Rabu, April 27, 2011

Ceritaku Tentang Fafa (3)

Hari Rabu pagi, alat bantu infus dan alat bantu buang air kecil yang melekat di tubuhku pun dilepas. Lega sekali rasanya. Karena kedua alat itu sudah dilepas, hari ini, aku belajar bangun dari tempat tidur. Belajar berjalan, dan mandi sendiri di kamar mandi. Walau susah, aku terus menyemangati diriku sendiri. “Ayo, Nita, kamu pasti bisa!” Yah, walau berjalan seperti robot rusak, aku tetap berjalan. Walau susah sekali untuk mandi, aku tetap mandi.

Ketika sudah bisa berjalan, aku jadi lebih leluasa melihat Fafa yang ditaruh di box. Aku pun sudah bisa menggendongnya. Alhasil, ketika sterilisasi ruangan oleh para pengelola bangsal yang selalu dilakukan pukul 08.00-11.00 WIB, aku bisa bertahan untuk menjaga anakku seorang diri. Untunglah Fafa bukan bayi yang rewel, dia suka sekali tidur kalau perutnya sudah terisi. Pagi jam 7 tadi, saat aku berusaha memberinya ASI, namun nyatanya ASI-ku tak mampu melegakan perutnya yang kosong karena semalam ia sudah 3 kali BAB. Ibuku pun berinisiatif membelikan susu formula, dan aku sungguh terbantu. Awalnya, aku memang ingin idealis, memberikan ASI ekslusif setidaknya sampai 6 bulan. Namun, nyatanya karena berbagai keadaan membuatku harus bersikap realistis.

Iya, gara-gara itu aku pun dimarahin oleh suster senior di bangsal itu. “Yang nyuruh ngasih susu formula siapa?” katanya ketika pagi-pagi melakukan sidak ke seluruh kamar dan melihat sekotak susu formula terletak di atas meja. Dia bertanya dengan nada seolah aku adalah penjahat paling dicari se-Yogyakarta karena ketahuan memberikan susu formula kepada bayiku tanpa izin dia. Moodku emang lagi tak ingin basa-basi saat itu, dengan pasang muka jutek, aku pun menjawabnya ketus, “Inisiatif sendiri.” Mungkin melihat sikapku itu, tiba-tiba dia jadi melunak kepadaku. Awalnya, rasanya dia cuma tahunya marah-marah aja kalau ke kamar. Jadi, serasa bukan di rumah sakit aja, tapi di penjara!

Ceritaku Tentang Fafa (2)

Aku sudah memintanya untuk tidak pergi sore itu. Memintanya untuk cuti, hingga aku benar-benar sudah melahirkan, toh tinggal sebentar lagi. Namun, suamiku tidak bisa memenuhinya. Dia beralasan bahwa di tempat kerjanya ini, dia belum genap 3 bulan, dan dia sudah membolos untuk hari Senin, tidak mungkin menambahnya dengan hari Selasa. Jujur, aku tidak mau anakku lahir tanpa ada suamiku di sisiku. Aku ingin suamiku yang langsung memperdengarkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri anakku saat ia lahir nanti.

Pukul 2 siang, bidanpun kembali memeriksa keadaanku. Dia terkejut melihat kondisiku saat itu. Ternyata alergi tak hanya menerpa tangan dan kakiku, tapi juga sudah mengenai mataku. Alhasil, mataku jadi membengkak dan mukaku jadi agak aneh. Padahal, aku lihat dia membawa obat kecil itu lagi, mungkin, dia mau melakukan induksi lagi untuk yang keenam kalinya. Aku kembali diperiksa dalam dengan bidan yang berbeda dari yang memeriksa jam 8. Masya Allah, yang ini lebih sakit dari yang tadi. Aku hanya disuruh untuk menarik nafas panjang saat tangan itu melesak masuk ke jalan lahir anakku kalau aku melahirkan secara normal.

Sang bidan pun keluar dari kamarku usai melakukan pemeriksaan dan mengatakan bahwa aku sudah pembukaan 1. Lalu, saat ia masuk lagi ke kamar, dia mengatakan bahwa setelah melaporkan keadaanku ke dr. Irwan, dokter menyarankan aku untuk operasi caesar karena induksi dinyatakan gagal. Deg! Berbagai perasaan berkecamuk di hatiku saat mengetahui kenyataan bahwa aku harus menjalani operasi caesar. Aku hanya disuruh memilih untuk dirujuk ke RSUP dr. Sardjito atau RS PKU Yogyakarta. Harusnya aku bisa saja normal kalau aku mau. Namun, andai aku harus menunggu untuk persalinan normal, aku harus menunggu sampai berapa lama lagi? Sedangkan alergiku semakin panas dan gatal. Dan rasanya pemeriksaan dalam yang dilakukan oleh bidan terakhir benar-benar membuatku yakin, bahwa keputusan caesar yang harus segera diambil.

Ceritaku Tentang Fafa

Fafa tengah tidur sekarang. Tenang sekali. Di atas tempat tidur berukuran 120 x 200 cm dengan sprey polkadot biru tua-muda itu dia tengah menghembuskan nafasnya dengan teratur. Aku suka memandanginya ketika tidur, apalagi kalau kedua matanya tengah membuka menyapa dunia. “Apa nak? Apa yang tengah kau lihat?”

Usia Fafa baru hitungan hari sekarang. Senin, 18 April 2011, pukul 18.30 WIB lalu, aku baru melahirkannya secara caesar di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupku. Meski dibingkai dengan beragam rasa saat menjalani drama operasi itu hingga akhirnya selesai. Sungguh, saat mendengar tangisan Fafa, semua rasa itu berubah menjadi keharuan yang luar biasa.

Cerita bermula ketika aku memutuskan untuk mulai mondok di RB Rachmi, yang beralamat di Jl. KH. Wachid Hasyim 47 Yogyakarta, pada hari Minggu, 17 April 2011, pukul 10.00 WIB. Keputusan itu diambil setelah melakukan kontrol kehamilan terakhir dengan dokter kandunganku, dr. Irwan T. Rachman, SPOG, di tempat yang sama malam sebelumnya. Usia kehamilanku sudah lewat 5 hari dari HPL (Hari Perkiraan Lahir), membuat dokter kandunganku menyarankan untuk induksi agar proses persalinan dapat terjadi. Proses persalinan secara normal menjadi harapan saat itu, karena sebenarnya posisi bayiku sudah masuk panggul dan berada dalam posisi normal.

Selasa, April 05, 2011

Resume Buku "Dilema Usaha Manusia Rasional"-nya Sindhunata

Oleh: Sumarni Bayu Anita, S.Sos

RESUME BUKU DILEMA USAHA MANUSIA RASIONAL,
Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt
Pengarang : Sindhunata
Penerbit : Pusat Pengembangan Etika Atmajaya dan PT Gramedia Jakarta
Tahun : 1983
Jml Halaman : 167

BAB I
PENDAHULUAN


Bagian pendahuluan buku ini dibuat menarik dengan menampilkan surat Max Horkheimer kepada Hans, saudara sepupunya. Surat yang dibuat pada tanggal 11 Juli 1916 atau ketika Horkheimer berusia 21 tahun itu berisi tentang penderitaan Ny. Katharina Krammer, buruh wanita di pabriknya, yang tidak dapat bekerja lagi karena sakit ayan. Meski isi surat terdengar sederhana, namun melalui surat itu juga tersirat tentang kemarahan Horkheimer terhadap ketidak-adilan yang senantiasa melindas kehidupan sehari-hari orang-orang di sekelilingnya. Sejak masa mudanya, Horkheimer memang selalu menolak tatanan sosial yang dianggapnya tidak benar. Pemikiran inilah kelak ia wujudkan dalam pemikiran teoritisnya ketika ia menjadi Direktur Sekolah Frankfurt.

Max Horkheimer dilahirkan 14 Februari 1895 di Zuffenhausen – Jerman. Perkenalan Horkheimer pertama kali dengan filsafat adalah lewat buku filsuf pesimistis Schopenhauer berjudul Aphorisms on the Wisdom of Life yang dihadiahkan sahabatnya Friedrich Pollock. Tahun 1926, Horkheimer dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt dengan pidato pengukuhan tentang Immanuel Kant, berjudul Kant’s Critique of Judgment. Idealisme Kant kelak juga amat mempengaruhi pemikiran Horkheimer.

Senin, April 04, 2011

Tinjauan Kritis Retorika Visual (Matthew Rampley): Ketika Televisi Menggenggam Retorika Visual

Oleh: Sumarni Bayu Anita, S.Sos

Usai membaca buku Exploring Visual Culture Definitions, Concepts, Contexts, khususnya pada Bab 9. Visual Rhetoric, h.133-138, yang ditulis oleh Matthew Rampley, akan diperoleh gambaran umum mengenai Retorika Visual melalui 3 sub judul, yakni Pendahuluan, Konsep Retorika, dan Teori Komunikasi. Bila ditarik garis besar dari penggambaran Matthew Rampley mengenai Retorika Visual di buku tersebut, diketahui bahwa Retorika Visual berkembang dari dua pemahaman dasar mengenai retorika dan komunikasi.

Retorika Visual muncul setelah retorika itu sendiri berkembang terlebih dahulu sebagai keterampilan dalam berpidato (public speaking). Namun semakin ke sini, ketika kemajuan teknologi membuat retorika, seni untuk mempengaruhi, retorika tidak hanya dilaksanakan melalui kata-kata, tetapi juga secara visual. Retorika Visual terutama melalui media televisi telah merebak menggeser retorika verbal atau oral. Bentuk, cakupan dan watak retorika menjadi berubah karena perkembangan teknologi.

Benar bahwa Retorika Visual tidak hanya milik televisi semata, namun juga terdapat di berbagai media yang lain, seperti poster—khususnya yang mengandung metafora—, patung, foto, model pakaian (fashion), dan lain-lain, namun harus diakui bahwa televisi mendapat porsi lebih besar dalam mengkambinghitamkan fungsi Retorika Visual itu sendiri. Kata kambinghitam sendiri muncul untuk menggambarkan adanya degradasi makna retorika yang awalnya positif menjadi negatif belakangan ini.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...