Selasa, April 10, 2012

Pempek Sebagai Identitas Kuliner Wong Palembang

Dari aspek kuliner, boleh jadi Pempek Palembang adalah Pesona Sumatera Selatan nomor wahid. Pempek merupakan salah satu kuliner khas Sumatera Selatan umumnya dan Palembang khususnya. Berdasarkan penelitian pada tahun 1980, persentase hotel dan restoran yang menghidangkan pempek mencapai 44,4-66,7%. Seiring dengan penerimaan masyarakat yang kian meluas, jumlah restoran penjual makanan yang juga menjadi ikon kuliner Kota Palembang ini tentunya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Berita dari kompas.com tertanggal 22 September 2008 bahkan bertajuk “Palembang Kirim 0,5 Ton Pempek Per Hari”. Pantauan jurnalistik yang dilihat dari pengiriman paket pempek melalui kargo Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang tersebut menyebutkan, bahwa menjelang lebaran, dalam sehari 50.000 butir pempek keluar dari kota yang juga dikenal dengan Sungai Musinya, Jembatan Ampera, Kerajaan Sriwijaya, klub sepak bola Sriwijaya FC, songket Palembang, maupun ungkapan “Wong Kito” sebagai ciri khas lokalitasnya. Paket-paket pempek tersebut kebanyakan dikirimkan untuk para wong kito yang ada di perantauan. Menurut Appadurai dan Hannerz (sebagaimana dikutip dalam Abdullah, 2010:43) bahwa keberadaan seseorang dalam lingkungan tentu di satu pihak mengharuskan penyesuaian diri yang terus-menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Namun di lain pihak, identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan kebudayaan asal cenderung menjadi pedoman dalam kehidupan di tempat yang baru.

(Berjualan Pempek)
Bagi masyarakat kota dengan luas wilayah 400,62 km2 dan jumlah penduduk sekitar 1.451.776 jiwa ini, pempek dapat dimakan setiap saat, khususnya sebagai makanan selingan, tanpa mengenal waktu. Di restoran, pempek lebih digolongkan sebagai makanan pembuka (appetizer), yaitu jenis makanan yang dihidangkan dalam keadaan panas atau dingin, yang disajikan pada permulaan dari suatu urutan makanan lengkap. Pempek terbuat dari bahan dasar daging ikan giling, tepung tapioka, air, dan garam ini selain memiliki nilai budaya juga memiliki nilai ekonomi dan gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi utama pada pempek adalah protein, lemak, dan karbohidrat yang diperoleh dari ikan dan tepung tapioka. Ikan yang digunakan untuk pembuatan pempek sejatinya adalah ikan belida (Notopterus chitala). Namun karena semakin langkanya ikan purba yang mendiami Sungai Musi, ikan yang digunakan untuk pembuatan pempek pun menjadi lebih bervariasi, seperti jenis ikan sungai yang lain, yakni ikan gabus (Channa striata), ikan putak (Notopterus notopterus), ikan toman (Channa micropeltes), ikan bujuk (Channa lucius), ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis), dan ikan bilis (Chela oxygastroides). Beberapa jenis ikan laut, seperti ikan tenggiri (Cybium commersoni), ikan parang-parang (Chirocentrus dorab), dan ikan kakap merah (Lutjanus argentimaculatus) juga dijadikan bahan pembuatan pempek. Pada prinsipnya, semua ikan air tawar dan laut bisa dipakai untuk bahan membuat pempek tetapi ikan laut lebih amis baunya.

(Ikan Belida, Gabus & Tenggiri)
Keberadaan Sungai Musi yang kaya akan ikan sebagai bahan baku utama pempek menjadikan makanan tradisional ini sangat bersifat gastro-geografi. Gastro-geografi yang merupakan turunan dari gastronomi (tata boga) ini sendiri memiliki definisi, yakni studi akan sifat-sifat bumi, vegetasi, iklim, air, dan lingkungan dan hubungannya dengan makanan dan minuman. Dalam bukunya Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Anthony Reid (2011:33), mengatakan bahwa bagi Asia Tenggara, selain beras dan garam, ikan merupakan bahan makanan utama yang penting dan banyak diperdagangkan. Namun meskipun mayoritas penduduk Asia Tenggara tinggal dekat laut atau sungai yang banyak ikannya, mereka tidak siap menerima ketidaktentuan persediaan ikan segar akibat perubahan musim. Perdagangan ikan sehari-hari kebanyakan dalam bentuk yang sudah dikeringkan atau diasinkan, sehingga bisa selalu siap. Demikian halnya orang Palembang yang dengan Sungai Musi sebagai pusat niaganya di masa lalu, juga menempatkan ikan sebagai bahan makanan yang lebih sering disantap ketimbang protein hewani lainnya. Ikan menjadi menu utama masyarakat Kota Palembang. Selain digoreng, ikan bagi orang Palembang juga sering dimasak dengan variasi lain, seperti dipindang, dibrengkes, diasap, diasinkan, diasamkan, atau dibuat menjadi panganan baru, seperti pempek.

(7 Varian Pempek Kecil)
Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah perakitan, suatu kawasan rumah rakit di tepian Sungai Musi, merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain, yakni mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka (orang Palembang menyebutnya sagu) sehingga menghasilkan makanan baru. Makanan baru itu kemudian ia jajakan bersama para apek lain dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan: “Pek… Apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai pempek. Namun cerita rakyat ini memang patut ditelaah lebih lanjut karena singkong yang menjadi bahan dasar tepung tapioka diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad ke-16 dan baru dibudidayakan secara komersial di tahun 1810. Selain itu, velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad ke-18. Di lain pihak, Sultan Mahmud Badaruddin II pun baru lahir pada tahun 1767.

(Yudhy Syarofie)
Gastronomi Indonesia diyakini terbentuk dari perpaduan budaya dan makanan antara pribumi dengan bangsa India, Timur Tengah, Cina, dan Eropa seperti Portugis dan Belanda. Sebagaimana kisah rakyat di atas, khusus untuk pempek sendiri ditengarai merupakan kuliner hasil akulturasi antara keturunan “Perancis” yang ada di Kota Palembang dengan budaya lokal. Namun secara tegas budayawan Palembang Yudhy Syarofie menolak sebutan pempek berasal dari makanan Cina seperti tercantum dalam buku Dasar Cina Lu (DCL), Melawan Sentimen Rasis karya Suryadi saat ikut membedah buku tersebut pada 28 Oktober 2009 di Gedung Harian Sriwijaya Post Palembang (Sriwijaya Post, 30 Oktober 2009). “Kalau pempek dari Cina, mestinya di Amerika sana ada pempek di kampung Pecinan. Tapi kalau pempek dipopulerkan oleh seorang Cina bernama Apek di zaman tahun 1450-an, itu boleh jadi benar,” Yudhy meluruskan. Ditambahkannya, etnis Cina di Palembang zaman dulu dikenal dengan “Perancis” (Peranakan Cina Seberang) atau Cina Rakit. Inilah etnis Cina gelombang pertama yang datang ke Palembang.

(Rumah Rakit di Sungai Musi)
Kota Palembang sejak lama memang telah menjadi tujuan imigrasi beberapa masyarakat dari berbagai daerah. Pendatang dari Cina diduga masuk Palembang pada masa kehancuran Kerajaan Sriwijaya sampai sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, atau tepatnya pada tahun 1365-1407, dimana pada masa ini Palembang dalam keadaan “tidak terurus” dan secara de jure tidak ada penguasa. Menurut arkeolog Hasan Muarif Ambary, berita Cina menyebutkan bahwa pada masa itu Palembang dikuasai oleh orang-orang dari Nanhai dengan menobatkan Liang Tau-Ming bersama putranya sebagai penguasa tertinggi (sebagaimana dikutip dalam Adiyanto, 2006). Pendatang dari Cina ini membaur dengan masyarakat asli Palembang, bahkan sampai menikah dengan penduduk setempat. Muhammad Saleh alias Ujang (74), tetua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan Cina dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan Cina, terutama dari keluarga besar kapitan, yang menikah dengan perempuan pribumi (sebagaimana dikutip dalam Adiyanto, 2006).

(Pempek Kapal Selam)
Pempek dianggap sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kebudayaan kota ini. Seperti halnya pakaian, pempek sebagai makanan telah jauh dari sekadar unsur untuk bertahan hidup bagi masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Marcel Danesi (2011:223-234), bahwa makanan adalah tanda yang disusupi makna. Kita makan, pertama dan terutama, demi tetap hidup. Namun, dalam lingkungan sosial, makanan memperoleh signifikansi yang melampaui fungsi tersebut dan mempengaruhi persepsi atas bisa tidaknya sesuatu dimakan. Secara denotatif, makanan adalah seperti yang telah disebutkan, unsur untuk bertahan hidup. Namun, dalam semiosfir, makanan dan tindakan makan selalu memiliki konotasi yang luas. Masih menurut Danesi, istilah yang sering digunakan untuk menyebut sistem konotasi yang dibentuk oleh makanan adalah masakan (cuisine). Dari masakan, kita dapat mengetahui apa yang dimakan kelompok orang tertentu, bagaimana cara membuatnya, dan apa yang terungkap dari masakan itu tentang mereka, sama halnya seperti pempek dan wong Palembang.

(Wong Palembang & Pempek)
Orang lain harus menafsirkan tanda-tanda identitas seseorang dengan benar karena suatu identitas orang tersebut dipahami dan disahkan. Namun sebagaimana dinyatakan Chris Barker (2009:174), subjektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Jadi, identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin ‘eksis’ di luar representasi kultural dan akulturasi. Arthur Asa Berger (2005:108) bahkan mengklasifikasikan makanan sebagai identitas nasional, sejajar dengan bendera, simbol, arsitektur, dan musik. Oleh karena itu, dapat diklasifikasikan bahwa pempek yang memiliki hingga 12 varian pempek ikan (Pempek Lenjer, Pempek Kapal Selam, Pempek Lenjer Kecil, Pempek Telur Kecil, Pempek Keriting, Pempek Pistel, Pempek Adaan, Pempek Tahu, Pempek Kulit, Pempek Panggang, Pempek Lenggang dan Otak-otak), 8 varian pempek non ikan (Pempek Dos Lenjer, Pempek Belah, Pempek Dos Telur Kecil, Pempek Dos Pistel, Pempek Dos Isi Udang, Pempek Dos Nasi, Pempek Udang, dan Pempek Gandum), 5 varian makanan turunan pempek tingkat pertama (Rujak Mie, Model, Tekwan, Celimpungan, dan Laksan), dan berbagai jenis kemplang dan kerupuk sebagai makanan turunan pempek tingkat kedua ini, memiliki tempat sebagai makanan yang menjadi identitas nasional yang dalam hal ini menjadi identitas kultural atau ikon kuliner khususnya bagi masyarakat Kota Palembang. Bahkan bagi wong Palembang, pempek tak hanya menjadi ikon kuliner semata tapi lebih dari itu. Pempek seolah menjadi simbol kebanggaan identitas yang terus dikonstruksi oleh wong Palembang. Boleh jadi, karena pempek ini juga wong Palembang akan hidup tanpa dihalangi sekat-sekat strata sosial. Pempek bisa menjadi identitas pemersatu, disatukan oleh rasa, tidak hanya oleh orang Palembang sendiri bahkan oleh orang yang bukan Palembang yang ingin ikut melebur ke dalamnya. Nah, jadi cakmano sekarang? Jadi kito makan pempeknyo? Oii... Memang lemak nian rasonyo....

Daftar Pustaka:
Abdullah, Irwan, 2010, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Adiyanto, 2006, Kampung Kapitan Interpretasi ‘Jejak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural, http;//www.petra.ac.id/-puslit/journals/dir.php?DepartmentID=ARS  (diakses 2 Januari 2012).
Barker, Chris, 2009, Cultural Studies Teori & Praktik, Bantul: Kreasi Wacana.
Berger, Arthur Asa, 2005, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer Suatu Pengantar Semiotika, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Danesi, Marcel, 2011, Pesan, Tanda, dan Makna Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra.
Reid, Anthony, 2011, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

8 komentar:

Anonim mengatakan...

Pempek, makanan yang nggak pernah terlewatkan saat mampir di Palembang. Rasanya akan beda nikmatnya saat di luar Palembang.
: )

Nita mengatakan...

iyaaa... beda pempeknya, apalagi cukanya... yg jelas suasanany jg bbeda. takkan bisa tgantikan... :)

mr.bedel mengatakan...

waktu pertma ane makan mpek2 terasa aneh, tapi setelah itu entah kenapa jadi ketagihan ahahahaha nais pos sista jadi laper ane *langsungberburumpek2
mampir juga ke artikel ane ya

black white mengatakan...

beee, sedep nian posting mbak nita ni, sesedep pempek. lengkap kap kap kap. pas, cak pempek becuko.hehe :p

Yudhy Syarofie mengatakan...

Yudhy Syarofie
Nita, tuliannya keren. Cuma, cerita rakyat yang dikutip itu "sesat", karena memang tak ada cerita rakyat yang demikian di Palembang. Entah siapa yang buat itu cerita. Apalagi, sampai dibuat tahun segala. Apa mungkin, cerita rakyat memakai tahun?
Benar, pempek merupakan perpaduan budaya Cina dan Palembang. Berkemungkinan, perpaduan itu muncul sekitar tahun 1500-an. Cina membawa bakso. Kata "bak" itu berarti babi, yang jelas dipandang haram oleh rakyat Palembang yang mayoritas muslim.Karenanya, wong Plembang kemudian mengganti "bak" itu dengan daging lain.
Pertanyaannya, mengapa bukan sapi, ayam, atau kerbau? Di sinilah menariknya proses kreativitas. Palembang bukan daerah peternakan (sai-kerbau), karena posisinya berada di tepian sungai, yang kental pula budaya tepian air (riverine culture). Dipakailah ikan sebagai pengganti daging "bak".
Soal tapioka, maaf, di Palembang pengertiannya berbeda. Tapioka adalah prosuk turunan dari singkong atau ubi kayu. Sedangkan sagu, berasal dari tanaman sagu 9sebagaimana dikenal di Maluku dan Papua). Pada masa lalu (hingga tahun 1950-an), Palembang memiliki kawasan tanaman sagu. Tempat itu juga menjadi lokasi pemngolahan tepung sagu dari pati pohon sagu. Kawasan itu, hingga sekarang masih dikenal sebagai "Pesaguan", merujuk kepada guguk miji dan alingan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam untuk kelompok rakyat bawahan yang memiliki keterampilan khusus (membuat sagu). Lokasinya, saat ini berada di sebelah "laut" Lrg. Taman Bacaan, 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II.
Terima kasih.

Unknown mengatakan...

pempek setiap pulang kuliah pasti nyantap pempek kapal selam,,, mantap Palembang Punya...

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Selain kulinernya yang ajib ,,Info pariwisata indonesia Tempat Pariwisata Indoensia
Tujuan Pariwisata di Indonesia Wisata Kuliner wisata kuliner dan budaya di Indonesia
Berita Pariwisata di Indonesia

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...