Oleh: Sumarni Bayu Anita, S.Sos
Anda yang tadi memberikan sosialisasi di SMA ... kan?
Benar.
Anda yang tadi membicarakan tentang .... (sebuah institusi sekolah tinggi kedinasan) di sosialisasi tersebut?
Benar.
Saya mewakili Forum Alumni ... menyatakan tidak senang atas pembicaraan Anda tentang institusi kami? Kenapa Anda harus cerita hal tersebut di depan publik dengan menyebutkan nama institusi kami?
Lho???
Ini sebuah kejadian nyata. Baru saja terjadi, mungkin sekitar 9 jam lalu sampai kemudian saya membuat tulisan ini. Begitu jarangnya hal-hal seperti ini terjadi dalam hidup saya hingga membuat saya mendadak insomnia dan memutuskan untuk menulis saja.
Saya bekerja sebagai marketing di sebuah institusi bimbingan belajar. Hal ini membuat saya banyak mengunjungi sekolah-sekolah untuk memberikan sosialisasi atau dalam bahasa kami menyebutnya ”motivasi” agar adik-adik di sekolah tersebut melakukan hal lebih dalam belajar sehingga apa yang mereka cita-citakan di dunia pendidikan dapat kami bantu mewujudkannya. Sekolah yang saya kunjungi tak hanya di wilayah Kota Palembang, namun juga di beberapa kabupaten/kotamadya yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Adapun kejadian ini terjadi di salah satu kabupaten/kotamadya tersebut ketika kami tengah melakukan road motivation untuk sebuah program intensif yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.
Saya juga merupakan alumni dari salah satu sekolah unggulan di Kota Palembang. Dan ketika saya mengunjungi sekolah unggulan di salah satu kabupaten/kotamadya tersebut saya sempat merasakan ’dejavu’ karena suasana sekolahnya sangat mirip dengan sekolah saya dulu. Terlebih pimpinan sekolah tersebut adalah juga mantan guru saya di sekolah unggulan di Kota Palembang. Pertama kali berjumpa dengan mantan bapak guru saya itu pun, saya disapanya dengan sebuah kenangan yang hampir dapat saya lupakan. Sebuah kejadian yang begitu membekas sehingga kalau saya ceritakan kepada orang lain seringkali menimbulkan efek keterkejutan: kok bisa?
Kedekatan dengan pimpinan sekolah itu juga membawa suasana dalam diri saya bahwa seolah-olah saya bagian dari sekolah tersebut. Saya merasa adik-adik yang sekolah di sana adalah adik tingkat saya yang wajib saya berikan pengarahan yang terbaik yang bisa saya lakukan. Termasuk ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan seputar program dan pengalaman pribadi saya sendiri. Salah satunya, yakni pertanyaan tentang apakah saya masuk universitas yang saya pilih karena lulus SNMPTN atau tidak?
Lalu, cerita pun mengalir. Bahwa, saya memang masuk universitas ternama di Yogyakarta setelah saya tahu bila saya tidak lulus SNMPTN (dulu namanya SPMB). Saya kemudian memilih ikut tes D3 yang memang dilaksanakan pasca pengumuman SNMPTN dan lulus. Saya menyamakan diri masuk ke golongan S1 dengan melanjutkan kuliah di sebuah universitas negeri di Solo. Dan, saya juga patut bersyukur bila keduanya saya akhiri dengan IPK di atas angka 3,6. Saya hanya ingin membuktikan bila tidak semua yang tidak lulus SPMB itu bodoh. Di antara mereka, seperti halnya saya, harus menelan pil pahit tidak lulus SPMB karena kurang siap menghadapi ujian di hari H. Saya berharap pengalaman ketidaksiapan saya, tidak terjadi pada adik-adik yang ada di kelas itu. Mereka bisa segera memutuskan untuk ikut program bimbingan belajar agar bisa mempersiapkan diri menghadapi SNMPTN jauh lebih baik.
Faktor ketidaksiapan saya sebenarnya terjadi karena saya benar-benar tidak melakukan persiapan apa-apa untuk ikut tes SPMB. Menjelang kelulusan, saya terfokus untuk masuk di sebuah sekolah tinggi kedinasan yang ada di pulau Jawa. Mungkin karena saya benar-benar menginginkannya, atau juga mungkin karena almarhum bapak saya yang berjiwa militer yang benar-benar menginginkan saya untuk masuk ke sana. Yang jelas, saya cukup disibukkan dengan kegiatan melengkapi berkas-berkas agar bisa lulus administrasi sekolah tinggi kedinasan tersebut.
Kelengkapan administrasi ternyata bisa dilalui. Begitu pun dengan tes akademik, saya juga lulus. Kemudian tiba di tes selanjutnya, yakni tes kesehatan. Di sinilah, saya kemudian melakukan pilihan hidup yang mungkin sampai detik ini benar-benar memberikan kekuatan bagi saya bahwa sayalah yang memegang kendali atas hidup yang ingin saya jalani. Di tes kesehatan yang dilakukan di salah satu rumah sakit milik institusi militer ini kami harus mengikuti serangkaian tes yang mungkin akan menjadi acuan apakah kami layak untuk ikut tes selanjutnya ataukah terhenti sampai di situ. Dalam satu hari itu, saya dengan ratusan peserta tes lainnya harus melakukan tes kesehatan mata, gigi, jantung, tinggi dan berat badan, dan yang terakhir, tes keperawanan.
Mungkin ada tes kesehatan yang lain, tapi bagi saya, tes keperawanan adalah tes terakhir yang saya tahu ada. Hal ini karena ketika saya dipanggil untuk masuk ke ruang tes, saya kemudian dengan suara jelas kepada pak dokter yang juga memiliki jabatan rangkap di institusi militer tersebut menyatakan diri untuk tidak mengikuti tes sehingga saya langsung dinyatakan gugur. Masih kuat dalam benak saya kenangan hari itu, ketika saya awalnya sembunyi di samping gedung agar pura-pura ketika nama saya dipanggil, saya tidak mendengarnya. Tapi akhirnya, saya memutuskan untuk tetap masuk ke ruangan bersama 4 peserta tes wanita lainnya ketika nama saya benar-benar dipanggil. Ketika yang lainnya sudah bersiap-siap untuk diperiksa, saya masih tetap berpakaian lengkap bahkan dengan jilbab yang saya kenakan. Akhirnya, ketika nama sayapun dipanggil lagi untuk naik ke meja periksa, dari ruang tunggu saya malah masuk untuk duduk di hadapan meja dokter dan menyatakan bahwa saya tidak mau mengikuti tes keperawanan. Saya juga masih ingat pernyataan saya sesudahnya, bila saya percaya, ada jalan hidup lain yang juga baik bahkan akan lebih baik yang akan saya jalani. Tidak ada wajah marah di dokter itu, dia hanya menyodorkan formulir data saya yang harus saya isi dengan pernyataan bahwa saya mengundurkan diri dari tes dan langsung dinyatakan gugur. Sempat terbersit wajah almarhum bapak saya yang masih ada ketika itu, namun segera saya hapus, dan langsung menandatangani formulir itu.
Cerita ini cukup lama saya pendam. Bahkan tidak saya ceritakan kepada almarhum bapak saya. Namun, saya memang cerita dengan orang-orang yang dekat dengan saya walau tak banyak. Saya bahkan sempat terkejut ketika mantan guru saya yang setelah 8 tahun tidak bertemu, justru yang pertama kali ia ingat tentang saya adalah kisah itu. Apakah saya dulu juga sempat menceritakan kepada beliau atau beliau tahu dari orang lain, jujur saya lupa. Bahkan, ketika kemarin, saya tanya, kok bapak tahu? Ia bahkan mengucapkan kalimat yang saya merasa pernah mengucapkannya, bahwa tes keperawanan itu tidak mau saya lakukan karena saya ingin mempersembahkannya pertama kali untuk suami saya tercinta.
Ya, karena cerita lama ini tiba-tiba teringat kembali. Maka, ketika tengah melakukan sosialisasi di salah satu kelas 12 di sekolah tersebut saya kembali menceritakan alasan kenapa saya tidak lulus SPMB. Inti cerita adalah tentang pilihan hidup saya untuk tidak mau melakukan salah satu tes yang ada dan hal itu langsung membuat saya gugur dari harapan saya untuk melanjutkan sekolah di sekolah tinggi kedinasan yang saya inginkan. Namun, saya tidak pernah menyesal dengan keputusan saya. Meski agak berliku, namun saya mensyukuri segenap perjalanan hidup yang telah saya lalui. Bagi saya, semuanya begitu indah, layaknya sebuah syair di lagu sebuah grup band kenamaan Indonesia, yah... hidup ini indah....
Namun lucunya, selang 6 jam saya sosialisasi di kelas itu, ada telepon dari nomor tak dikenal masuk ke hp saya dan menyatakan sebagai perwakilan dari forum alumni institusi yang tidak jadi saya masuki itu. Usai bertanya seperti rangkaian kalimat yang saya tulis di awal, nada suara laki-laki itu langsung keras dan mengintimidasi seolah saya telah melakukan kesalahan tingkat tinggi. Laki-laki yang tidak mau menyebutkan nama ketika saya tanya itu menganggap bahwa saya dengan sengaja menyebutkan nama almamaternya dan menjelek-jelekkan almamaternya tersebut di depan publik. Meski kemudian saya jelaskan padanya bahwa yang saya ceritakan adalah pengalaman pribadi saya sendiri yang tidak bersedia mengikuti tes keperawanan, ia malah kembali marah-marah sembari berkata bahwa itu adalah hal biasa yang harus dilakukan oleh para peserta tes sekolah tinggi kedinasan. ”Memangnya Anda tidak tahu ada tes keperawanan? Seluruh sekolah tinggi kedinasan melakukannya!” Lugas saya jawab, saya memang tidak tahu sebelumnya. Saya baru tahu di hari saya mengikuti tes kesehatan itu. Ujung-ujungnya, saya dipaksa berjanji untuk tidak lagi menceritakan pengalaman pribadi saya itu kepada orang lain.
Entah berapa kali saya sudah menghembuskan nafas panjang sembari geleng-geleng kepala sendiri. Saya menganggap ini lucu karena saya merasa tidak melakukan yang ia tuduhkan kepada saya. Sampai detik ini saya tidak tahu siapa orang yang telah selama 7 menit itu berteriak-teriak di hp saya dan menyebabkan saya tidak bisa tidur sekarang. Namun, karena itu juga saya jadi bisa menuliskan ini untuk berbagi kisah dengan yang lain. Kisah ini adalah bentuk protes saya tentang adanya tes keperawanan yang saya anggap tidak ada relevansinya sama sekali untuk sekedar melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi meski dengan embel-embel kedinasan. Apa relevansinya tes keperawanan di rangkaian tes kesehatan untuk alih-alih sebagai persyaratan masuk ke sekolah tinggi kedinasan dengan dunia pendidikan yang akan gadis itu jalani nantinya?
Dan kisah ini juga sebagai bentuk respon saya atas intimidasi yang telah saya terima dari orang yang hipersensitif jikalau institusinya dijadikan bahan cerita bahkan meski inti cerita sesungguhnya bukan tentang institusinya. Apakah sebuah cerita yang bahkan telah hampir 8 tahun berlalu masih dirasa sebagai sebuah ancaman yang akan memperburuk citra institusinya? Yah, karena tanpa harus saya ceritakan pun semua orang sesungguhnya pasti sudah bisa menilai sendiri tentang bagaimana citra institusinya itu saat ini.
14 Januari 2010, pukul 04:15 WIB
Catatan: Lokasi dan nama-nama institusi sengaja tidak disebutkan untuk menghindari telepon intimidasi lanjutan.
6 komentar:
halo... selamat bkunjung di blog saya... mempersembahkan kepada suami, maksudnya, ya, dia yg pertama kali yg berhak melihat saya tanpa busana... saya ngerti kok, tes keperawanan gak mbuat keperawanan kita hilang. :) iya... maksud tulisan saya juga begitu. klo bisa g usah ada tes keperawanan sama sekali, karena g ad relevansinya dg pendidikan yg akan gadis itu tempuh. klo emang harus ada, sebaiknya dokternya dsesuaikan dg siapa yg mo diperiksa. klo wanita ya wanita juga...
kalo aku di posisi mbak mungkin akan ngelakuin hal yg sama.
kecuali kl yg tes cewek masih okelah y. tapi kalo cowok?? nooo.
kmrn aja tes ambeien dan yg tes cewek jg udah trauma.hihi
sad story. Hanya satu kata, "LAWAN"!
emon: iyo, itulah masalahnyo. ak nulis in jg krn ad kawan cewek yg terpaksa ikut tes ini merasa sangat dak enak hati setelahnya. akhirnyo dak lulus jg. smp skrg klo ktemu lg dg kawan it dio lgs bilang, "Sudah, jgn diungkit2 lg..."
unggul: LAWAN!!! :D
Tes keperawanan tuh baju atas juga dibuka teh? Apa celana aja, kok rada risih gitu ya harus diliatin depan orang
Posting Komentar