Senin, Mei 13, 2013

Wisata Sejarah ke Bukit Siguntang

Seumur-umur hidup di Palembang, baru hari Minggu kemarin, 12 Mei 2013, aku menyempatkan diri berkunjung ke Bukit Siguntang yang masuk dalam Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang bersama Fafa dan Ria. Sejak menuntaskan penulisan tesis yang mengangkat tentang kebudayaan Palembang, Bukit Siguntang menjadi salah satu bahasan yang sedikit disentil ketika harus mengulas tentang sejarah Kerajaan Sriwijaya yang berjaya pada kurun abad ke-6 hingga 13 masehi. Alhasil, ada selintas angan untuk bisa mengunjungi seluruh tempat wisata yang ada di Kota Palembang.

Ketika datang, di halaman depan ternyata sedang ada prosesi Penutupan Festival Barongsai. Sayang, hanya sempat melihat atraksi barongsainya sebentar lalu pertunjukan usai, dan dilanjutkan dengan pengumuman para pemenang lomba barongsai. Alhasil, kami pun memutuskan untuk langsung masuk ke dalam Obyek Wisata Situs Arkeologi Bukit Siguntang Kota Palembang itu. Usai membayar tiket sebesar Rp 6.000,- untuk semuanya, kami pun mulai menikmati sekaligus mengamati bukit yang memiliki luas 12,5 hektar dan tinggi 27 meter dari permukaan laut itu.

(Berfoto dengan latar patung bambu kuning, gerbang,
tangga masuk, situs utama, dan tulisan Festival Barongsai)
Ketika masuk kita akan disambut dengan 2 papan informasi yang masing-masing memuat tentang map atau peta berbagai situs di Bukit Siguntang dan tentang keterangan singkat mengenai bukit yang diibaratkan sebagai potongan Gunung Mahameru dalam kepercayaan Hindu-Buddha yang dianggap suci karena menjadi habitat cikal bakal orang-orang Melayu. Salah saya sih, gak ikutan baca secara detil informasi itu, jadinya pas mau nulis ini baru ngubek-ngubek google untuk tahu lebih dalam mengenai kawasan yang pada tahun 1920 lalu ditemukan arca Budha bergaya Amarawati setinggi 277 cm di sini. Selain arca, di sekitar kawasan ini juga ditemukan dua fragmen prasasti batu yang ditulis dalam aksara Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno, yakni Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 682 dan Prasasti Talang Tuo yang berangka tahun 684.

Situs pertama yang menarik perhatian saya adalah sebuah patung bambu kuning. Sempet mikir juga, apa hubungannya patung yang bawahnya dibuat kolam ini dengan Bukit Siguntang? Baru kemudian agak ngeh, karena ternyata Bukit Siguntang ini merupakan kompleks pemakaman raja-raja Melayu. Terdapat tujuh makam di bukit ini, yaitu makam:
Raja Sigentar Alam
Pangeran Raja Batu Api
Putri Kembang Dadar
Putri Rambut Selako
Panglima Tuan Junjungan
Panglima Bagus Kuning
Panglima Bagus Karang

Nah, mungkin bambu kuning itu sendiri erat kaitannya dengan Panglima Bagus Kuning. Kan sama-sama kuning tuh? Ah, maksa yaa? Hihi.. Cuma kalo dicari-cari lagi, kaitan bambu kuning dan Bukit Siguntang, adanya malah info menarik tentang Adityawarman atau Arya Damar, bahwa Bukit Siguntang diyakini sebagai tempat disimpannya salah satu senjata andalannya, yaitu pecut yang selalu dibawa dalam setiap pertempuran yang dilaluinya. Dikutip dari tulisannya Lanang Dawan (2009), bahwa pada hari-hari tertentu paranormal banyak berdatangan untuk memohon berkah dan berkeinginan memiliki senjata tersebut ke Bukit Siguntang. Namun untuk memilikinya bukan hal yang mudah karena dibutuhkan syarat-syarat tertentu dan orang tersebut harus keturunan langsung dari Adityawarman. Nah, adapun pecut itu secara kasat mata tidak kelihatan namun bagi orang-orang yang memiliki tingkat ilmu kebatinan tinggi pecut tersebut berwarna keemasan dan melingkar ditopang oleh dua buah penyangga bambu kuning. Pecut itu terakhir kali dipegang oleh Kyai Jambe Pule yang menjadi raja di Kerajaan Badung, Bali dan setelah beliau wafat pecut tersebut kembali lagi ke asalnya, yaitu Bukit Siguntang. Nah, mungkin itu tuh kaitannya. Hee..

(Kompak merah-merah dengan Fafa)
Menapaki anak tangga yang rapi hingga ke puncaknya, kita memang akan menemukan situs utama obyek wisata ini, kompleks pemakaman yang dari sana akan tercium bau khas kemenyan, mawar, dan pandan. Agak mistis jadinya kalau udah begitu. Namun, juga ada bangunan-bangunan khas Buddhisme yang tampaknya menceritakan tentang sejarah bahwa Bukit Siguntang merupakan tempat belajar tentang agama Buddha sebelum ke India. Hal ini sebagaimana catatan perjalanan pendeta China I Tsing tahun 671 dan 695 yang menyinggahi Sriwijaya menyebutkan bahwa bukit ini pernah menjadi semacam padepokan pusat pendidikan agama Buddha. Pada abad ke-9 bahkan tercatat ada 1.000 pendeta Buddha berguru pada Maha Guru Suvarnadvipa Dharmakirti. Jadi... Setidaknya ada dua kurun era berbeda yang sama-sama menggunakan Bukit Siguntang menjadi tempat yang sakral, yakni era Kerajaan Sriwijaya yang didirikan oleh Dapunta Hyang Srijayanasa dan era Kerajaan Palembang yang dipimpin oleh Parameswara, adipati di bawah Kerajaan Majapahit.

Dari beberapa bacaan, Parameswara ini sendiri diyakini sebagai Sang Sapurba yang dipercaya sebagai keturunan Raja Agung dari Macedonia: Iskandar Zulkarnain dengan merujuk ke kitab Sulalatus Salatin (kronik silsilah raja-raja Melayu berabjad Jawi yang ditulis abad ke-16). Sekitar tahun 1511, Parameswara memisahkan diri dari Majapahit sehingga pergi dari Palembang ke Malaka dan mendirikan Kerajaan Malaka. Lalu, tahun 1554 muncullah Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ing Suro, seorang pelarian Kerajaan Pajang, Jawa Tengah. Kerajaan ini juga mengeramatkan Bukit Siguntang dengan mengubur jenazah Panglima Bagus Kuning dan Panglima Bagus Karang. Kedua tokoh itu berjasa memimpin pasukan kerajaan saat menundukkan pasukan Kesultanan Banten yang menyerang Palembang. Sultan Banten, yakni Sultan Hasanuddin, tewas dalam pertempuran sengit itu. Tetapi, ada juga versi sejarah yang menyebutkan, makam Bagus Kuning yang sebenarnya justru ada di kawasan Bagus Kuning, Plaju, Palembang.

Well, tampaknya kalau ingin lebih memastikan berbagai macam silang pendapat mengenai sejarah ini sendiri perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Yah, perluuuu sekali! Banyak hal kiranya yang perlu dikaji lebih dalam, baik tentang Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Palembang, Parameswara, atau tentang kebenaran para tokoh yang dimakamkan di Bukit Siguntang, dan lain-lain. Jadi harapannya, situs-situs yang ada di Kota Palembang tidak hanya digunakan sebagai latar belakang foto para pengunjungnya (hihi.. padahal awalnya juga begitu..), namun juga menjadi sarana pemahaman sejarah yang sekaligus berdampak pada pelekatan identitas bangsa. Yah, karena siapa lagi yang patut menggali sejarah negeri ini kalau bukan kita sendiri? Bener gak? Ayo, lanjutkan!!! :)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...