Rabu, Oktober 29, 2014

MEDIA KOMUNITAS DAN KONSTRUKSI IDENTITAS KELOKALAN (Studi Kasus Tentang Wongkito.net Bagi Blogger “Wong Kito” di Kota Palembang)*

Oleh : Sumarni Bayu Anita, S.Sos, M.A (Dosen Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang)

*) Tulisan ini sudah dipresentasikan di Serial Call For Paper dan Konferensi Nasional #1 KOMUNIKASI INDONESIA untuk MEMBANGUN PERADABAN BANGSA di Palembang, 26-27 Februari 2013 dan sudah dimuat dalam Prosiding yang berjudul Komunikasi Indonesia untuk Membangun Peradaban Bangsa, No. ISBN : 978-602-18666-1-0, Tahun Terbit : 2013 dan Penerbit : Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis Program Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana Jakarta

A. PENDAHULUAN
A.1 Latar Belakang
Wongkito.net adalah satu media komunitas yang ada di Kota Palembang yang fokus pada para blogger yang memiliki kriteria khusus tentang ke-Palembang-an. Data yang diperoleh dari Humas Wongkito.net, jumlah media komunitas yang ada di Kota Palembang sendiri ada sekitar belasan media komunitas, seperti Android Palembang, Kaskus Regional Palembang, iphone Palembang, Komunitas Fotografer Musi (KMF), dan lain-lain. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, jumlah media komunitas ini sendiri semakin bertambah. Bagi masyarakat Kota Palembang dengan luas wilayah 400,62 km2 dan jumlah penduduk sekitar 1.451.776 jiwa ini, Wongkito.net sendiri merupakan media komunitas yang cukup memiliki konsistensi bertahan diantara spekulasi intesitas kegiatan anggota-anggotanya. Hal ini terbukti karena pada 16 Oktober 2012 lalu, Wongkito.net pun telah merayakan ulang tahunnya yang ke-5.
Gambar 1
Logo Wongkito.net
 Sumber Gambar: http://wongkito.net

Menurut Romeltea (2012), media komunitas (community media)—singkatan dari Media Komunikasi Massa Komunitas—merupakan media komunikasi antaranggota komunitas tertentu. Ia dibuat dan dikelola oleh dan untuk komunitas. Hampir senada dengan definisi yang dipaparkan oleh Wikipedia (sebagaimana dikutip dalam Romeltea, 2012), community media is any form of media that is created and controlled by a community, either a geographic community or a community of identity or interest. Sedangkan menurut Pawito (2007: 167), media komunitas (community media) merupakan jenis media (cetak maupun elektronik) yang hadir di dalam lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu dan dikelola oleh dan diperuntukkan bagi warga komunitas tertentu. Karakter utama dari media komunitas menurutnya adalah (a) memiliki jangkauan terbatas (local), (b) menampilkan isi yang bersifat kontekstual mengacu kondisi komunitas, (c) pengelola serta target adalah orang-orang dari komunitas yang sama, dan (d) hadir dengan misi melayani –tidak ada orientasi mencari keuntungan modal (capital gain). Dari konsep awal mengenai media komunitas ini, Wongkito.net jelas memenuhi kriteria sebagaimana yang dimaksud Pawito. Kelayakan untuk diangkat sebagai subyek penelitian juga ditambah dengan ketertarikan peneliti untuk melihatnya sebagai media komunitas yang mengemban misi khusus dalam hal konstruksi identitas kelokalan, yakni keberadaan Wongkito.net terhadap blogger “Wong Kito” di Kota Palembang. Dari media komunitas pula, kita dapat mengetahui informasi apa yang dikonsumsi kelompok orang tertentu, bagaimana proses di dalamnya, dan apa yang terungkap dari media komunitas itu tentang mereka.
Dalam bukunya The Collective Search for Identity, Orrin Klapp menunjukkan bahwa identitas tidak merupakan suatu fungsi kepemilikan materi setiap orang, tetapi sebaliknya, identitas dihubungkan dengan wujud simbolis dan cara seseorang dirasakan oleh yang lain (Berger, 2005:107). Klapp menulis:
Secara tegas, identitas meliputi segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri—statusnya, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Namun jika konteks sosialnya tidak dapat dipercaya, ini berarti bahwa dia tidak dapat mengatakan apa pun secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri. Pernyataan tentang identitas tidak dapat lebih dipercaya daripada sebuah mata uang yang tergantung pada kemauan masyarakat mengenalinya dan menerimanya.
Orang lain harus menafsirkan tanda-tanda identitas seseorang dengan benar karena suatu identitas orang tersebut dipahami dan disahkan. Namun sebagaimana dinyatakan Chris Barker (2009:174), subjektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Jadi, identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin ‘eksis’ di luar representasi kultural dan akulturasi. Adapun berikut ini merupakan daftar yang dibuat oleh Arthur Asa Berger (2005:108) mengenai beberapa tanda identitas umum yang kita gunakan untuk membuat aspek-aspek identitas kita yang beraneka ragam:
Tabel 1
Daftar Tanda Identitas Umum Berger 
No.
Identitas
Tanda
1.
Pribadi
Pakaian, Model Rambut, Jenis Kacamata, Bahasa Tubuh, Perawakan, Ekspresi Wajah, Penggunaan Bahasa
2.
Nasional
Bendera, Simbol, Makanan, Arsitektur, Musik
3.
Pekerjaan
Seragam, Alat dan Sarana (Stetoskop/Dokter), Suasana
4.
Badan Hukum
Logo Perusahaan, Jenis Periklanan, Bangunan Markas Besar, Daerah Produksi
5.
Jenis Kelamin
Pakaian, Model Rambut, Suara, Susunan Tubuh
6.
Agama
Simbol-simbol, Pakaian, Barang-barang, Bahasa, Tokoh-tokoh Suci, Arsitektur

Dari daftar tersebut dapat diklasifikasikan bahwa Wongkito.net yang hingga terakhir data ini diambil memiliki anggota hingga 128 orang ini merupakan media komunitas yang menjadi identitas nasional yang dalam hal ini identitas kultural bagi masyarakat Kota Palembang. Bahkan bagi komunitasnya yang merupakan Wong Palembang, Wongkito.net tak hanya menjadi wadah komunitas para blogger semata tapi lebih dari itu. Wongkito.net seolah menjadi simbol kebanggaan identitas yang terus dikonstruksi. Aspek media komunitas yang bernama Wongkito.net dan konstruksi identitas kelokalan inilah yang coba dicari ujung mata rantainya bila dikaitkan dengan identitas dari Wong Kito itu sendiri.

A.2 Permasalahan Penelitian
Bagaimana konstruksi identitas “Wong Kito” terhadap Wongkito.net sebagai media komunitas blogger Kota Palembang?

A.3 Tujuan Penelitian
Dari permasalahan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana konstruksi identitas “Wong Kito” terhadap Wongkito.net sebagai media komunitas blogger Kota Palembang.

A.4 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori 
Tinjauan pustaka terkait media komunitas dalam penelitian ini mengacu pada tulisan dua orang, yakni Pawito (2007) dalam Media Komunitas dan Media Literacy serta Romeltea (2012) dalam Narrowcasting Jornalism: Jurnalisme Media Komunitas. Konsep media komunitas sendiri sebenarnya tidak bersifat sama sekali baru. Banyak literatur mengenai komunikasi pembangunan yang terbit sekitar periode 1970 dan 1980-an menggunakan konsep ini yang seringkali dipadankan dengan media lokal (local media) dan pers lokal (local press) khusus untuk media cetak. Namun, seperti yang diungkapkan Pawito (2007: 168), untuk konteks Indonesia penggunaan istilah media komunitas merupakan hal yang relatif baru. Pada periode 1970- an dan 1980-an konsep yang banyak digunakan dalam kaitan dengan pembangunan adalah pers daerah (vis a vis) pers pusat. Pers daerah adalah pers yang terbit dan beredar di daerah (umumnya propinsi) seperti Pikiran Rakyat (Bandung), Suara Merdeka (Jawa Tengah), dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta); sedangkan pers pusat (kadangkala juga disebut dengan pers nasional) adalah pers yang terbit (pada umumnya di Jakarta) namun memiliki jangkauan peredaran ke hampir seluruh wilayah negeri (secara relatif) seperti Berita Buana (ketika itu), Merdeka (ketika itu), Kompas, dan Sinar Harapan (ketika itu). Sebagian pers daerah pada periode ini memperoleh “titipan” dari pemerintah dalam bentuk proyek Koran Masuk Desa (KMD) yang memiliki tujuan terutama adalah menyebarluaskan informasi tentang pembangunan serta menggelorakan semangat partisipasi masyarakat.
Pemahaman mengenai media komunitas di atas diperluas oleh Romeltea (2012), ia memaparkan bahwa dalam literatur jurnalistik, media komunitas juga disebut “community newspaper”, yaitu media massa yang khayalak pembacanya orang-orang tertentu yang ada di suatu daerah atau orang-orang dengan profesi dan hobi tertentu. Media komunitas yang menjadi perhatian sekarang adalah media komunitas dalam pengertian geografis atau kewilayahan, yakni media massa yang dikelola oleh dan untuk masyarakat di suatu daerah tertentu. Menurut Romeltea (2001), jenis-jenis media komunitas, antara lain: koran dinding, majalah dinding, buletin, radio komunitas, TV komunitas, dan media online (website/blog). Page atau Grup Facebook juga bisa masuk kategori komunitas –berdasarkan profesi atau hobi/kepentingan yang sama. Dewasa ini keberadaan Twitter yang masuk dalam kategori sosial media pun tampaknya juga sangat layak untuk dimasukkan dalam kategori dari jenis-jenis media komunitas di atas.
Dari pemahaman mengenai konsep media komunitas yang ditinjau dari beberapa tulisan-tulisan sebelumnya di atas, pada aspek landasan teori dicoba untuk merangkum dari beberapa teori atau konsep utama. Adapun penelitian ini mengacu pada tiga landasan teori, yakni: (1) Kathryn Woodward (2002): bahwa identitas dibentuk lewat ‘penandaan perbedaan’ (the marking of difference). Dalam hubungan sosial, bentuk-bentuk perbedaan yang berkarakter simbolis dan sosial ini dimapankan, paling tidak untuk sebagian, lewat proyek bernama sistem penggolongan; (2) Mary Douglas (1966): bahwa (1) tatanan sosial dijaga lewat oposisi biner (dua kutub yang saling berlawanan) dalam kerangka penciptaan ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’, dan juga lewat (2) konstruksi kategori-kategori yang berbeda di dalam struktur sosial berupa sistem-sistem simbolis dan budaya yang memediasi klasifikasi ini (Anita, 2012: 16). Kontrol sosial dilaksanakan lewat produksi golongan ini dan golongan itu di mana individu yang melanggar pembatasan ini lalu dilemparkan menjadi ‘orang luar/asing’ menurut sistem sosial yang berlaku. Penggolongan secara simbolis terkait erat dengan tatanan sosial; dan (3) Stewart E. Perry (2001): Memandang ada dua makna dalam komunitas. Pertama, komunitas sebagai kategori yang mengacu pada orang yang saling berhubungan berdasarkan nilai-nilai dan kepentingan bersama yang khusus, seperti para penyandang cacat, jemaah masjid atau kelompok imigran. Kedua, secara khusus menunjuk pada satu kategori manusia yang berhubungan satu sama lain karena didasarkan pada lokalitas tertentu yang sama yang karena kesamaan lokalitas itu secara tak langsung membuat mereka mengacu pada kepentingan dan nilai-nilai yang sama (Iriantara, 2004: 24).

A.5 Metode Penelitian
Berdasarkan pendekatan penelitian yang dikemukakan oleh Creswell (2010), maka penelitian ini termasuk pada penelitian dengan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin memahami bagaimana orang Palembang atau Wong Kito memaknai Wongkito.net sebagai media komunitas para blogger Kota Palembang yang kemudian berpengaruh terhadap konstruksi identitas mereka sendiri. Adapun secara lugas, rancangan penelitian dalam proposal ini, yaitu: (1) asumsi-asumsi pandangan-dunia (worldview) filosofisnya adalah konstruktivisme, (2) strategi penelitian yang berhubungan asumsi-asumsi tersebut adalah etnografi, dan (3) metode atau prosedur-prosedur spesifik yang dapat menerjemahkan strategi tersebut ke dalam praktik nyatanya adalah studi kepustakaan dan observasi partisipatif.

A.5.1 Penentuan Lokasi Penelitian
Melihat asal dari media komunitas Wongkito.net itu sendiri, maka penelitian ini dilakukan di Kota Palembang, Propinsi Sumatera Selatan.

A.5.2 Teknik Pengumpulan Data
A.5.2.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder melalui bermacam sumber tertulis seperti laporan hasil penelitian, artikel, jurnal, buku, dan tulisan-tulisan di internet. Sumber-sumber tertulis yang menjadi perhatian adalah hal-hal yang berkaitan dengan media komunitas dan konstruksi identitas kelokalan, hasil-hasil penelitian yang menggunakan pendekatan etnografi, dan data-data mengenai Wongkito.net itu sendiri. baik di dunia maya, berupa diskusi millist dan blog anggota, maupun di dunia nyata berupa kopdar (kopi darat) internal maupun eksternal dengan berbagai macam agenda event, seperti nobar (nonton bareng), media meeting, sosial meeting, dan lain-lain.

A.5.2.2 Observasi Partisipatif
Melalui metode ini perlu diketahui bahwa peneliti memang tinggal pada daerah penelitian atau di Kota Palembang dan merupakan anggota Wongkito.net sejak tanggal 8 Oktober 2009 hingga sekarang. Observasi partisipatif dilakukan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan di media komunitas Wongkito.net,

A.5.2.3 Wawancara
Wawancara terhadap para informan dilakukan dengan cara semi terstruktur. Artinya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak dibatasi sehingga informasi yang diperoleh sangat kaya dan dapat menjangkau persoalan-persoalan lain yang secara langsung tidak berhubungan dengan topik penelitian. Penentuan informan dilakukan melalui 3 (tiga) cara. Pertama, melalui cara purpossive, yakni dengan sengaja menentukan informan yang dianggap dapat memberikan informasi atau data yang dibutuhkan. Kedua, melalui cara snow ball, artinya dari informan sebelumnya yang diwawancarai menunjuk informan lain yang dianggap dapat memberikan informasi yang lebih komprehensif lagi dari yang telah ada. Ketiga, melalui cara mendadak (accidental), artinya penentuan informan tidak disengaja. Ini terjadi karena dari interview awal memunculkan lagi informan lain yang juga dapat memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan.

A.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yang dilakukan sejak sebelum, selama, dan sesudah selesai dari lapangan. Langkah-langkah yang ditempuh adalah reduksi data, display data, dan verifikasi data, serta kategori data. Reduksi data dilakukan dengan mengelompokkan data berdasarkan tema kemudian disajikan dalam bentuk data yang siap ditulis. Langkah selanjutnya adalah memverifikasi data dan mengkategorikannya menjadi pengelompokkan berdasarkan kebutuhan penulisan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis interpretatif, yakni dengan menginterpretasikan data dengan konteks kulturalnya. Data dipahami sebagai konstruksi identitas dan kultural masyarakatnya yang dalam hal ini adalah konstruksi Wongkito.net sebagai identitas lokalitas “Wong Kito” sekaligus sebagai ikon media komunitas dari Kota Palembang.

B. PEMBAHASAN
B.1 Konstruksi Identitas Wong Kito
Dari bahasa warga Kota Palembang menyebut diri mereka sendiri, Wong Palembang, tiga budaya akan menyertainya: Melayu, Jawa dan Cina. Kata Wong yang berarti orang jelas sebuah kata berasal dari bahasa Jawa. Hal ini ditengarai bila para pemimpin terakhir orang Palembang sebelum kolonialisme datang terbingkai dalam sistem kekuasaan feodalisme Kesultanan Palembang Darussalam yang merupakan manusia-manusia dari tanah Jawa. Adapun kata Palembang yang langsung merujuk nama tempat memiliki sejarah yang diambil berdasarkan kronik Tiongkok, yakni kata Pa-Lin-Fong yang terdapat pada buku Chu-Fan-Shi yang ditulis pada tahun 1225 oleh Chau-Ju-Kau yang merujuk pada Palembang (Humas Pemda Tk. II Palembang, 1991:12). Sedangkan gaya bahasa ketika menyebutkannya sendiri: “Wong Plembang”, irama dan logat Melayu yang berayun akan langsung kentara. Sementara orang Palembang menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang, di tempat lain, orang-orang yang berada di luar lingkaran Wong Palembang lebih mengenal mereka atau memang lebih suka menyebut diri mereka sebagai Wong Kito atau bahkan Wong Kito Galo.
Sebutan “Wong Kito” bagi orang Palembang menjadi lebih lekat didengar secara nonlokalitas sejak tim sepak bola kebanggaan Palembang, Sriwijaya FC berjaya memenangkan berbagai pertandingan tingkat nasional (Anita, 2012: 40). Meski julukan resmi Sriwijaya FC  adalah Laskar Sriwijaya, namun di media dan di kalangan penggemar fanatiknya justru lumrah disebut Laskar Wong Kito. Bahkan embel-embel julukan ini ditambah lagi menjadi Laskar Wong Kito Galo. Jika dialihbahasakan menjadi bahasa Indonesia, maksud kata Wong Kito Galo itu adalah “orang kita semua”. Maknanya, masyarakat Palembang – Sumatera Selatan, di mana pun berada adalah satu saudara. Saudaranya tidak sebatas sesama orang Palembang saja, namun bersahabat dengan orang lain juga di luar Palembang. Namun akibat seringnya kata ini dipopulerkan oleh media seiring dengan perkembangan Palembang yang menggeliat karena Sriwijaya FC maupun perhelatan SEA Games XXVI tahun 2011 lalu, kata Wong Kito menjadi identik dengan penanda sebagai orang dari Palembang.
Gambar 2
Sriwijaya FC Memenangkan Final Copa Dji Sam Soe 2007
Sumber Foto: http://adriyanmahajiputra.blogspot.com/2010/12/sriwijaya-football-club-sriwijaya-fc.html

Jika banyak pendapat mengatakan bila Wong Kito secara langsung dinyatakan sebagai orang Palembang, namun ternyata orang Palembang “asli” sendiri justru tidak bisa menerimanya.
Itu awalnya hanya istilah celotehan yang kemudian menjadi populer. Seperti Syahrini yang mengatakan istilah “Sesuatu”. (Mang Amin, wawancara pribadi, 22 Februari 2012)
O, bukan! Wong Kito bukan sebutan untuk orang Palembang. Orang Palembang sebutannya cukup Wong Plembang saja. (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, wawancara pribadi, 24 Februari 2012)
Pernyataan Mang Amin yang memiliki nama lengkap RM Ali Hanafiah selaku budayawan Palembang yang juga sebagai orang keturunan Palembang asli itu senada dengan penjelasan di awal. Begitu pun jawaban dari Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang pada Festival Keraton Nusantara ke-7 di Palembang, 26-28 November 2011 lalu diangkat menjadi Ketua Yayasan Kesultanan Nusantara dengan tegas menyatakan bahwa sebutan untuk orang Palembang adalah Wong Plembang bukan Wong Kito. Namun apa yang dinyatakan oleh Kasubag Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang Habson berikut ini tentang Wong Kito menjadi jawaban dari kesimpangsiuran makna dari ungkapan Wong Kito itu sendiri:
Bagi saya, ungkapan Wong Kito Galo lebih mengarah pada sikap yang menunjukkan adanya rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan keharmonisan. Istilah ini juga memperkenalkan kerumunan atau komunitas yang juga menjadi bagian kekitaan. Dengan adanya kerumunan ini, Anda akan merasa nyaman dan tenang karena mereka berada di pihak Anda. Mereka tidak akan memberikan masalah bagi Anda, justru akan mendukung Anda. (Habson, wawancara pribadi, 23 Februari 2012)
Orang Palembang senang mendukung orang-orang yang pantas untuk didukung. Keberpihakan secara terbuka menjadi pilihan sikap umum yang diambil ketimbang memilih wilayah abu-abu di antara dua kubu atau dua pilihan. Dengan kata lain penggunaan istilah Wong Kito itu memiliki arti sebagai pihak kita atau keluarga kita. Boleh jadi, ia adalah orang yang memiliki keterikatan maupun keterkaitan dengan Palembang namun belum tentu menunjukkan sebagai orang Palembang asli jika tidak ditelusuri lebih lanjut. Untuk hal ini ungkapan Wong Kito lebih ditujukan sebagai mekanisme egalitarian ketimbang defensif. Kebiasaan berkelompok, pengajian, memancing bersama adalah contohnya.
Untuk pendefinisian siapa sesungguhnya Wong Palembang, Mang Amin yang juga menjabat sebagai Kepala UPTD Musium Sultan Mahmud Badaruddin II juga menyatakan bahwa ada tiga hal yang bisa membuat seseorang itu bisa disebut sebagai orang Palembang, yakni dari garis keturunan, domisili, dan perkawinan.
Kalo nak disebut Wong Palembang, itu ado tigo syarat:
1. Asli, artinyo anak keturunan sultan-sultan dan yang mempunyai gelar.
2. Tinggal di Palembang, artinyo lahir, besak, mencari, dan mati di Palembang. Dengan kata lain, beranak-pinak di Palembang.
3. Perkawinan. 
Seperti halnya kebudayaan Jawa, kebudayaan Palembang juga mengenal adanya gelar bagi keturunan masyarakat golongan bangsawannya. Hal ini sebagai bagian dari sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, orang Palembang asli pun telah memiliki kesadaran kelas, akibat pengaruh budaya Jawa yang disesuaikan dengan budaya lokal Palembang. Kesadaran kelas tersebut dengan jelas dapat dilihat dalam identitas pemakaian gelar di kalangan lingkungan kraton. Identitas gelar tidak saja berlaku sebagai pembeda antara kelas bangsawan, priyayi, dengan kelas rakyat, namun juga di kalangan priyayi itu sendiri. Menurut J.C. Van Sevenhoven (1971), priyayi berarti keturunan raja-raja, Sultan, atau kaum ningrat, kedudukan itu dapat diperoleh karena kelahiran atau atas perkenan dari raja atau sultan (sebagaimana dikutip dalam Santun dkk, 2010:70-72). Golongan priyayi ini dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu Pangeran, Raden dan Masagus. Golongan rakyat juga memiliki gelar lain, yakni Kiai Mas atau Kemas, Kiai Bagus atau Kiagus dan orang-orang yang tidak memiliki gelar atau rakyat jelata. Keaslian inilah yang kemudian banyak menimbulkan persinggungan bila orang Palembang yang berada di luar, misalnya di tanah rantau mendengar pengakuan orang yang sesungguhnya tidak berasal dari Kota Palembang tapi juga mengaku sebagai orang Palembang.
Wong Palembang bisa juga bermakna sebagai orang-orang yang berdomisili di Sumatera Selatan. Banyak orang-orang yang berasal dari luar suku Palembang, seperti Suku Komering, Suku Rantau Alai, dan lain-lain atau orang-orang yang berasal dari daerah-daerah yang tidak berada di batas wilayah Kota Palembang, seperti Lubuk Linggau, Batu Raja, dan lain-lain juga akan mengaku sebagai Wong Palembang jika berada di luar wilayah Sumatera Selatan. (Habson, wawancara pribadi, 23 Februari 2012)
Apa yang dikatakan oleh Habson di atas, juga didukung oleh fakta di lapangan dan senada oleh penjelasan teman semasa SMA saya yang juga merupakan orang Palembang yang kini tengah merantau di Bandung, Yanuarti Tri Mardyah (28). Orang di luar Kota Palembang namun masih di kawasan Propinsi Sumatera Selatan akan menyebut diri mereka sebagai Wong Palembang, sedangkan orang yang berasal dari Kota Palembang sendiri akan memperkenalkan diri mereka sebagai Wong Palembang Kota. Keleluasaan untuk menyebut diri sebagai orang Palembang semakin disadari karena keaslian itu sendiri mulai dipertanyakan saat ini. Namun seyogyanya mereka harus ikut menambahkan bahwa mereka adalah Wong Palembang Kabupaten. Mengikuti perkembangan otonomi daerah, Sumatera Selatan sendiri kini terdiri dari 11 kabupaten, yakni Banyu Asin, Lahat, Muara Enim, Musi Banyu Asin (MUBA), Musi Rawas (MURA), Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), dan Lintang Empat Lawang, dan juga 4 kota, yakni Palembang, Prabumulih, Pagar Alam, dan Lubuk Linggau (Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu, 2007:115). Jelas bahwa Palembang yang merupakan ibukota Propinsi Sumatera Selatan hanya merupakan satu kota yang ada di Sumatera Selatan sendiri.
Pembedaan ini sesungguhnya hal wajar karena para penduduk asli Sumatera Selatan ini memang terdiri dari beberapa suku yang masing-masing mempunyai bahasa dan dialek sendiri. Suku-suku tersebut antara lain suku Palembang, Ogan, Komering, Semendo, Pasemah, Gumay, Lintang, Musi Rawas, Meranjat, Kayuagung, Ranau, Kisam, dan lain-lain. Namun di lapangan semua suku ini hidup berdampingan dan saling membaur dengan suku-suku pendatang termasuk dengan orang asing, bahkan banyak terjadi perkawinan antarsuku. Suku-suku ini memiliki seni dan budaya sendiri yang saling berbeda atau hampir bersamaan. Umumnya suku-suku yang ada cenderung feodal. Nilai dan status seseorang banyak ditentukan oleh garis turunan kebangsawanan, ketokohan, kesaktian dan kekayaan. Meski tiap kelompok etnik memiliki corak khas dalam kebudayaan dan struktur bahasa sendiri, namun tetap merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan satu sama lain dalam lingkungan hukum adat di daerah Sumatera Selatan. Mereka saling mempengaruhi sehingga unsur kebudayaan yang satu terdapat juga pada kebudayaan suku lainnya. Hal ini disebabkan adanya proses difusi, akulturasi dan adaptasi. Kesatuan dan keseragaman kebudayaan dalam suku bangsa disadari sendiri oleh para warganya.
Tabel 2
Distribusi Etnis di Indonesia
Sumber : Statistische Zakboekje voor Nederladsch-Indie tahun 1940 (sebagaimana dikutip dalam Susetyo, 2010:2)

Nama suku Palembang sendiri pernah tercatat dalam Statistische Zakboekje voor Nederladsch-Indie tahun 1940 yang menjadi salah satu suku yang mendistribusi salah satu kelompok etnis yang ada di Indonesia sebagaimana tergambar pada Tabel II.2 di atas (Susetyo, 2010:2). Dari data tabel tersebut suku Palembang menempati posisi ke-12 dari 16 nama suku yang tercatat mendominasi nusantara, yakni dengan angka 1,30 %. Namun dari data itu juga terlihat bahwa Suku Jawa merupakan etnis paling besar yang ada di Indonesia.
Dari pemaparan di atas telah dicoba jelaskan hubungan antara orang-orang Palembang dengan pemaknaan kata Wong Kito itu sendiri. Adapun teorinya, berangkat dari rumusan Kathryn Woodward tentang identitas yang dibentuk lewat ‘penandaan perbedaan’ sehingga membentuk sistem penggolongan yang setidaknya menjadi dua kelompok yang saling berlawanan—Wong Palembang dan dengan wong non-Palembang dan pemikiran Mary Douglas mengenai penciptaan ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’ serta konstruksinya dalam struktur sosial. Sehingga pada bagian selanjutnya akan membahas sebuah fenomena bahwa antara Wongkito.net dan Wong Kito itu sendiri sesungguhnya tercipta ikatan kuat yang saling memiliki.

B.2 Wongkito.net Sebagai Media Komunitas Blogger Palembang
Gambar 3
Situs Media Komunitas Wongkito.net
Sumber Foto: http://wongkito.net

Wongkito.net merupakan sebuah media komunitas blogger daerah asal Palembang yang dideklarasikan berdiri di Kota Palembang, pada tanggal 16 Oktober 2007 dengan alamat di dunia mayanya, yaitu di http://wongkito.net. Wongkito.net sendiri dibentuk untuk mempererat tali silahturahmi di antara para blogger yang tinggal di Palembang dan mereka yang di luar kota Palembang, tapi memiliki keterikatan dengan Palembang. Selain itu, dengan adanya komunitas ini, sebagaimana dijelaskan di bagian profil situsnya, Wongkito.net berharap dapat menjadi media informasi yang dapat mengenalkan Palembang khususnya, misalnya keragaman makanan khas daerah, tempat pariwisata, keunikan budaya, dan lainnya yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar Palembang dengan cara mengenalkan lebih dekat melalui komunitas blogger Wongkito.net ini. Ditinjau dari sejarahnya, ditulis di Kompas bahwa blog pertama adalah milik Justin Hall, seorang pemuda kelahiran 16 Desember 1974 (Eriek, 2008). Justin disebut sebagai blogger pertama di dunia yang mencatatkan hariannya di internet pada tahun 1994. Sejak kelahirannya di tahun 1994, jumlah blogger tentunya terus bertambah. Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak komunitas blogger daerah bertumbuhan. Mulai dari Sabang sampai Merauke. Meskipun belum semua daerah ada komunitas blogger, tapi setidaknya seiring dengan semakin berminatnya orang-orang menulis di blog, secara perlahan-lahan akan tergerak untuk membuat komunitas blogger di daerahnya sendiri. Mereka memiliki kekhasannya sendiri, sebagaimana Wongkito.net. Mereka menuliskan apa yang terjadi di daerahnya. Tidak seperti yang ditulis di media massa mainstream yang banyak kepentingan dan editing, tetapi menulis di blog bisa lebih bebas dan independen.
Dalam merekrut anggota barunya, Wongkito.net menerapkan aturan main yang sesungguhnya juga mempertahankan identitas kelokalan mereka namun sekaligus mematahkan aspek genealogis bila yang bisa disebut orang Palembang harus berasal dari keturunan asli orang Palembang. Ada 4 peraturan umum yang diterapkan kepada calon anggota agar dapat diizinkan masuk ke media komunitas Wongkito.net, yaitu: (1) Punya blog dengan umur blog minimal 1 bulan; (2) Orang Palembang, boleh lahir di Palembang atau berdarah Palembang, atau pernah tinggal di Palembang; (3) Bangga dan cinta Palembang; dan (4) Mau mengikuti kegiatan yang diadakan Wongkito dan berpartisipasi dalam mewujudkan visi dan misi Wongkito. Menjadi orang Palembang bagi komunitas blogger Palembang Wongkito bisa ditunjukkan dengan tiga hal, yakni lahir di Palembang, berdarah Palembang yang artinya garis keturunan di atas mereka ada yang berasal dari Palembang, atau pernah tinggal di Palembang yang juga tidak dibatasi waktunya. Namun ketiga syarat di atas harus disertai dengan syarat selanjutnya, yakni bangga dan cinta Palembang. Syarat nomor tiga ini yang sesungguhnya menjadi syarat utama, bahwa identitas ke-Palembang-an seseorang hanya akan muncul dan mengakar kuat jika mereka memiliki rasa bangga dan cinta akan Palembang. Hal ini juga senada akan kesimpulan sang Sultan Palembang tentang siapa orang Palembang.
Jadi intinyo Wong Palembang itu adalah orang yang hidup di Palembang yang jugo orang yang cinta dengan Palembang. (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, wawancara pribadi, 24 Februari 2012)
Namun yang kemudian menjadi “eksklusifitasan” media komunitas ini adalah sulitnya para anggota baru untuk masuk ke dalamnya. Dalam setahun jumlah anggota baru media komunitas yang hanya memiliki “pejabat struktural” berupa Ketua (Ardy Hidayat) dan Humas (Ira Hairida) ini tidak lebih dari angka 20 orang. Mungkin banyak yang berminat untuk masuk namun seringkali mereka gagal dalam sebuah upacara khusus yang diterapkan dalam komunitas WongKito.net, yakni Pecah Telok (PT). Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh penggiat aktif Wongkito.net sejak pertama kali berdiri, Nike F. Andaru:
Kalo jumlah yang bergabung ke milis banyak. Tapi kan untuk dikatoke sah jadi anggota mereka harus PT dulu. Aku kurang tau tepatnyo tapi tahun ini yang lulus PT dak sampe deh 20. (Nike F. Andaru, wawancara pribadi, 27 Desember 2012)
Pecah Telok sendiri merupakan ajang perkenalan calon anggota baru Wongkito.net kepada para anggota lama Wongkito.net melalui diskusi ke milis Wongkito.net (wong-kito@googlegroups.com) yang kemudian harus mendapatkan minimal 75 kali reply dari member Wongkito.net lainnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak calon anggota yang sudah memiliki niat untuk bergabung lalu jatuh bertumbangan. Sebagaimana peringatan yang juga dituliskan para pengelola media komunitas ini di situsnya: PIKIR DULU SEBELUM JOIN! SIAPKAN MENTAL. Bagi yang berpikiran sempit dan dangkal, mudah emosi, atau mempunyai mental yang lemot, lebih baik mengurungkan niat untuk bergabung di milis ini. SERIUS!!! Tidak jarang satu orang harus menjalani hingga tiga kali atau lebih Pecah Telok karena dianggap tidak memenuhi kriteria untuk lulus. Mungkin karena tidak respon atas pertanyaan-pertanyaan dari anggota yang lain, mungkin karena terlalu banyak menjawab karena mereka juga dibatasi membalas komentar dari anggota lain sebanyak 10 kali reply, atau juga mungkin karena tidak mendapatkan 3 suara dari 5 suara penentu kelulusan PT (Aditya Wirawan, Lies Surya, Indah Mastuti, Kgs. Muhammad Solihin Fikri, dan Arie Ardiansyah) seorang anggota baru sebagai hasil akhir. Berikut ini peraturan Pecah Telok yang meski menjadi dilema bagi media komunitas ini namun juga sekaligus menjadi proses kontruksi identitas kelokalan bagi media komunitas ini sendiri, yakni:
PERATURAN PECAH TELOK:
(Dilakukan setelah join di milis Wongkito.net)

  1. Pecah telok harus dilakukan di thread baru, tidak boleh menumpang thread yang sudah berjalan.
  2. Gunakan format subjek [Pecah Telok] Nama Anda.
  3. Tulis nama, nick, alamat blog, id Y!M, id yang lain juga seperti: Friendster, Facebook, twitter, flickr, dll. Lebih banyak lebih baik. Lengkap-lengkap, siapa tau ada dulur kamu di milis ini.
  4. Jika tidak ada yang reply dari pecah telok yang dilakukan, atau kurang dari 5 reply dari anggota senior dalam 24 jam, si pelaku pecah telok harus mengulang pecah telok.
  5. Pecah telok (akan) diterima bila berhasil membuat 1 thread yang tembus 75 post, dengan maksimal 10 isi thread adalah reply sendiri. Jika tidak berhasil, lakukan pecah telok sampe berhasil.
  6. Jangan melakukan pecah telok dengan cara basi seperti: “Hai, perkenalkan nama saya…” yang hanya boleh dilakukan oleh anak-anak, manula, atau orang dengan IQ di bawah 50. Kreatiflah.
  7. Tunjukkan kreatifitasmu: puisi, cerita fiksi, cerita pendek, edit grafik, template WordPress, suara, video… apapun yang bisa dipikirkan.
  8. Posting tentang pecah telok ini di blog kamu. Jika tidak punya blog, ya buat dulu. Hari gini gak punya blog?
  9. Jawab semua komentar (reply) yang muncul dari pecah telok.
  10. Penghuni Komunitas WongKito berhak menghina dan menjelek-jelekkan pecah telok yang dilakukan. Ini adalah tanda keanggotaanmu sudah mulai diterima.

Kalo udah gitu, SELAMAT kamu udah SAH menjadi bagian dari komunitas WONGKITO. Para penghuni Wongkito akan menilai apakah kamu berhak masuk ke dalam list aggregator WONGKITO.

Dari pemaparan mengenai cara masuk sebagai anggota Wongkito.net di atas, jelas bahwa kriteria yang dipaparkan oleh Stewart E. Perry (2001) mengenai komunitas, serta Pawito (2007) dan Romeltea (2012) mengenai media komunitas menjadi terpenuhi. Selain karena memiliki media publikasi untuk menyiarkan kegiatan-kegiatan dan konsep yang diterapkan dalam organisasinya, Wongkito.net juga menerapkan kriteria khusus dalam membangun identitas kelokalan anggotanya sehingga menciptakan apa yang disebut oleh Kathryn Woodward sebagai orang dalam dan orang luar menjadi ada. Jika sudah menjadi “orang dalam” di media komunitas Wongkito.net, banyak keuntungan-keuntungan yang berkaitan dengan dunia blogger yang akan diberikan kepada para anggotanya. Di dunia maya sendiri, anggota Wongkito.net jadi diizinkan untuk masuk dalam millist yang banyak berdiskusi tentang blog, penulisan, teknologi, dan lain-lain. Selain itu situs yang dimiliki oleh anggota, baik blog maupun website menjadi terhubung atau teragregator ke situs Wongkito.net setiap kali meng-update posting terbaru sehingga dapat memperluas jaringan. Di dunia realitas, para anggota Wongkito.net seringkali menjadi prioritas untuk mengikuti berbagai kegiatan seminar, workshop, jumpa pers, nonton bareng, maupun kegiatan-kegiatan internal Wongkito.net sendiri kopdar, sosial event, family event, dan lain-lain.
Gambar 4
Ragam Kegiatan Media Komunitas Wongkito.net
Sumber Foto: http://wongkito.net

Jika melihat gambar Ragam Kegiatan Media Komunitas Wongkito.net di atas terlihat bahwa Wongkito.net yang kini berusia 5 tahun dan dengan anggotanya yang hanya terdiri dari 128 orang (tercatat dalam daftar Rumah Wongkito.net) mengkonstruksi identitas kelokalan mereka dengan menerapkan ajang penjaringan Pecah Telok. Meski Wongkito.net yang dipahami sebagai media komunitas yang khusus menampung para blogger asal daerah Palembang tidak serta-merta membatasi diri atas kriteria Wong Kito itu sendiri yang kaku hanya berdasarkan garis keturunan darah. Secara umum menjadi Wong Kito cukup dengan beridentitas sebagai orang Palembang, boleh lahir di Palembang, berdarah Palembang, atau pernah tinggal di Palembang, namun secara khusus untuk menjadi member Wongkito.net, mereka juga harus memiliki blog/website pribadi dan harus lulus ajang Pecah Telok seperti yang peraturannya sudah ditentukan oleh media komunitas ini. Namun diyakini bahwa adanya ajang Pecah Telok inilah yang justru akan memperkuat aspek integritas para blogger asal daerah Palembang yang juga anggota sah Wongkito.net terhadap media komunitas Wongkito.net itu sendiri.
PT itu bertujuan mendekatkan member baru dengan member lama. Mungkin bisa jadi bisa memperbesar integritas tapi gak tau ya kalo loyalitas. Komunitas blogger karena kita punya kesamaan yang sama dalam hal ngeblog. (Nike F. Andaru, wawancara pribadi, 27 Desember 2012) 

C. PENUTUP
Serangkaian paparan di atas menunjukkan telah terjadi produksi dan reproduksi pemaknaan terhadap Wong Kito yang mengakibatkan terjadinya perubahan atas pemaknaan budaya media komunitas Wongkito.net bagi masyarakat Kota Palembang itu sendiri. Demikian halnya dengan konstruksi identitas secara terus-menerus atas keberadaan orang Palembang itu sendiri di tengah-tengah masyarakat baik nasional maupun di kancah yang lebih luas. Diasumsikan definisi sebagai Wong Kito semakin menguat seiring dengan perilaku tetap mengkonsumsi informasi mengenai Kota Palembang meskipun sedang tidak berada di Palembang. Retensi kepribadian Wong Kito disinyalir semakin tinggi untuk lebih menyukai tulisan yang diproduksi langsung oleh Wong Palembang ketimbang yang oleh penulis dari kota-kota lain yang dalam hal ini adalah blogger asal daerah Palembang. Kenyataan ini berdampak pada terjadinya penguatan identitas yang mengarah pada sentimen apa yang diklaim sebagai orisinalitas kuliner kesukuan. Namun dari penelitian ini diperoleh temuan bahwa konstruksi identitas kelokalan tidak selalu persoalan garis keturunan, namun juga mengenai persamaan hobi dan kesukaan, yakni dalam kasus Wongkito.net: sama-sama suka ngeblog dan sama-sama cinta Kota Palembang. Dari analisis ini pula, diperoleh hasil temuan penelitian bahwa konstruksi identitas “Wong Kito” terhadap media komunitas Wongkito.net yang berdiri sejak 16 Oktober 2007 ini terbangun secara spesifik melalui sejarah keberadaan Wongkito.net itu sendiri dengan Kota Palembangnya, perilaku sosial para blogger Wongkito.net dalam kehidupan sehari-hari terutama pada aspek media komunitas, dan hubungan timbal-balik yang saling mengikat antara para blogger Palembang, media komunitas Wongkito.net dengan kecintaan mereka terhadap Kota Palembang itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA 

A. Buku
Barker, Chris, 2009, Cultural Studies Teori & Praktik, Bantul: Kreasi Wacana.
Berger, Arthur Asa, 2005, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer Suatu Pengantar Semiotika, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Creswell, John W., 2010, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Humas Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Palembang, 1991, Petunjuk Kota Palembang, Palembang: PD Prima.
Iriantara, Yosal. 2004. Community Relations Konsep dan Aplikasinya. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu, 2007, Indonesia Tanah Airku 33 Provinsi, Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset.
Santun, Dedi Irawanto, M, dkk, 2010, Iliran dan Uluan Dikotomi dan Dinamika Dalam Sejarah Kultural Palembang, Yogyakarta: Eja Publisher.
Susetyo, D.P. Budi, 2010, Stereotipe dan Relasi Antarkelompok, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Woodward, Kathryn (Ed), 2002, Identity and Difference, London: SAGE Publications.

B. Junal/Tesis
Anita, Sumarni Bayu. 2012. KULINER DAN KONSTRUKSI IDENTITAS KELOKALAN, Studi Kasus Tentang Pempek Bagi “Wong Kito” di Kota Palembang. Tesis: Universitas Gadjah Mada. (belum dipublikasikan)
Pawito. 2007. Media Komunitas dan Media Literacy. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 2: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

C. Internet 
Eriek, 3 Mei 2008, Blogger Day Wongkito: Silaturahmi Akbar Komunitas Blogger Palembang, (diakses 17 Desember 2012).
Mahaji, Adriyan, 2010, Sriwijaya Football Club (Sriwijaya FC), (diakses 2 Januari 2012).
Romeltea, 20 Oktober 2012, Narrowcasting Journalism: Jurnalisme Media Komunitas, (diakses 17 Desember 2012).

(PERHATIAN: Anda saya izinkan untuk mengcopy-paste tulisan ini namun harap memperhatikan kaidah pengutipan artikel (tidak plagiat) jika bermaksud untuk menjadikan tulisan ini sebagai acuan untuk tulisan Anda. Terima kasih.)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...