Sabtu, Desember 06, 2008

Lika-Liku Istimewa Marella 17

(Gambar: Majalah Marella 17 yang sudah terbit sebanyak 18 edisi, sejak tahun 2002)

Semua hal pasti punya kisah. Asal mula, latar belakang, proses dan penyelesaian sendiri. Mengetahui bagaimana perjalanan Marella 17, sudah menjadi rahasia umum bila terdapat lika-liku. Namun, lika-liku yang bagaimana tidak semuanya tahu. “Lika-liku yang istimewa.” Itu yang terucap oleh Pemimpin Umum, yang juga dinobatkan sebagai pelopor berdirinya majalah sekolah di SMU Unggul Negeri 17 Palembang, Marella 17, yang kali ini akan bercerita tentang perjalanan panjang terbitnya Marella 17.

(Gambar: Artikel "Lika-Liku Istimewa Marella 17" yang termuat dalam Marella 17 edisi 2 Tahun 2002)

Senja awal bulan Mei 2000 saat itu, aku selesai menempel setumpuk kording edisi terakhir di t.a. 1999-2000. Ibu Wien dan Pak Agus kebetulan melintas usai meninjau sekolah. Beliau pun melihat kording-kording yang baru kutempel. Tiba-tiba Ibu Wien berkata padaku, “Coba Marni, kamu ajak teman-teman untuk membuat majalah sekolah.” Ucapan pendek yang dilontarkan oleh Ibu Kepala Sekolah itu, yang mungkin saat itu terdengar seperti usul sekali lewat, langsung terprogram dalam pikiranku.
Mungkin terdengar klise, tapi dulu sebelum masuk SMUUN 17, aku sempat bimbang untuk masuk ke sebuah SMU Negeri yang ada di kawasan Jl. Jend. Sudirman, karena SMU itu punya sebuah majalah sekolah. Sejak dulu, aku ingin berkecimpung di dalamnya, seperti Momoko di Wedding Peach yang bersama teman-temannya asyik di koran sekolah. Di samping itu, saat aku kelas I SMU, aku masuk dalam organisasi Lepass-Sriwijaya Post, sebuah wahana jurnalistik untuk wartawan pelajar Kota Palembang. Di sana, aku semakin tergelitik karena semua saling membanggakan majalah sekolah masing-masing. Namun saat itu, aku cuma diam. Hanya bisa diam.

(Gambar: Kru Marella 17 Angkatan Pertama. Bawah (Ki-ka): Harry Ramadiansyah, Allan Gunery, Endar Adi Wirawan, Fahd Badrun, Henderi, Frandky Sunito, M. Wahyudi, Aditya Wirawan. Atas (Ki-Ka): Yanuarti Tri Mardyah, Hilalliyah Aspihani, Andhika Widyarani, Fenny Rosa Indah, Sumarni Bayu Anita, Erty Sundarita, Puspa Dahlia, Veggy)
Langkah yang kemudian kulakukan adalah membuat proposal tentang pembuatan majalah sekolah. Saat mengajukan proposal untuk ke-4 kalinya, barulah ditandatangani, hari itu tanggal 7 Juli 2000. Usai itu, lalu bersama teman-teman, Redaksi Marella 17 Angkatan I, kami mulai mengadakan rapat yang mendiskusikan tentang rubrik, isi, serta pembuatan artikel. Rapat I, II, III, kami lakukan dengan penuh semangat. Semua mengerjakan tugas yang sudah dibebankan. Meski ada yang lewat batas dead line, semua tetap berjalan lancar.Namun kelancaran yang kami jumpai di awal, tidak berlangsung seterusnya. Masalah sepele, adanya plesetan dari makna Marella 17 oleh sekelompok anak yang belum memahami betul apa itu Marella 17, membuat persendian mulai rapuh. Kru yang dulu yakin bila semua mendukung perjuangan, lalu menjadi minder karena tahu ada yang tidak suka. Usai itu, sisi buruk dari sifat manusia pun bermunculan. Malas, tidak on time, kurang disiplin, tidak menghadiri rapat, merasa tidak dihargai lalu membalas dengan perlakuan yang sama, dan lain-lain. Keluar dari sisi kru, pihak sekolah pun sangat keberatan dengan harga majalah yang saat itu seharga Rp 10.000,- dengan isi 80 halaman. Pihak Redaksi cukup dipersulit untuk mencari percetakan yang murah tapi bagus. Sekitar 10 percetakan sempat kami datangi, mulai dari yang kecil sampai yang besar, bahkan sampai mencari ke daerah Plaju.
Akhirnya majalah itu selesai mentahnya, meski tidak sempurna. Namun saat pengajuan untuk masuk percetakan dengan harga Rp 8.000,- sekolah kembali tidak setuju. Semua kru merasa capek, kerja yang sia-sia, dan semua merasa bosan. Aku sendiri juga demikian, dan hanya menahan kecut, saat memperkenalkan Marella 17 kepada adik-adik kelas. Hanya memperkenalkan nama, belum ada majalahnya. Saat itu kami benar-benar vakum dan percaya bila Marella 17 cuma nama.
Awal November 2001, tiba-tiba Bu Nuraini bertanya padaku tentang Marella 17. Aku terkejut, ternyata masih ada yang peduli ataupun ingat tentang Marella 17. Layaknya orang yang ditanya, aku mencoba jawab apa yang beliau tanyakan. Biasa saja, tapi lantaran itu aku mulai merasa pede lagi. Dan menanamkan semangat, kalau bukan kami siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Kebetulan saat itu bulan puasa. Ada banyak waktu luang untuk mengganti isi Marella 17 yang sudah tidak layak muat dan menggantinya dengan artikel yang baru. Juga untuk mengadakan Pelatihan Jurnalistik 17 selama 4 hari. Begitu terasa sulitnya waktu itu, saat hanya beberapa kru saja yang masih terus berusaha untuk mewujudkan hadirnya Marella 17. Akhirnya, selama 2 minggu nonstop di depan komputer, hampir 15 jam setiap harinya, setumpuk disket, gambar, dan foto itu pun siap masuk ke percetakan. Namun, saat masuk percetakan kali itu pun masalah pelik terjadi lagi. Masalah tempat percetakan, kesalahpahaman, dan lagi-lagi penolakan dari pihak sekolah.
Seingatku, hari itu Senin, aku dan seorang kru lain ke Rambang untuk bertanya tentang harga percetakan. Pihak Rambang sangat baik, mereka mau memproses tanpa uang muka. Dan selayaknya siswa yang baik, kami lalu ke sekolah untuk melapor bila majalah siap untuk masuk percetakan. Di luar dugaan, sekolah benar-benar marah. Aku tidak mengerti, apa salah aku? Aku dikatakan terlalu ambisius. Apa salah aku berusaha mewujudkan impian ini? Cukup terdepak saat itu.
Namun diam dan tangis tidak akan menyelesaikan masalah. Lusanya, kembali aku dan Awank ke Rambang, menyerahkan bahan untuk dicetak dan itu tanpa restu dari pihak sekolah. Aku nekat dan aku tahu itu sangat tidak baik.
Proses percetakan pun berjalan dan hanya beberapa orang saja yang tahu. Aku melalui hari-hari itu dengan was-was. Di benakku, pikiran terburuk melintas, tepat di depan mukaku sekolah merobek-robek majalah itu karena ulah nekatku. Tapi aku terus berdoa agar itu tidak terjadi, dan berusaha melakukan yang terbaik, melakukan evaluasi hasil percetakan berkali-kali agar saat terbit majalah itu benar-benar layak untuk dibaca.
Dan Tuhan ternyata sayang padaku, pada semua orang yang mendukung kehadiran Marella 17. Aku tahu majalah itu sudah selesai dicetak, proses pembiayaan dianggap selesai dan tinggal dibagikan. Aku tahu… Tapi aku tidak menyangka bahwa sekolah sangat istimewa saat mengumumkannya kepada seluruh warga sekolah. Aku benar-benar terharu. Sangat terharu… Di aula itu, Kamis, 10 Januari 2002. Semua beban dan rasa kesal itu hilang, diganti dengan rasa bahagia dan kebanggaan. Betapa senangnya saat usaha kita, pengorbanan, dan kerja keras dihargai oleh orang lain. Apalagi Marella 17 disambut sangat baik oleh seluruh warga sekolah. Aku mengucapkan syukur ke Hadirat Yang Kuasa atas pengalaman yang Ia berikan padaku, dan selalu berharap semoga Marella 17 terus berjaya sampai kapan pun jua. Amin… (M*)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...