Jumat, Maret 20, 2020

GAYA DAN MODEL PRODUKSI, DISTRIBUSI DAN KONSUMSI GAUN PENGANTIN DI ERA GLOBALISASI


Oleh : Sumarni Bayu Anita

Program Studi Ilmu Komunikasi, STISIPOL Candradimuka – Jl. Swadaya Sekip Ujung Palembang  

E-mail: sb.anita@gmail.com


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah meninggal, putri Inggris Lady Diana Spencer nyatanya masih meninggalkan warisan berupa sejumlah koleksi busana. Sang desainer, Elizabeth Manuel, melelang koleksi mantan istri Pangeran Charles ini di Inggris pada 8 Juni 2010 lalu. Di antara busana tersebut, terdapat satu gaun yang digunakan Lady Diana di hari pernikahannya. Harga lelang terendah gaun pengantin ini adalah 30.000 Euro atau setara Rp 340 juta. Gaun Diana ini dianggap bersejarah karena mengubahnya menjadi sosialita.  

Tak hanya Lady Diana, banyak tokoh atau selebriti luar negeri bahkan dalam negeri pun ada yang ikut berlomba dalam memberikan tampilan berbeda pada gaun pengantin mereka untuk kemudian berharap menjadi bagian dalam sejarah fashion. Gaun pengantin yang dikenakan dalam momen pernikahan tentunya akan selalu dikenang dua sejoli yang mengikat janji suci. Namun, selain menjadi elemen pernikahan yang menampilkan keindahan, gaun pengantin juga menunjukkan gengsi sang pengantin terhadap publik yang melihatnya. Tercatat gaun pengantin rancangan seorang perancang busana dari Beirut, Lebanon, Jad Gandhour, menjadi gaun pengantin termahal yang pernah ada atau bisa dikatakan sebagai yang paling mahal di dunia. Gaun yang sengaja dibuat untuk Miami International Fashion Week yang dilaksanakan pada 18-21 Maret 2010 lalu di Miami, Amerika Serikat itu memiliki nilai seharga US$ 1,5 juta atau setara dengan Rp 13,6 milyar. 

Selain gengsi yang tercermin dalam bentuk nominal atau segi ekonomi, faktor keunikan turut mempengaruhi seseorang berani tampil beda dalam visualisasi gaun pengantin yang mereka kenakan di hari pernikahan. Pengantin di Guang Zhou, China mencetak rekor gaun pengantin terpanjang di dunia dengan panjang 219 meter. Gaun ini diciptakan oleh seorang perancang bernama Andreas Evstratiou di Paphos, Cyprus pada bulan Februari 2007. 

Penggunaan gaun panjang berwarna putih sebagai gaun pengantin yang mulanya berawal dari Eropa, nyatanya menglobalisasi ke seluruh belahan dunia yang lain. Tak hanya Cina seperti contoh di atas, Indonesia pun terimbas wabah yang sama. Artis Bunga Citra Lestari atau biasa disebut BCL juga mengenakan gaun pengantin putih sebagai salah satu kostum pengantin di hari pernikahannya bersama aktor Malaysia, Ashraf Sinclair pada 14 November 2008 lalu. Gaun yang dirancang oleh desainer Indonesia, Purnomo Sikie ini berupa gaun putih tanpa lengan berhias tudung kepala putih panjang. Resepsi pernikahan Bunga dan Ashraf yang dipastikan menelan budget Rp 3 milyar ini memang terdiri dari 3 gaya busana pengantin, yakni gaya tradisional Indonesia berupa adat Minangkabau yang digelar di Hotel The Sultan Jakarta, gaya barat ala Britis di Hotel The Saujana Kuala Lumpur dan gaya Melayu khas Malaysia di Kelab Golf Bukit Kiara Malaysia. 

Presenter Indra Bekti yang menikah pada tanggal cantik 10-10-2010 pun, bersama istrinya, Adilla Jelita, juga mengenakan gaun pengantin berwarna putih namun telah dimodifikasi menjadi bernuansa muslim. Baju dari perancang Marga Alam Collection ini dipenuhi hiasan mozaik kaca ciri khas dari negeri Maroko. Didukung dengan ruang pelaminan yang bernuansa Arabian di Gedung Sampoerna Strategic, Jakarta Selatan pernikahan Indra dan Adilla memang tergolong unik karena bertema sepuluh. Usai melangsungkan akad, Indra dan Dilla melangsungkan resepsi dengan dipandu 10 MC yang terdiri dari MC kondang antara lain seperti Indy Barends, Ruben Onsu, dan Olga.

Dari beberapa contoh fenomena sosial budaya mengenai gaun pengantin di atas, gaya atas fashion yang dalam hal ini terfokus pada gaun pengantin yang dikenakan di hari pernikahan menjadi titik tekan penulisan paper ini. Gaya merupakan salah satu konsep kritis terpenting yang disebarkan oleh sejarawan seni dan hal ini ikut terkait dengan kebudayaan visual yang terikat ruang dan waktu. Menurut John A. Walker (2010: 169), sejarawan seni menganggap gaya itu vital karena mereka memikirkannya sebagai manifestasi luaran dari wujud batin seorang person, kelompok sosial atau zaman. Jika seseorang dapat memahami suatu gaya, sebagaimana adanya, maka dia akan memperoleh akses langsung terhadap keseluruhan struktur nilai dari suatu budaya asing, masa silam atau strata sosial.

Meski gaya terkait erat dengan kreatifitas para desainer dalam menciptakan desain, namun ada jalinan yang tak putus antara desainer sebagai produsen, pengguna fashion sebagai konsumen, sekaligus pihak-pihak lain yang membuat produk tersebut bisa sampai dan menjadi pilihan para konsumen untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, selain akan menjelaskan mengenai perkembangan gaya yang ada pada gaun pengantin, di paper ini juga akan coba menjelaskan mengenai model produksi, distribusi, dan konsumsi yang kemudian menjadi faktor penyebab menglobalisasinya gaun pengantin putih ala Barat itu ke seluruh belahan dunia yang lain. 


B. Rumusan Masalah

“Bagaimana gaya dan model produksi, distribusi dan konsumsi gaun pengantin di era globalisasi?”


C. Tujuan 

Untuk mengetahui bagaimana gaya dan model produksi, distribusi dan konsumsi gaun pengantin di era globalisasi.


BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

A. Gaya

Nicos Hadjinicolaou menggambarkan gaya sebagai ’bentuk khusus dari ideologi menyeluruh suatu kelas’ (Walker, 2010: 169). Sebenarnya, dia tidak menyukai istilah ’gaya’ dan mengusulkan gantinya istilah ’ideologi visual’, yakni ideologi yang dibuat terlihat. Jika seseorang dapat memahami alasan untuk perubahan stalistik sepanjang waktu, dia juga memperoleh kunci untuk hukum evolusi kebudayaan. 

Kata ’style’ berasal dari bahasa Latin, stilus, yang berarti ’peralatan menulis’, maka itulah mengapa ide tulisan tangan dianggap sebagai ekspresi langsung karakter individual (Walker, 2010: 170). Implikasinya di sini bahwa siapa pun tidak bisa tidak selain menyingkapkan dirinya sendiri dalam menulis dan kemudian tulisan tangan dapat digunakan untuk mendeteksi identitas sang pengarang: ’gaya mencerminkan manusianya’. Namun, Walker juga menambahkan ada pandangan lain tentang gaya yang bisa disebut ’retorikal’. Ini adalah ide bahwa dalam masyarakat kompleks mana pun beragam gaya menulis dan berbicara eksis itu bisa dipelajari atau ditiru. Sehingga berbeda dengan pemahaman sebelumnya, gaya dalam pengertian ini sangat artifisial: gaya itu publik dan sosial bukan privat dan personal.

Gaya, dalam pengertian retoris, dapat dipandang sebagai sumber daya, sebagai faktor dalam produksi artistik, yang dengan begitu sekalinya sejumlah gaya eksis, para seniman, yang dalam paper ini yakni para desainer, bisa memilih gaya mana yang ingin mereka gunakan atau diolah lagi. Mereka juga dapat memilih untuk menggabungkan berbagai gaya untuk menciptakan hibrida. Pokok-pokok ini menjadi jelas ketika siapa pun mempertimbangkan berbagai kasus kebangkitan kembali gaya: neo-klasikisme, gotik Victorian, dan sebagainya. Bahkan ketika siapa pun mempertimbangkan gaya yang dipinjam dari budaya lain, misalnya gaya Timur Tengah (busana muslim). 

Secara lebih spesifik, istilah gaya didefinisikan oleh Meyer Schapiro, sejarawan seni terkemuka Amerika, sebagai berikut:

Dengan gaya yang dimaksudkan adalah bentuk konstan—dan terkadang berbagai elemen, kualitas dan ekspresi konstan—dalam seni individual atau kelompok—di atas semuanya, gaya adalah sistem bentuk...deskripsi gaya merujuk kepada tiga aspek seni: motif atau elemen bentuk, berbagai hubungan bentuk dan kualitas (termasuk seluruh kualitas yang bisa kita sebut ’ekspresi’). 

Frederick Antal, di sisi lain, berpendapat bahwa setiap karya seni merupakan korelasi spesifik bentuk dan isi. Sehingga satu alasan mengapa rambut perempuan menjadi semacam motif populer dengan para seniman art nouveau adalah karena rambut itu memberikan kemungkinan eksploitasi bentuk favorit—garis-garis berombak. Judith Gedova juga berpendapat bahwa ’gaya diciptakan dengan mengawinkan bentuk kepada isi dengan sedemikian rupa yang diekspresikan bentuk, yaitu secara metaforis menunjukkan isi.’ 

Gaya bukanlah konsep yang dengan pantas diterapkan pada artefak tunggal: gaya hanya valid dalam hal artefak yang dianggap sebagai anggota kelompok (Walker, 2010: 172-173). Sehingga untuk mengidentifikasi suatu objek sebagai bagian dari gaya tertentu perlu ditunjukkan secara tidak langsung keberadaan objek lainnya yang dengannya objek tersebut memiliki ciri-ciri umum yang sama. Oleh karena itu, karakter khusus dari suatu gaya akan terlihat paling jelas ketika dibandingkan dengan gaya lain. Cukup jelas bahwa jika terkadang dikatakan terhadap seseorang bahwa dia ’memiliki gaya’, maka ini menyiratkan ada orang-orang yang tidak memiliki gaya. Namun dari sudut pandang antropologis, setiap orang memiliki gaya karena tak seorang pun bisa berada di luar gaya. Mungkin bedanya, sebagian individu teramat sangat menyadari gaya, sementara yang lain tidak peduli akan penampilannya. Dengan fakta bahwa setiap orang merupakan subjek bagi gaya, maka seluruh masyarakat bisa dianalisis dalam kaitannya dengan spektrum gaya yang darinya gaya tersebut dikomposisikan. 


B. Model Produksi, Distribusi dan Konsumsi 

Suatu model umum produksi, distribusi, dan konsumsi desain bisa disajikan secara diagramatis, termasuk pula gaun pengantin sebagai salah satu desain khusus dari artefak fashion. Representasi yang sistematis itu akan memperjelas hubungan logis di antara beragam elemen. Satu keuntungan dari jenis model ini adalah bahwa ia memungkinkan kita untuk melihat sekilas di mana seharusnya kajian tertentu berada dan sekaligus untuk mengidentifikasi topik-topik yang akan dibahas.

Dalam buku Visual Culture An Introdution, karya John A. Walker & Sarah Chaplin, terdapat sebuah gambar diagram yang berjudul Production, Distribution & Consumtions Model for the Field of Design (1997: 66). Model ini diterangkan kembali oleh Walker (2010: 75) bahwa tidak sepenuhnya ahistoris: ia dirancang dengan bayangan masyarakat modern Barat (1700-1980-an), era moda produksi kapitalis, sehingga ia perlu diubah secara drastis untuk diterapkan pada satu masyarakat tribal atau feodal. Pada gambar 1 di bawah, proses-proses desain, produksi, dan konsumsi dipandang sebagai suatu sistem yang sangat otonom, sekalipun jelas bahwa proses-proses ini berlangsung di dalam lingkungan sosial yang lebih luas. 

Setiap penerapan spesifik model tersebut perlu mempertimbangkan tak hanya batas-batas yang memastikan otonomi relatif desain, melainkan juga interaksi antara mikrosistem dan makrosistem yang meliputinya. Menurut Walker (2010: 76), di dalam moda produksi kapitalis terdapat lebih dari satu tipe produksi dan beberapa di antaranya bertolak dari moda dominan. Misalnya, moda kriya khas feodalisme dalam beberapa hal bertahan di era produksi industrial massal. Sekalipun statusnya vis-a-vis moda dominan bersifat anakronistis dan marjinal. Desain dalam konteks industrial manufaktur, bukan produksi kriya, seperti halnya fashion, merupakan subyek ilustrasi tersebut.

Marxisme ortodoks menggunakan model basis/superstruktur untuk menjelaskan struktur masyarakat di mana sebuah fondasi material mendukung sebuah superstruktur ideologis:

Pada akhir analisisnya, kaum Marxis berpendapat, basislah yang menentukan apa yang terjadi dalam superstruktur. Desain melintasi pembagian antara dua ranah ini karena ia jelas merupakan bagian dari ekonomi, bagian dari produksi industri dan teknologi, tetapi sama jelas juga, ia merupakan fenomena ideologis yang melibatkan berbagai ide, perasaan, kreativitas, selera, gaya, dan seterusnya.

Untuk tujuan pemaparan dan kejelasan, dua proses produksi dan konsumsi dibicarakan secara terpisah dalam pola linear dan sekuensial, tetapi harus diakui bahwa dalam praktiknya kedua proses itu saling bergantung. Oleh karena itu, setiap proses mencakup kebalikannya, yaitu seperti dua istilah Marx ’konsumsi produktif’ dan ’produksi konsumtif’.


BAB III PEMBAHASAN

A. Sejarah Gaun Pengantin

Pada abad pertengahan, warna baju dan jenis bahannya digunakan sebagai penanda status sosial seseorang (Aini, 2009). Hanya kaum kerajaan dan bangsawan saja yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru, renda, dan menggunakan warna-warna “grandeur”, seperti emas, ungu dan biru. Hal ini karena pada masa itu, teknik penganyaman benang, teknik ekstraksi zat pewarna kain dan proses pewarnaan kain dilakukan secara manual dan karena bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal. Tak pelak pada masa itu, hanya gadis-gadis bangsawan yang akan merayakan pesta pernikahan mereka yang bisa mengenakan baju dan perhiasan berwarna “grandeur” tadi. Adapun gadis-gadis dari kasta sosial yang lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju dan penampilan para bangsawan yang menjadi trendsetter era itu. Jarang sekali mereka bisa menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena mahal.

Putih tetap tidak menjadi warna pilihan untuk gaun pengantin sampai tahun 1840, di mana Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg (Yulis, 2010). Statusnya sebagai keluarga kerajaan sekaligus simbol gadis bangsawan ternama, membuat gaun pengantin putih mewah berhiaskan penuh renda Honiton Lace yang dikenakan oleh Ratu Victoria itu menjadi trendsetter berikutnya. Booming-nya gaun pengantin ala Ratu Victoria yang memiliki ciri khas gaun yang membentuk ballgown, warnanya putih kadang broken white, dan menonjolkan pinggang serta pinggul sang pengantin wanita itu menyebabkan naiknya permintaan terhadap bahan-bahan gaun putih mewah. Hal ini berdampak pada para pembuat bahan dan renda gaun pengantin kewalahan memproduksinya, karena di masa itu renda putih juga masih dibuat secara manual. Belum lagi gaun putih termasuk sulit dirawat karena kotoran yang menempel akan tampak jelas di situ. Akhirnya beberapa pengantin dari kelas sosial yang lebih rendah kembali mengenakan gaun pengantin dengan warna selain putih, kecuali warna hitam (warna berduka) dan warna merah menyala (warna yang kala itu, identik dengan the brothel house).

Sejak era Victorian itulah maka tradisi mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang menyimbolkan kesucian itu menjadi gaya yang selalu ditiru oleh para wanita. Meski kemudian tidak hanya warna putih plain saja yang dipilih, tetapi juga bisa dengan nuansa gradasi putih seperti creme, champagne, broken-white, off white and ivory. Sampai sekarang pun yang disebut-sebut sebagai era globalisasi, putih tetap lestari di kalangan para wanita sebagai pilihan utama warna baju pengantin. Putih seolah menjadi warna privilege dan memiliki cap “For Bride-Only” yang menyertainya untuk menjadi warna baju pengantin para pengantin wanita yang ingin tampil beda dan anggun di hari pernikahannya. Bahkan tidak hanya gaun pengantin modern ala Barat saja yang memakai putih sebagai “warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam pun turut mengadopsi warna putih. Sebuah pantun Inggris kuno berikut ini mencoba menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin:

“Married in white, you will have chosen all right. Married in grey, you will go far away. Married in black, you will wish yourself back. Married in red, you’ll wish yourself dead.  Married in blue, you will always be true.  Married in pearl, you’ll live in a whirl. Married in green, ashamed to be seen. Married in yellow, ashamed of the fellow. Married in brown, you’ll live out of town. Married in pink, your spirits will sink.”  


B. Perkembangan Gaya Gaun Pengantin

Dari sejarahnya, perkembangan gaya gaun pengantin ini kemudian tidak hanya meliputi perubahan orientasi dalam hal gaya berpakaian, tapi juga norma dan adat-adat yang nantinya akan membentuk sebuah budaya yang berujung pada peradaban. Terutama pertentangan antara budaya Timur dan Barat merupakan faktor yang menarik untuk dijadikan bahasa mengenai hegemoni dalam fenomena ini. Fenomena ini menjadi komoditas di era modern seperti sekarang, ditambah peran media yang ikut menyebarkan virus kapitalis, menyuburkan hal ini. Banyak media yang mengkhususkan diri membahas perkembangan fashion juga gaya hidup. Kemunculan media seperti ini membuat masyarakat menganggap wajar akan adanya kesadaran mereka dalam cara berpakaian. Kewajaran yang terbentuk, baik di alam bawah sadar maupun secara sadar, merupakan bukti kekuatan hegemoni yang dibangun oleh produsen-produsen merek pakaian ternama dunia.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya mengenai gaya, Nicos Hadjinicolaou menggambarkan gaya atau ’ideologi visual’ sebagai ’bentuk khusus dari ideologi menyeluruh suatu kelas’ (Walker, 2010: 169). Jika seseorang dapat memahami alasan untuk perubahan stalistik sepanjang waktu, dia juga memperoleh kunci untuk hukum evolusi kebudayaan. Pernyataan Hadjinicolaou ini nyatanya mengenai sasaran yang tepat saat ditempatkan pada  perkembangan gaun pengantin sebagai salah satu artefak fashion. Melalui paparan sejarahnya hingga perkembangannya di era globalisasi seperti saat ini, trend gaun pengantin saat ini tetap banyak menampilkan romantisme negeri dongeng yang kaya akan detail. Meski di Indonesia sendiri, beberapa individu tetap memilih mengenakan pakaian adat tradisional masing-masing daerah untuk dikenakan saat acara resepsi pernikahan mereka, namun tidak sedikit pula yang menambahkan gaun pengantin putih ala Viktorian sebagai salah satu kostum yang dikenakan ketika resepsi pernikahan mereka.

Nilai internasionalisme seolah menjadi bagian yang melekat pada desain yang ringan melayang serta sentuhan kain yang transparan melengkapi koleksi desain yang kini banyak dikeluarkan para desainer untuk gaun pengantin ala Viktorian. Warna-warna klasik seperti ivory dan champagne masih menjadi favorit, sedangkan siluet gaun mengarah kepada cutting yang lebih berani. Bahkan bagi mereka yang kurang berani memakai baju terbuka karena kesan seksi pun dapat memodifikasikannya dalam siluet tertutup yang jauh dari kesan mengumbar. Modifikasi terbaru yang kini menjadi trend adalah menggabungkan gaya gaun pengantin ala Viktorian dengan penggunaan jilbab atau gaya Timur Tengah (Arab/Turki) atau yang kini banyak disebut sebagai gaun pengantin muslimah. Walau terjadi perubahan namun kesan classy dan anggun masih tetap melekat pada setiap desainnya. Begitu pula bagi yang ingin memangkas gaun menjadi lebih pendek atau tidak menggelembung, semua bisa dikreasikan sesuai keinginan sang calon pengantin wanita. 

Dari semua ini dipahami bahwa, kalaupun gaya gaun pengantin putih ala Barat tersebut menghegemoni ke seluruh wanita di dunia, namun mereka tetap bisa secara cerdas memilih bahkan tak ragu untuk memodifikasi gaya gaun tersebut sehingga sesuai dengan hati dan pikiran mereka. Modifikasi ini artinya, dari gaya utama gaun pengantin Viktorian itu, masih bisa ditambah atau dikurangi baik dari segi model, ukuran, bentuk, ornamen, maupun aneka kreasi desain lain. Hal ini karena tentunya dunia mode atau fashion akan selalu mengalami perubahan, namun tak pelak ada sebuah sistem yang akan terus mempengaruhi kelas masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural. Konsep ini mengasumsikan sebuah konsen sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang diusulkan oleh mereka dengan kekuatan. Produsen-produsen pakaian terkemuka dunia ini memang tidak begitu saja menghegemoni masyarakat. Mereka membentuk sebuah sistem yang disebut konglomerasi. Mereka bekerjasama dengan media, untuk menyebarkan pola pikir tersebut. Media merupakan alat yang paling tepat untuk menyebarkan pemikiran produsen pakaian dalam menghegemoni masyarakat. Dewasa ini semakin menjamur media yang mengkhususkan diri membahas mengenai perkembangan fashion, dan  mereka sebagian besar memiliki tingkat penetrasi yang tinggi ke berbagai belahan dunia.


C. Model Produksi, Distribusi, dan Konsumsi Gaun Pengantin

Usai membahas mengenai gaya gaun pengantin, bagian ini akan terfokus pada proses-proses yang terjadi pada fase atau model produksi, distribusi, dan konsumsi gaun pengantin tersebut. Dari gambar 2 yang ada di halaman 9, tergambar pembagian secara vertikal dalam empat bagian yang merepresentasikan fase yang berbeda, yakni: produksi sebuah desain; produksi barang-barang hasil desain; distribusi; dan konsumsi. Sumbu horizontal karenanya merupakan sumbu waktu. Setiap proses membutuhkan waktu dan urutan peristiwa tertata secara logis. Satu lingkaran peristiwa terepresentasikan oleh diagram tersebut. Panjangnya lingkaran itu bergantung, tentunya, pada tipe produk yang sedang dihasilkan. Adapun pada paper ini akan memaparkan mengenai 4 fase yang terjadi pada gaun pengantin, yang dalam hal ini terfokus pada gaun pengantin putih ala Barat.


C. 1. Model Produksi Gaun Pengantin

Sebagaimana digambarkan dalam Diagram Model Produksi, Distribusi dan Konsumsi, proses produksi itu sendiri terdiri dari dua tahap, yakni produksi sebuah desain (Proses Desain) dan produksi barang-barang hasil desain (Proses Manufaktur). Kedua proses itu mengerahkan beragam kekuatan dan sumber daya. Pada tahap pertama, yakni proses desain, maka yang dilihat di sini adalah kebutuhan sosial (social demand) akan gaun pengantin itu sendiri karena tanpa itu desain tidak akan eksis. Kebutuhan sosial ini sendiri adalah suatu fakta bahwa akan selalu ada sifat timbal-balik antara produksi dan konsumsi. Sebagaimana disadari bahwa pangsa pasar utama gaun pengantin adalah para wanita. Bagi kebanyakan wanita, gaun pengantin merupakan gaun yang sangat istimewa dalam hidupnya, dan bukan tidak mungkin menjadi gaun termahal yang pernah dibeli seumur hidupnya. Mengingat harganya yang spesial, maka para wanita tersebut jelas tidak akan main-main dalam menentukan gaun pengantin yang akan mereka pilih, dan dalam hal desain, mereka tentu akan memilih desainer terpercaya untuk mendesainkan gaun pengantin impian mereka sesuai dengan budget masing-masing. 

C. 1. 1. Desainer

Tenaga kerja tertentu—desainer—yang dibentuk oleh divisi tenaga kerja dan spesialisasi pengetahuan perlu dilatih, karenanya mereka harus masuk dalam akademi seni dan desain. Dalam hal ini para desainer gaun pengantin itupun juga membentuk dan bergabung dalam berbagai organisasi profesional dan perdagangan yang menggalakkan dan mengatur aktivitas mereka. Di Indonesia sendiri, ada Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang menjadi organisasi profesional para desainer di Indonesia. APPMI berdiri pada tanggal 22 Juli 1993 dan berkantor di Kantor Taman E3.3, Unit C8, Jl. Mega Kuningan Lot 86-87, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta 12950. APPMI terwujud berdasarkan prakarsa dari Poppy Dharsono, dan didukung oleh beberapa tokoh mode senior: Peter Sie, Iwan Tirta, Pia Alisjahbana, dan Harry Darsono. 

Saat ini, APPMI memiliki anggota kurang lebih 147 perancang yang terdiri dari para perancang senior maupun perancang–perancang muda berbakat lainnya, yang tersebar di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Bali, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. Hampir keseluruhan anggota tersebut bergerak pada usaha eceran dengan memiliki beberapa outlet yang tersebar di beberapa departement store terkemuka di Indonesia. Dalam perkembangannya, APPMI sangat dibutuhkan oleh beberapa daerah di Indonesia untuk mengangkat keberadaan perancang-perancang daerah yang berpotensi, serta menggiatkan pengrajin tekstil dan aksesories di daerah. Atas permohonan dari beberapa perancang daerah pada masa lalu untuk dibentuk Pengurus Cabang, maka dengan segala potensi yang telah diamati oleh Badan Pengurus Pusat APPMI, terbentuklah Badan Pengurus Cabang-cabang di bawah ini:

1. BPD APPMI Jawa Barat Diketuai oleh : Bapak Deden Siswanto

2. BPD APPMI Yogyakarta Diketuai oleh : Ibu Ninik Darmawan

3. BPD APPMI Jawa Tengah Diketuai oleh : Ibu Inge Chu

4. BPD APPMI Bali Diketuai oleh : Bapak Ali Charisma

5. BPD APPMI Sumatera Barat Diketuai oleh : Ibu. EN. Shirikie

6. BPD APPMI Kalimantan Barat Diketuai oleh : Bapak Adhyadma

7. BPD APPMI Jawa Timur Diketuai oleh : Bapak Denny Djoewardi

8. BPD APPMI DKI Jakarta Diketuai oleh : Ibu Anne Rufaidah 

Dari gambaran wilayah persebaran cabang-cabang APPMI di atas, tampak bahwa APPMI sebagian besar hanya terletak di kota-kota besar Indonesia. Hal ini yang mungkin menyebabkan trend fashion di Indonesia tidak merata, selain memang karena wilayah demografis Indonesia itu sendiri yang tidak dapat memastikan semua wilayah mengalami proses modernisasi yang sama. Banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh APPMI sejak awal ia berdiri, baik yang rutin maupun yang di luar agenda APPMI. Namun, khusus kegiatan yang berkaitan dengan gaun pengantin, selain dapat diselenggarakan di bawah naungan APPMI, para pendesainer juga dapat melaksanakan event fashion show atas nama pribadi. Contoh pelaksanaan event fashion show gaun pengantin atas nama APPMI, yakni pada ajang Bridal Fashion Tendance (BFT) 2010 tanggal 15-16 Desember 2009 lalu di Hotel Hilton, Bandung. Sebanyak 12 pendesainer APPMI Jawa Barat, antara lain Deden Siswanto, Eddy P Chandra, Harry Ibrahim, Harry Lam, Hennie Noer, Jenny Tedjasukmana, Irna Mutiara, Rebecca In, Susan Zhuang, Rudi Liem, Misan, dan Malik Moestaram menyajikan pilihan gaun pengantin indah untuk trend tahun 2010.  

Sedangkan contoh pelaksanaan yang memperkenalkan koleksi gaun pengantin 2010 atas nama pribadi, yakni seperti ajang fashion show desainer sekaligus presenter Ivan Gunawan yang bertema ”Gala Regalia”.  Koleksi terbaru pemilik lini busana IG dipamerkan dalam rangkaian acara ”The Love of Magical Garden Wedding Exibition” di Central Park Mall Jakarta, pada 16-25 April 2010 lalu. Untuk penggunaan warna bahan, Ivan memilih putih, off white, dan champagne colors. Sedangkan untuk bahannya, Ivan menggunakan satin duchess, silk, dan raw silk dengan efek mengkilat. Adapun untuk harganya, ia mulai dari Rp 20 juta.  

C. 1. 2. Sumber Daya Produksi

Sumber-sumber daya dalam Model Produksi 1 dibagi dalam tiga kategori, yakni: (1) material (lahan, bangunan pabrik, mesin, alat-alat, bahan mentah); (2) keuangan (honor, modal, pinjaman, pendapatan); (3) estetis-ideologis (keterampilan, teknik, stok gambar, konvensi grafis, gaya-gaya, desain-desain awal, teori-teori seperti fungsionalisme dan modernisme). Dalam gambar 1, proses desain terpisah dari proses manufaktur atau Model Produksi 2. Hal ini merepresentasikan situasi ketika sebuah perusahaan mendelegasikan pekerjaan kepada desainer lepas atau tim desain untuk menjalankan tugas spesifik. 

Untuk menganalisis proses produksi gaun pengantin, masalah yang mempengaruhi mutu dan penerapan pengendalian mutu yang dilakukan oleh perusahaan pada proses produksi gaun pengantin menjadi perhatian utama. Pengendalian mutu pada produk gaun pengantin ini dilakukan pada bahan baku, produk dalam proses, dan produk jadi. Pengendalian mutu pada bahan baku dilakukan pada saat bahan baku berada pada gudang bahan baku. Pada produk dalam proses pengendalian mutu dilakukan pada setiap tahap yang dilalui dan pengendalian mutu produk jadi dilakukan setelah produk selesai dikerjakan. Pada tahap akhir pemeriksaan ulang seluruh bagian gaun dilakukan untuk memastikan bahwa gaun secara keseluruhan sesuai dengan standar. Kelayakan bahan baku, barang dalam proses, dan produk jadi umumnya ditentukan oleh bagian Quality Control (QC). Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan produk gaun pengantin masih ada yang tidak sesuai pada produk akhir dipengaruhi oleh faktor bahan baku, mesin dan peralatan, metode, tenaga kerja dan lingkungan. 

Dari proses produksi gaun pengantin, berikut ini merupakan cara sederhana untuk membantu memperkirakan kualitas dan harga dari gaun pengantin yang akan dipilih:

1) Banyaknya Jumlah Kain yang Dibutuhkan

Semakin banyak jumlah kain yang dibutuhkan tentu harga gaun akan semakin mahal. Jumlah kain yang digunakan untuk gaun pengantin agak sulit untuk diprediksikan, karena gaun pengantin biasanya memiliki ekor gaun yang cukup panjang serta detail yang membutuhkan bermeter-meter bahan. Maka perkiraan yang tepat harus diperhitungkan per desain. Sebagai patokan, untuk membuat gaun klok setengah lingkaran dengan ekor sepanjang 0,5 meter dibutuhkan kain kira-kira sepanjang 4 meter dengan catatan kain tersebut memiliki lebar setidaknya 1,5 meter. Lebar kain bermacam-macam, umumnya berkisar dari 90 cm, 115 cm, 135 cm dan 150 cm. Sedangkan untuk jenis tulle biasanya kita dapat menemukan yang lebarnya mencapai 300 cm. Namun yang paling umum kita jumpai di pasaran adalah kain dengan lebar 115 cm dan 150 cm. 

2) Jenis Kain yang Dipilih 

Jenis kain harus disesuaikan dengan kebutuhan desain, misal desainnya membutuhkan kain jenis duchess, chiffon, organza, lace, silk atau brokat. Tidak selamanya kain yang paling mahal pasti cocok. Bahan terbaik untuk membuat gaun pengantin adalah kain yang terbuat dari serat sutera, yang dikenal dengan nama silk. Kain jenis ini sangat lembut dan memiliki efek yang smooth sehingga jatuhnya gaun tidak kaku. Selain lembut di kulit, serat yang terbuat dari cocoon atau kepompong ulat sutera ini sangat nyaman dipakai. Sifatnya menyerap keringat dan sejuk untuk dipakai di udara yang panas. Namun sebaliknya, di udara dingin terasa agak hangat. Namun karena harganya mahal, dapat diganti dengan bahan lain yang memiliki efek yang mirip. Selain silk, pilihan bahan untuk gaun pengantin sangat beragam sesuai dengan yang kita inginkan, misalnya duchesse, sifon, organdi, satin, lace atau tule. 

3) Jumlah Jam Kerja yang Dibutuhkan 

Sulitnya pembuatan pola, banyaknya cutting dan rumitnya detail akan menambah jam kerja yang dibutuhkan untuk membuat gaun. 

4) Detail Gaun

Payet, aplikasi, bordir, korsase dan lain-lain termasuk dalam detail sebuah gaun. Semakin halus detail biasanya semakin tinggi ongkos produksinya.  

Kemudian pada proses manufaktur, proses produksi gaun pengantin yang awalnya telah didesain oleh para pendesainer, kemudian masuk pada tahap pembuatan. Pada sebuah perusahaan yang terjun di bidang ini, umumnya menggunakan mesin-mesin berikut ini sebagai alat yang digunakan, yaitu: mesin potong, mesin bordir, mesin jahit, mesin obras, dan mesin pencuci. Berikut ini merupakan tahap-tahap pelaksanaan dalam proses produksi gaun pengantin, yaitu:

Pertama kain dipotong sesuai dengan model dan ukurannya.

Setelah dipotong kain tersebut diserahkan pada bagian bordir untuk dibordir sesuai- dengan modelnya.

Setelah dari bagian penbordiran baru diserahkan pada bagian penjahitan untuk dijahit sesuai dengan rnodel dan ukuran.

Dan bila bagian penjahitan telah selesai menjahit maka selanjutnya diserahkan pada bagian yang membuat bunga atau aksesori untuk dipasang pada gaun sesuai dengan modelnya.

Gaun tersebut siap untuk dijual ataupun disewakan.

Sedangkan untuk pakaian yang telah dikembalikan oleh penyewanya, maka pakaian tadi dicuci dan diperbaiki kerusakannya, lalu disewakan atau dijual.  


C. 2. Model Distribusi Gaun Pengantin

Desain tidak disebut dalam fase distribusi kendati, tentunya, iklan-iklan harus didesain, sebagaimana juga kendaraan dan sistem transportasi, pameran, toko-toko, supermarket, dan katalog pemesanan melalui pos. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar desain berlangsung di antara penghasil barang, di kalangan bisnis yang berbeda, bukannya langsung diperuntukkan kepada publik. Dari model distribusi gaun pengantin sendiri, selain dapat disalurkan melalui beragam event pagelaran busana sebagaimana telah dipaparkan di bagian desainer, beragam keberadaan butik atau bridal house menjadi titik point tersendiri. 

Butik gaun pengantin atau bridal house memiliki alasan-alasan tersendiri yang menyebabkan banyak calon pengantin memilihnya, yakni: (1) Butik pernikahan sangat flexibel dalam menyediakan gaun pengantin. Flexsibel disini maksudnya produk bisa dipesan dan dibeli sesuai dengan pola dan konsep yang diinginkan konsumen. Hal ini karena biasanya desainer gaun pengantin akan membiarkan pelanggannya untuk menyampaikan ide mereka dan menerapkannya di gaun pengantin yang mereka pesan. (2) Butik gaun pengantin akan membuat desain gaun pernikahan sesuai dengan perkembangan model dari gaun tersebut. (3) Butik gaun pengantin akan membuatkan pakaian yang sangat nyaman untuk dipakai konsumen, dengan mengikuti ide dan pola tubuh masing-masing konsumen tersebut.

Di Indonesia sendiri, selain berupa wujud langsung seperti butik gaun pengantin maupun bridal house, beberapa calon pengantin dapat mencari referensi lain sebelum kemudian memutuskan mengkonsumsi, baik dengan cara menyewa atau membeli. Beberapa majalah kini telah ada yang terbit khusus membahas tentang pernikahan, seperti Pernikahan, Wedding, dan Nikah. Untuk situs internet sendiri, Weddingku.com yang telah ada sejak tahun 2006 ini merupakan situs komunitas pasangan yang akan menikah terbesar di Indonesia. 


C. 3. Model Konsumsi Gaun Pengantin

Menurut Walker (2010: 80), fase konsumsi atau penerimaan adalah fase di mana para konsumen dan pengguna hasil desain yang bukan massa homogen, namun merupakan orang yang dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, kelas, agama, politik, kebangsaan, wilayah, pekerjaan, bahasa, status keluarga, pendidikan, kesejahteraan, selera, minat, dan lain-lain. Para penghasil barang umumnya ingin ’membidik’ konsumen potensial dan departemen pemasaran mereka menggunakan beragam sistem klasifikasi untuk membantu proses ini. Selama proses konsumsi dan penggunaan barang hasil desain, bisa dikatakan berlangsung proses ’pembacaan’, penafsiran, dan evaluasi kritis (pengdekodean makna, referensi stilistik, konotasi, dan praktikalitas desain). Respons-respons perseptual, estetis, dan emosional terlibat. Akibatnya wawasan tentang estetika, psikologi, dan psikoanalisis bisa bermanfaat dalam hal ini.

Keputusan mengkonsumsi gaun pengantin sendiri memang tergantung pada masing-masing individu yang pada dasarnya menyesuaikan selera, keinginan dan ideologi tiap-tiap pribadi mereka. Jika melihat konsumen di Indonesia sendiri, dengan prosesi pernikahan yang umumnya terdiri dari akad nikah dan resepsi pernikahan, maka kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menyewa gaun-gaun pengantin yang akan dikenakan ketika resepsi. Sama halnya dengan individu yang memilih mengenakan busana pengantin tradisional masing-masing daerah di acara resepsi pernikahan. Namun, khusus busana pengantin yang dikenakan ketika akad nikah, yang pada umumnya berupa kebaya berwarna putih, barulah kebanyakan konsumen di Indonesia memilih untuk membelinya. Penulis sendiri memilih untuk mendesain sendiri kebaya akad nikah yang gambar jadinya ada di foto 8. Desain sendiri yang dilakukan itu, yakni dengan cara melihat terlebih dahulu berbagai model kebaya yang ada di internet. Baru setelah didesain, penulis meminta penjahit khusus busana pengantin untuk melakukan proses Produksi 2 (pemotongan-pengobrasan-penjahitan) pada bahan yang telah penulis beli sendiri di salah satu toko tekstil di Palembang. 

Apa yang penulis paparkan barusan memang kurang bahkan tidak berkaitan dengan gaun pengantin ala Viktorian, namun hal ini sebagai contoh proses keputusan membeli busana pengantin yang akan dikenakan di hari pernikahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Walker (2010: 80), bahwa model pada gambar 1, hanya memusatkan perhatiannya pada desain profesional, pendesainan yang dilakukan sembarang orang sampai taraf tertentu ditolak, kecuali ia mengakomodir perubahan untuk menyesuaikan dengan selera dan kebutuhan konsumen dalam fase konsumsi. Artinya, sampai titik tertentu, banyak konsumen yang memutuskan untuk melakukan proses produksi-distribusi-konsumsi secara sederhana dalam sudut pandang mereka. Namun hal ini, bukan berarti mereka tidak terkena terpaaan globalisasi gaya atas fashion yang telah terhegemoni sebelumnya. Bahwa pakaian pengantin sebaiknya berwarna putih, bahwa bahan-bahan yang dikenakan adalah khusus (not usual but special), dan menjadi semacam kode etik tersendiri bagi calon-calon pengantin tersebut. Namun, bahwa mode yang diinginkan, itu adalah hak masing-masing mereka dalam menentukan, ingin gaun pengantin bergaya ala Barat, Timur Tengah, atau malah tetap bernasionalisme ria dengan mengenakan pakaian kebaya atau pakaian adat masing-masing daerah di Indonesia itu tetap menjadi hak mutlak masing-masing konsumen sendiri.


BAB IV KESIMPULAN

Akhirnya, dalam penulisan paper yang mengambil masalah: “Bagaimana gaya dan model produksi, distribusi dan konsumsi gaun pengantin di era globalisasi?” ini dapat diambil kesimpulan bahwa desain atas gaya gaun pengantin memiliki efek, baik atau buruk, pada masyarakat secara keseluruhan. Keseluruhan dampak desain atas gaya gaun pengantin pada kualitas hidup tentunya sangat sulit diukur, meskipun sangat jelas dalam kasus-kasus tertentu khususnya ketika desain buruk berakibat pada berbagai macam gangguan. Mungkin di era pertengahan dulu, pembedaan ini menyebabkan adanya kesenjangan antara kaum bangsawan dan kaum proletar karena hanya kaum bangsawan saja yang dapat mengenakan gaun pengantin  khususnya pada gaun pengantin ala Viktorian. Namun, hingga era globalisasi saat ini pun, nyatanya tidak semua orang bisa mengenakannya. 

Ketidakmampuan ini telah dibantu penjelasannya melalui pembahasan mengenai model produksi, distribusi, dan konsumsi gaun pengantin itu sendiri. Bahwa untuk menghasilkan produk gaun pengantin yang berkualitas tentu harus menjalani proses desain, pembuatan, distribusi, hingga penjualan langsung di tempat tertentu hingga akhirnya dapat dikonsumsi atau dikenakan konsumen di hari pernikahan. Pendek kata, ada harga yang harus dibayar. Namun, selain harga, nyatanya masih ada faktor lain yang menyebabkan tidak semua orang mau mengenakan gaun pengantin ala Barat meski banyak media telah begitu gencar mempublikasikan (baca: menghegemoni) betapa anggunnya seorang pengantin wanita bila mengenakannya. Faktor itu tak lain adalah hak mutlak dari sang calon pengantin wanita sendiri untuk memilih busana dengan gaya apa yang ingin ia kenakan di hari pernikahannya nantinya, apakah gaun pengantin ala Barat, ala Timur Tengah, atau tetap memilih busana tradisional khas Indonesia sendiri yang memang tak kalah anggun untuk dikenakan sebagai ekspresi kebahagiaan di hari suka cita pernikahan. 


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Walker, John A. 2010. Desain, Sejarah, Budaya Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Walker, John A. dan Chaplin, Sarah. 1997. Visual Culture An Introduction. Manchester & New York: Manchester University Press.


B. Website

Aini. 2009. White Wedding White Dress. http://aini.rumahatiku.com/2009/01/white-wedding-white-dress/. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Amaliafitri, Andhini. 19 April 2010. Gala Regelia, Gaun Pengantin Simpel Ala Ivan Gunawan. http://lifestyle.okezone.com/read/2010/04/19/194/324212/gala-regalia-gaun-pengantin-simpel-ala-ivan-gunawan. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Anonim. 11 Juni 2010. Lelang: Baju Lady Diana Terjual 2,5 M. http://adhvara.wordpress.com/2010/06/11/lelang-baju-lady-diana-terjual-25-m/. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Anonim. 2008. Majlis Resepsi Ashraf Sinclair dan Bunga Citra Lestari. http://rumahselebriti.blogspot.com/2008/11/majlis-resepsi-ashraf-sinclair-bunga.html. Diakses tanggal 27 Desember 2010.

Anonim. 2010. Gaun Pengantin Termahal di Dunia Seharga Rp 13 Miliar. http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/03/gaun-pengantin-termahal-di-dunia.html. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Anonim. 2010. Peragaan Busana Pengantin. http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1271035202/peragaan-busana-pengantin. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Anonim. 2010. Profile APPMI. http://www.linkpdf.com/.../profile-asosiasi-perancang-pengusaha-mode-indonesia-appmi--.pdf -. Diakses tanggal 27 Desember 2010.

Anonim. 2010. Trend Gaun Pengantin Modern. http://www.houseofdavidsalon.com/Article-List/trend-gaun-pengantin-modern.html. Diakses tanggal 27 Desember 2010.

Anonim. Bab III Gambaran Umum Perusahaan. http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/ekonomi/M_1047.../M_ 1047_Bab%20III.pdf. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Herni, Sarah Ratna. 5 Maret 2009. Weddingku.com: Berkat Komunitas, Bisnis Lebih Efisien dan Ngetop. http://swa.co.id/2009/03/weddingkucom-berkat-komunitas-bisnis-lebih-efisien-dan-ngetop/. Diakses tanggal 27 Desember 2010.

kpl/gum/dar. 11 Oktober 2010. Indra Bekti dan Aldila Jelita Raja dan Ratu. http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/indra-bekti-dan-aldila-jelita-raja-dn-ratu.html. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Yulianti, Fitri. 15 Desember 2009. APPMI Rilis Tren Gaun Pengantin 2010. http://lifestyle.okezone.com/read/2009/12/15/194/285413/appmi-jawa-barat-gelar-fashion-show-bridal-2010. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Yulis. 7 September 2010. Sejarah Pakaian Pengantin. http://www.yulissamoa.com/sejarah-pakaian-pengantin. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Zacky. 2010. Gaun Pengantin Terpanjang. http://zackylicioustuff-indo.blogspot.com/2010/11/gaaun-pengantin-terpanjang.html. Diakses tanggal 25 Desember 2010.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...