Jubaku merupakan film produksi negara Jepang yang sarat dengan nilai khas Jepang yang keras, santun, dan berani. Diceritakan bahwa pada tahun 1997 telah terjadi korupsi besar-besaran, hingga 30 milyar yen, di dalam tubuh perbankan Jepang, khususnya Bank Sentral Asahi (ACB), akibat pemerasan yang dilakukan oleh Sokaiya. Sokaiya sebenarnya merupakan perusahaan penerbitan yang menyediakan berbagai media dan jasa publikasi seperti majalah, koran serta badan periklanan. T.K. adalah pimpinan gembong pemeras Sokaiya, dan kaki tangannya, Odajima adalah Direktur Penerbit Sokaiya. Sejak UU 1982 Anti Pemerasan, penampakan Sokaiya kian berkurang. Tapi sebenarnya Sokaiya melakukan kegiatan bawah tanah. Dr. Albert Meadows, seorang Antropolog mengatakan, “Di tahun 1920, gembong Sokaiya menamakan diri mereka Banzai. Nama ini diambil dari kebiasaan berteriak ‘Banzai’ saat pesta. Saat ini, gerakan mereka kian berkembang secara diam-diam, dan semakin berani melebarkan sayap.”
Korupsi yang sangat merugikan sejak bertahun-tahun lalu itu, baru kini berani diselidiki oleh jaksa karena dianggap hal seperti itu sangat mengerikan dan belum pernah diekspos di Jepang. Para jaksa dari Kantor Penuntut Umum terus maju dengan berani, meski ada pertentangan internal dan mungkin juga akan menimbulkan kehancuran finansial bagi Jepang. Jaksa pun menyelidiki ACB atas berbagai pinjaman ke Sokaiya. Diasumsikan bahwa ACB dikelola oleh tiran dengan memberikan pinjaman tak terbatas. ACB menyalahgunakan prosedur seleksi dan tidak memfungsikan secara benar para regulatornya sehingga selalu memperpanjang waktu pembayaran atau bahkan melakukan penghapusan pinjaman. Kejaksaan menganggap peristiwa ini merupakan aksi pembersihan bidak “Jubaku”, dan Sokaiya adalah bidak menterinya.
Gejolak di tubuh ACB pun terjadi. Adanya perdebatan antara masalah hukum dan moral sebagai bankir digulirkan dalam rapat pertama sejak skandal ACB itu tersingkap. Para manager menengah ACB, seperti Kitano, Matsubara, Katayama dan Ishii sangat mengecam terjadinya penggelapan pinjaman Sokaiya tersebut. Hingga pada suatu ketika, para jaksa penyidik menyerbu ACB untuk menggeledah seluruh gedung karena ACB dituduh telah melanggar UU Niaga, situasi genting di ACB pun dimulai. Ketegangan terjadi di semua lapisan elemen di ACB, mulai dari atas (CEO, Dewan, Direktur), menengah (Kepala Departemen, Manager Menengah), hingga bawah (karyawan).
Hebatnya, usaha para eksekutif ACB untuk mengatasi krisis tersebut berlangsung cepat. Hanya dalam hitungan jam, mereka kemudian melakukan konferensi pers untuk melakukan aksi minta maaf, dan mengumumkan pergantian jajaran tertinggi ACB, yakni Imai dan Sakamoto menjadi Yoshino dan Ota. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa pergantian itu saja tidak cukup. Diyakini hanya dengan pemberontakan di dalam, yakni para manager menengah, yang bisa menyelamatkan ACB. Mereka harus mengambil alih kekuasaan dari atasan yang sejak awal menyetujui pelanggaran. Terlebih tak lama dari itu, para atasan ACB pun ditangkap, kecuali Sasaki yang bisa menghindar dengan alasan sakit.
Mengatasi semua krisis itu, sekelompok manager menengah kemudian bekerjasama dengan para pengacara melakukan penyidikan internal untuk menyingkap kebenaran dan membuang praktek bisnis tak etis di ACB. Hingga akhirnya permasalahan pun menjadi jelas, setelah sebelumnya Konsultan Eksekutif ACB, Takashi Hisayama melakukan harakiri di kantornya dan memberikan surat terakhir kepada Kitano. Di dalam surat tersebut terungkap bahwa Mantan CEO, Sasaki, yang juga mertua Kitano, meminta Kawakami untuk membantunya menjadi bankir terbaik tahun itu. Sebagai imbalan Sasaki akan menyetujui pinjaman kepada Sokaiya. Rinciannya ada di dalam surat. Di sana tertulis surat Sasaki kepada Kawakami tertanggal 18 Oktober 1993. Odajima membuat salinannya dan mengirim ke Ketua Hisayama. Hal ini merupakan fakta bahwa Sasaki telah melakukan tindakan kolusi dengan pemeras Sokaiya.
Satu persatu langkah penyelesaian permasalahan dapat dilakukan oleh jajaran baru ACB dengan menunjukan sikap kerja yang totalitas dan bertanggung-jawab. Mulai dari pengunduran diri para dewan yang lama, dipilihnya CEO yang baru: Nakayama, pengeluaran surat pemutusan hubungan kerjasama dengan penerbitan Sokaiya, memprotes intereogasi pihak kejaksaan terhadap orang-orang ACB yang tak kunjung selesai, hingga sukses melaksanakan Rapat Tahunan Pemegang Saham ACB ke-35. Meski awalnya rapat berlangsung panas tapi setelah adanya ketulusan pendapat oleh salah satu pemegang saham asli yang mendukung keberadaan ACB, suasana pun menjadi dingin dan terkontrol kembali. Hal ini pun menjadi momentum awal bagi ACB untuk memulai kembali perbaikan dan pengembangan di dalam tubuh ACB menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.
Di lain pihak, pihak media pun, seperti Miho Wada dari Bloomberg Tokyo sukses menulis buku mengenai “Jubaku” tersebut. Departemen Kehakiman juga menyatakan perang dengan Departemen Keuangan: suap dan kolusi, yang mengakibatkan 112 pejabat Departemen Keuangan ditahan.
Iklim Kontrol di Film Jubaku
Kemitraan yang tak berorientasi keuntungan, dikembangkan untuk menunjukkan bahwa sebuah komunitas yang sedang hancur bisa diperbaiki – bukan secara fisik melainkan dalam semangatnya – dan bank bisa melahirkan sesuatu yang berbeda. Kemitraan seperti ini yang menjadi salah satu kegiatan yang dapat dilakukan Bank Sentral Asahi (ACB) untuk mengatasi masalah “Jubaku”.
Bila dilihat dari iklim kontrol (proses pendistribusian wewenang melalui komunikasi) yang terdapat 3 jenis, yakni :
a. Dehumanizing Climate
b. Happines for Lunch Bunch Climate
c. Open Climate
Maka, pada kasus ACB dalam film “Jubaku” iklim kontrolnya termasuk dalam jenis Open Climate karena sesuai dengan kriteria-kriteria, seperti tersebut di bawah ini :
1. Pegawai ACB didorong untuk mengerjakan pekerjaan dengan asistensi dari atasan.
2. Pegawai ACB berkomunikasi satu sama lain, juga pengawas mereka, dan melaporkan segala masalah ke pengawas.
3. Pekerja ACB sebagai bagian manajemen, diharapkan mengerjakan tugas dengan baik dan terbuka atas ide-ide baru dan perubahan yang terus terjadi.
Kemudian, bila dilihat dari 4 status (suatu posisi yang dimiliki secara sadar oleh seseorang dalam kelompok atau organisasi), yakni :
a. ↑ = Status Differential Increases
↓ = Communication Decreases
b. ↓ = Status Differential Decreases
↑ = Communication Increases
c. ↑ = Solidarity Increases
↓ = Status Differential Decreases
d. ↑ = Solidarity Increases
↑ = Communication Increases
Maka, dalam film “Jubaku” proses komunikasi yang terjadi pada ACB lebih banyak terjadi pada status b dan d. Awalnya yang b, yakni ↓ = Status Differential Decreases : ↑ = Communication Increases. Terlihat saat takutnya para manager menengah dan pengacara ketika melakukan penyidikan internal pada salah satu mantan CEO, Sasaki. Namun, cukup berani ketika dengan atasan yang lain, seperti Hisayama dan Ota. Kemudian status/situasi utama berubah menjadi d, yakni ↑ = Solidarity Increases : ↑ = Communication Increases saat para manajer menengah ACB yang berhasil melakukan kudeta hingga semua dewan yang lama tergantikan dengan yang baru, yakni Nakayama (CEO ACB).
(Note: Nih, tugasku di mata kuliah Internal Relations, D3 PR UGM, 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar