Minggu, September 23, 2012

Guruku Kayak Rainbow Cake

Seandainya warna merah yang terletak di layer paling atas Rainbow Cake diasumsikan sebagai rasa paling enak, seharusnya semua guru yang ada memegang bendera warna merah yang sama untuk menandakan bahwa mereka semua sebagai guru yang ideal. Namun, seperti Rainbow Cake, guru-guru yang kutemui sejak SD hingga SMA pun begitu berwarna. Ada yang pintar, ada yang agak pintar, ada yang bersahaja, ada yang pecicilan, ada yang pendiam, ada yang cerewet, ada yang hobinya ngasih tugas LKS, dan ada juga yang sangat mahir bercerita sehingga ada beberapa nama di antara mereka yang “sengaja” terus kuingat sampai sekarang.

Guru SD yang masih kuingat sampai sekarang adalah Ibu Yusnita (almh). Beliau mengajar pendidikan agama Islam. Saat bersekolah di SD Muhammadiyah 14 Palembang itu, pendidikan agama memang selalu diutamakan. Rasanya sangat mudah sekali menghafal surat-surat pendek di masa itu. Kalau sekarang, untuk sholat pun biasanya akrab dengan surat itu-itu saja. Hee... U know what laaah... Tapi, moment belajar yang paling kuingat itu, ketika kelas 2 SD, Ibu Yusnita bercerita tentang Sidratul Muntaha. Yakni, sebuah jembatan di alam akherat, yang katanya tipisnya seperti rambut yang dibelah 7. Di bawah jembatan itu, api neraka dengan dahsyatnya menyala-nyala. Bagi yang amalannya sedikit, kemungkinan untuk jatuh pasti lebih besar. Namun bagi yang amalannya banyak, ia seolah berlari dengan menggunakan kereta kuda ketika menyembrangi jembatan itu. Weeeh, cukup lama aku terus terbayang-bayang atas kisah itu. Mungkin sampe sekarang masih.  Kalau lewat jembatan apa saja, cerita itu pun terbayang. Haha, cuma yaaah... dampaknya sangat positif. Meski tetap sampai kapanpun tidak pantas disebut sebagai manusia sempurna, namun usaha untuk menjadi manusia baik itu selalu ada. Salah satunya karena kisah Sidratul Muntaha itu tadi.

Kalau guru SMP, guru yang paling terkenang itu namanya Ibu Jumainah. Beliau mengajar Biologi, sempat pula menjadi wali kelas ketika kelas 2 SMP. Ibunya pintar di bidangnya, namun sekaligus juga pintar mengintimidasi siswa-siswanya. Hahaha! Usai membahas satu bab, kami sekelas selalu dipaksa untuk menghafal seluruh soal-soal yang ada di setiap akhir bahasan buku Biologi terbitan Erlangga itu. Minggu depannya disuruh maju per tiga orang, dan ia kemudian menyebut nomor acak sebagai nomor soal di buku. Kita yang maju pun harus segera menuliskan soal beserta jawaban yang tepat. Jika lupa atau salah, maka hukuman “jalan bebek” pun harus dijalankan. Kaki pegal adalah efek atas hukuman yang sebenarnya hanya berupa jalan sambil jongkok di depan kelas sebanyak 10 kali bolak-balik. Saya pernah sekali terkena hukuman itu, dan merasa jera setelahnya. Setelah itu, tradisi menghafal mati-matian pun menjadi ritual biasa untuk pelajaran Bu Jum. Selain terkenal dengan hukuman jalan bebek, ibu yang juga dipercaya menjadi Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 19 Palembang itu juga terkenal dengan hukuman menulis di buku, hukuman jewer, atau mengambil kaos kaki bagi siswa-siswi yang nekat menggunakan kaos kaki bukan berwarna putih polos.


(Saya & Dunia Kerja Pendidikan)
Sedangkan di SMA, saya pasti tidak akan pernah bisa melupakan Ibu Dra. Wien Sukarsi. Beliau adalah Kepala Sekolah SMA Plus Negeri 17 Palembang. Basicnya adalah guru Bahasa Indonesia, dan memang secara langsung tidak pernah mengajar di kelas. Namun yang selalu ia lakukan adalah secara konsisten terus memberikan motivasi kepada seluruh siswa untuk selalu berprestasi. Selama di bawah kepemimpinan beliau, SMA-ku terus mendulang penghargaan. Meski juga terkenal disiplin dan memberikan hukuman setimpal untuk mereka-mereka yang melanggar peraturan, namun saat ada siswa/i yang berprestasi, ia juga akan selalu memuji-muji mereka di depan siswa/i yang lain. Saya pernah dipanggil ke depan aula secara spontan, dan beliau pun menangis untuk saya. Hal ini terjadi pada hari yang sama ketika Marella 17, majalah sekolah kami terbit edisi perdana. Yaa, saya adalah pencetus majalah itu sendiri. Majalah itu terus digodok hingga hampir satu tahun namun menjadi terbengkalai karena sang ibu kepala sekolah banyak bimbang akan keberhasilan terbitnya majalah itu nanti. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencetak majalah itu langsung tanpa izinnya. Sedangkan uang untuk membayar majalah, sudah kami tagih ke kelas-kelas. Sehingga ketika majalah itu diantar oleh penerbit ke sekolah, kami langsung akan membayarnya lunas. Namun, ketika penerbitnya datang mengantar, ternyata yang menerima adalah Ibu Wien langsung. Saya tidak tahu bagaimana ekspresi beliau ketika melihatnya pertama kali. Yang jelas, hari itu, kami semua, seluruh angkatan dipanggil untuk berkumpul di aula. Saat ditanya, “Apakah kalian tahu kenapa kalian dikumpulkan?” Semua diam. Lalu, nama saya pun dipanggil untuk maju ke depan. Begitu naik, beliau langsung memeluk saya dihadapan semua siswa/i yang lain. “Inilah salah satu siswi kebanggaan ibu. Begitu gigih, tak kenal lelah. Walau sering dimarah, diusir, bahkan disuruh untuk membatalkan rencana untuk membuat majalah sekolah. Tapi hari ini, Ibu sangat bangga, majalah itu ternyata benar-benar sangat pantas untuk kita baca.” Iya, saya ikut menangis di sana. Saya pikir saya akan dimarahin, ternyata respon beliau sebaliknya. Thanks God...

Mengikuti pendidikan tingkat dasar, pertama, hingga atas selama 12 tahun di masa-masa pertumbuhan dan remaja tentu merupakan pengalaman berharga dalam membangun moralitas dan mental. Selain tentu saja juga dalam menabung ilmu-ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh para guru. Dari sana, kita dapat menempa ingin menjadi pribadi yang seperti apa. Para guru yang baik otomatis akan menjadi teladan untuk menjadi inspirator para siswa/i-nya. Sebaliknya, para guru yang buruk hanya akan menjadi bahan lelucon di antara siswa/i itu sendiri. Jadi, jangan pernah menganggap siswa tidak bisa membedakan mana guru yang berkualitas, mana yang tidak. Apakah cukup dengan cara akrab dengan siswa/i lalu dibilang guru yang “seru”? Oo, nanti dulu! Jangan geer dong, Pak, Bu. Kita akrab dan ketawa-ketiwi dengan guru bukan berarti kita mengidolakan situ lho... Hee! *ups

Dari tiga sosok guru yang membuat kenangan proses belajar-mengajar itu kerap hadir di pikiran saya di atas, nyatanya para guru tersebut bukan berarti tidak pernah memberikan hukuman keras terhadap peserta didiknya yang berbuat salah. Menurut  saya, justru ketika mengenyam pendidikan sebelum pendidikan tinggi itulah, para guru tidak hanya bertindak sebagai orang yang mentransfer ilmu pengetahuan semata. Namun juga berlaku sebagai orang yang menjalankan peran sebagai regulator langsung untuk menunjukkan kepada peserta didik tentang nilai-nilai yang baik dan yang buruk di dalam kehidupan kita di dunia. Memberikan batas yang jelas antara hitam dan putih, benar dan salah. Sehingga ketika pada akhirnya peserta didik itu terjun ke masyarakat, mereka tahu bahwa pada hakekatnya tidak ada wilayah abu-abu. Mereka dibuat sadar, bahwa yang benar dan berprestasi harus dipuji dan diberi penghargaan, dan yang berbuat salah atau melanggar peraturan harus diberi hukuman setimpal hingga mereka menyadari kesalahan mereka dan memperbaikinya.

Berikut ini kriteria guru ideal yang saya analisis berdasarkan pengalaman mengenyam pendidikan di bangku sekolah, sekaligus ketika terjun langsung di dunia pendidikan ketika masuk di dunia kerja.
  1. Harus paham kurikulum, konsep-konsep dasar, sekaligus materi pengajaran sebelum mengajar ke kelas-kelas. Seperti halnya antivirus yang selalu minta di-update setidaknya setiap satu minggu sekali, begitu juga dengan para guru untuk terus memperbaharui informasi yang berkaitan dengan materi pelajaran yang diajarnya. Terlebih untuk guru-guru yang mengajar di bidang sosial yang memang sangat rentan dengan perubahan. Sebelum mengajar secara kompleks, minimal guru tersebut dapat menjelaskan konsep dasar dari materi yang akan diajarkan secara mind mapping dan menjelaskan tujuan dari materi itu kenapa harus dipelajari.
  2. Memberikan cara pengajaran yang tidak melulu di ruang kelas juga perlu. Menonton bioskop bersama, menonton sirkus bersama, pergi ke pameran pembangunan bersama, mengunjungi kantor polisi atau kebun binatang perlu dilakukan agar pengalaman langsung itu dapat diterima dan terpola di pemikiran siswa/i. Hal ini mungkin yang mendasari munculnya sekolah-sekolah alam. Menarik, namun karena tidak semua lembaga pendidikan dapat melakukannya, setidaknya dalam satu semester minimal satu kali dilakukan belajar di luar sekolah.
  3. Melakukan metode pengajaran secara andragogi, yakni  menempatkan ‘murid’ sebagai subyek dari sistem pendidikan. Menurut Malcolm Knowles (1970), fungsi guru di sini adalah “fasilitator” dan bukan menggurui. Relasi guru-murid bersifat multicommunication. Jadi, bukan secara pedagogi, yakni yang ‘menempatkan obyek pendidikannya sebagai anak-anak’ meskipun usia biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’ sehingga menempatkan mereka sebagai ‘murid’ yang pasif.
  4. Pandai bercerita adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Dengan bercerita, ia bisa mengembangkan imajinasi mereka dalam bermimpi dan memotivasi peserta didiknya sekaligus untuk berbuat lebih demi menggapai mimpi tersebut. Indikatornya, kalau tidak terlihat ada murid yang bosan artinya guru tersebut cukup mampu menguasai kelas. Memiliki intonasi suara yang jelas, pandai memberikan analogi, melibatkan murid-muridnya untuk ikut berpendapat dalam sebuah kasus yang diangkat adalah cara jitu untuk menciptakannya.
  5. Demikian halnya guru yang pandai mengelola emosinya saat berhadapan dengan peserta didik yang terlalu “aktif” ataupun terlalu “pasif”. Semakin ke sini, hukuman berupa aksi fisik memang terus ditentang oleh para orang tua dan pengamat pendidikan. Maka para guru juga harus pintar memilih hukuman yang tidak melemahkan peserta didik itu sendiri namun justru malah melebihkannya. 
(#IDBerkibar di d'fab Palembang)

Saya berharap kriteria-kriteria guru ideal yang saya tulis di atas dapat terus dimiliki dan diperbanyak jumlahnya oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Tidak hanya di sekolah yang mahal, namun juga di sekolah-sekolah yang ada di pinggiran. Tentunya semua ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan itu sendiri, para guru, juga masyarakatnya. Hal ini agar semata-mata visi utama pendidikan, yakni ‘memanusiakan manusia’ untuk menjadi subyek transformasi sosial dapat tercapai. Upaya penanaman pendidikan kritis juga perlu ditingkatkan untuk memberikan paradigma kebenaran dalam setiap pemikiran para pelaku pendidikan di sektor manapun dia berada. Baru setelah itu memposkan anggaran dana pendidikan sesuai dengan tempatnya tanpa dibayang-bayangi keinginan untuk me’nilep’nya secuil pun. Inget, bro: korupsi itu dosa, ntar di Sidratul Muntaha jatuh ke api neraka, lho...  Hee!

Well, guruku memang kayak Rainbow Cake, begitu banyak warna, begitu banyak rasa. Namun apapun rasanya, sungguh, aku mencintaimu, Pak, Bu. Tanpa kalian, saya gak mungkin bisa menulis artikel ini sekarang. Tanpa kalian juga, saya gak mungkin bisa berprofesi sebagai dosen Ilmu Komunikasi seperti yang saya jalani sekarang. Makasih ya Pak, Bu. Walau bagaimanapun, Bapak, Ibu, mereka-mereka yang sudah memilih profesi guru sebagai jalan hidup mereka adalah orang-orang yang patut kita acungi jempol. Mereka adalah orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi sebagai garda depan untuk memperbaiki moral bangsa. Di pundak mereka beban yang begitu besar harus mereka emban. Oleh karena itu, kalau bukan kita yang terus mengupayakan untuk membantu mereka dalam memperbaiki sistem pendidikan yang ada, siapa lagi? Mulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri, sadari bahwa pendidikan itu penting! Guru itu penting! Salah satu caranya juga bisa dengan ikut mendukung Gerakan Indonesia Berkibar. Karena tanpa semua itu tidak akan tercipta berbagai profesi yang juga begitu berwarna di dunia kerja. Karena hidup ini juga seperti Rainbow Cake, maka hargailah perbedaan itu dan teruslah manis dalam mengukir prestasi. Chayooo!!!

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...