Senin, April 04, 2011

Tinjauan Kritis Retorika Visual (Matthew Rampley): Ketika Televisi Menggenggam Retorika Visual

Oleh: Sumarni Bayu Anita, S.Sos

Usai membaca buku Exploring Visual Culture Definitions, Concepts, Contexts, khususnya pada Bab 9. Visual Rhetoric, h.133-138, yang ditulis oleh Matthew Rampley, akan diperoleh gambaran umum mengenai Retorika Visual melalui 3 sub judul, yakni Pendahuluan, Konsep Retorika, dan Teori Komunikasi. Bila ditarik garis besar dari penggambaran Matthew Rampley mengenai Retorika Visual di buku tersebut, diketahui bahwa Retorika Visual berkembang dari dua pemahaman dasar mengenai retorika dan komunikasi.

Retorika Visual muncul setelah retorika itu sendiri berkembang terlebih dahulu sebagai keterampilan dalam berpidato (public speaking). Namun semakin ke sini, ketika kemajuan teknologi membuat retorika, seni untuk mempengaruhi, retorika tidak hanya dilaksanakan melalui kata-kata, tetapi juga secara visual. Retorika Visual terutama melalui media televisi telah merebak menggeser retorika verbal atau oral. Bentuk, cakupan dan watak retorika menjadi berubah karena perkembangan teknologi.

Benar bahwa Retorika Visual tidak hanya milik televisi semata, namun juga terdapat di berbagai media yang lain, seperti poster—khususnya yang mengandung metafora—, patung, foto, model pakaian (fashion), dan lain-lain, namun harus diakui bahwa televisi mendapat porsi lebih besar dalam mengkambinghitamkan fungsi Retorika Visual itu sendiri. Kata kambinghitam sendiri muncul untuk menggambarkan adanya degradasi makna retorika yang awalnya positif menjadi negatif belakangan ini.


Yang menjadi masalah bukan pada berkembangnya Retorika Visual ini, tetapi adalah kehadirannya dalam ranah masyarakat konsumsi telah mengakibatkan Retorika Visual inipun hanya bisa berhenti pada modus konsumsi saja. Aspek produktif menjadi minimal, dan kalau ada larinya juga adalah untuk kepentingan konsumsi. Visualisasi berbagai masalah sosial kemasyarakatan dilihat, dikunyah dan ditelan, selesai.

Jika hanya dikunyah, ditelan dan selesai tanpa hasil menggerakkan, mengapa korporasi menjadikan retorika visual ini tetap menjadi alat strategisnya? Pengulangan! Pengulangan adalah kuncinya. Tidak ada iklan yang hanya sekali tayang dan selesai. Dia akan secara regular, terus menerus diulang-ulang ditayangkan. Kode-kode cultural ini diulang-ulang sehingga istilahnya ter-imprint dalam kesadaran masyarakat.

Maka perjalanan sejarah retorika yang dilandasi oleh perkembangan teknologi ini harus disikapi dengan hati-hati karena bagaimanapun juga netralitas teknologi itu sendiri masih menyimpan persoalan besar. Imajinasi sosial bukan lagi soal bagaimana masyarakat, bagaimana bangsa harus berkembang sekarang dan masa depan. Imajinasi sosial telah menjadi masalah imajinasi yang berkembang dalam pagar-pagar tawaran yang disampaikan oleh Retorika Visual melalui berbagai media.***

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...