Istilah yang dapat menjelaskan itu adalah karena seorang blogger adalah “pengguna media” bukan lagi “khalayak (audience)”. Iya, hal ini karena seorang blogger tidak hanya mengkonsumsi media tapi memproduksi media, jelas dalam hal ini adalah pesan media. Jadi, niat menulis itu pasti ada. Namun kesempatan untuk menulis sehingga bisa menjadi sebuah tulisan dan kemudian bisa di-upload ke blog pribadinya, tentu membutuhkan waktu. Dan untuk saya sendiri itu bisa 45 menit paling cepat untuk 1 tulisan.
Jadiii... Tulisan kali ini saya hanya ingin sedikit cerita tentang Idul Fitri yang saya lalui kemarin. You want to know about that? Hihihi... Let’s dance together...
(With my lovely family) |
Saya merayakan Idul Fitri kali ini di Kota Palembang tercinta. Tempat saya akan mengabdi untuk selamanya. Saya mencintai kota ini karena kota ini tidak pernah mengkhianati saya. Dia selalu ada untuk menerima saya kembali bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun. Dia tahu saya pernah terpuruk dan memulainya lagi dari nol. Dia terus menciptakan kesempatan, untuk saya kembali mempercayai diri saya lagi. Bahwa saya bisa bangkit, saya bisa tersenyum kembali.
Di kota ini, jasad bapak tercinta pun bersemayam. Dia yang kelahiran Purworejo-pun, di pesan terakhirnya meminta untuk dikebumikan di sini agar dekat dengan anak-anaknya. Lalu, kenapa aku yang harus menjauh darinya? Dari orang yang paling berjasa dalam membentuk pribadiku hingga bisa seperti ini: pribadi yang akan selalu bangkit lagi meski dijatuhkan, pribadi yang tidak cengeng walau harus selalu menangis, pribadi yang selalu bersyukur untuk segalanya.
Yaa... Aku sangat menghargai perbedaan yang terjadi. Maka, memang tidak perlu ada yang dipaksakan. Cintailah yang kau cintai, aku sangat menghormatinya.
(Fafa yang Cantik Bersama Orang-orang yang Mencintainya) |
Itu pemaknaan yang bisa saya buat untuk memaknai Idul Fitri kali ini. Untuk rutinitas ritualnya, seperti biasa saya bersama keluarga besar melakukan sholat Idul Fitri di Mesjid Nurul Islam di dekat rumah, setelah itu menikmati makanan khas lebaran di rumah. Lanjut berziarah ke makam Bapak di Kebun Bunga, lalu ke tempat Wakso di Km. 12, lanjut ke dusun Ibu di Tanjung Raja – Ogan Ilir. Di sini, kami menikmati pindang kaki sapinya Cik Koya. Weew... Mantaaap, euy!! Hihihi...
Esoknya, perjalanan luar biasa menuju Gunung Dempo – Pagaralam. Yah, liburan yang sangat singkat sebenarnya. Namun, akhirnya bisa menjawab rasa penasaran selama ini tentang keindahan gunung yang ada di Provinsi Sumatera Selatan itu. Memang indah, sangat indah. Bentangan kebun teh yang ada di kaki-kakinya sangat menyejukkan mata. Mempesona.
Well, begitulah ceritanya. Sangat singkat bukan? Hihihi... Lalu, bagaimana dengan cerita lebaranmu? Cerita dong... :’)
1 komentar:
masih alami tempatnya, ya. Keliatannya seger pemandangannya :)
Posting Komentar