berisi data-data palsu tersebut juga terancam pasal 263 KUHP tentang membuat surat-surat palsu atau memalsukan surat. Ancaman hukuman penjara selama enam tahun.
Terhadap perkawinan suami Anda dengan A. Sesuai dengan ketentuan pasal 22 dan 23 UU Perkawinan, Anda dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan mereka ke pengadilan agama di tempat tinggal suami. Jika alamat suami tidak jelas bisa juga diajukan di tempat tinggal Anda sendiri. Dalam waktu yang bersamaan, Anda juga dapat melaporkan ke kantor polisi terdekat berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut di atas.
Menyoal status anak suami dengan A, jelas merupakan anak tidak sah secara hukum. Pasal 42 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Selanjutnya, pasal 43 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Berdasarkan ketentuan ini, secara hukum anak tersebut tidak mempunyai hak apapun atas harta waris ayah biologisnya maupun hak atas nafkah.
Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat. Jika Anda memerlukan penjelasan lebih detil atau membutuhkan bantuan hukum lainnya, bisa datang ke LBH APIK Jakarta atau LBH terdekat lainnya.
Sumber Link: http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=3995
Bagaimana jika kondisi si A ini saat sebelum nikah sudah dalam kondisi hamil, dan demi menutupi aib , keluarga A meminta laki2 itu menikahi meski harus menggunakan/membuat data palsu demi kelangsungan pernikahan mereka...?? Bagaimanakah status anak ini? dan bagaimana implikasinya jika disandingkan dengan KEP Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 17 Februari 2012??
BalasHapus