Suatu hari aku mengacaukan perasaanmu. Membiarkan tawa bersama orang lain, kau merasa tak berharga. Tak ada. Tak ada bantahan yang berarti, kuakui itu salahku. Maka, kuletakkan kepalaku di bahumu, kuingin kau merasakan aku adalah milikmu, memejamkan mataku, mendengarkan semua keluh kesahmu atas sikapku yang kau anggap tak perlu lagi terjadi. Tak mengacuhkan dirimu… Maafkan aku. Ucapku, entah bila itu masih dengan tatapan sinis. Ku tak sadar, nirwana. Masih kau berkata atas semua perhatian untuk hubungan ini. Aku memilih diam. Kau raja di hatiku. Detik itu, kuharap hingga detik erangan nyawa kan terbang dan jauh…
Suatu hari lagi, pada suatu perjalanan pulang ke Palembang, tanganku sengaja kuletakkan di atas pahamu. Detik selanjutnya, kau menggenggamnya. Menyakini keberadaanmu ada di sisiku. Tangan yang lain telah ada di bahuku, menyentuhnya. Mendekapnya. Kasih, andai hidup telah berubah, apakah rasa ingin “merasa” ini akan tetap sama?
Dan detik yang paling bertahta bagiku, adalah malam itu. Saat aku duduk di atas motor, tertawa, sesekali mencoba menatapmu. Usil…
Usai kau meminta kesediaanku agar membiarkan bibirmu menyentuh pipiku, kau terus mendesak jawaban dari kelinglunganku atas itu. Aku bingung. Bimbang, ragu, dan hasrat bercampur jadi satu. Hingga kukatakan “Ya!” saat matamu itu selaksa menghujam jiwakku. Aku takut, gugup. Memandang ke arah lain, bukan wajahmu. Aku tak berani. Hingga di hati ada teriak, “Cepat, cepat, cepat! Aku ingin ini segera berlalu!”
Hingga akhirnya terjadi, meski langsung berdiri, jiwaku tadi, kurasa, kurasa sempat mati. Tak bernyawa. Sentuhan itu, begitu indah. Sungguh, aku sangat menyukainya. Sangat mencintainya…
Perlahan. Lembut, dan hangat…
Indah. Aneh. Aku sangat menikmatinya. Ingin rasanya merasakan kembali. Ehm, mungkin di tempat lain. He he he!
Yah, namun di hari kemudian amarah pun kembali mewarnai. Begitulah, saat jiwa telah tenang, damai… tiba-tiba api pun tersulut kembali untuk membakar. Sekejap telah menghanguskan perasaan indahku. Aku merasa nista dan terbuang, beruntung hingga akhirnya masih bisa terselamatkan. Namun keindahan itu sayangnya telah berkurang. Aku lupa. Agak lupa…
Entah apa yang kini tengah ia pikirkan. Kangen? Kadang aku juga merasakan itu. Tapi sering juga kuhempaskan, takut terlalu merasa hingga saat perpisahan harus terjadi lagi, entah air mata apa yang akan kukeluarkan kali itu.
Dunia serasa berputar lambat. Cinta yang begitu bergairah. Tuhanku telah memberikan kesempatan manis ini tuk kunikmati. Terima kasih.
Aku memang membutuhkannya. Saat lelah memikirkan hidup, cinta itu membuatku lebih berarti untuk meraih hidup. Hidup takkan berarti tanpa cinta. Namun kebencian tak jarang mewarnai. Maafkan bila itu tertuju pada jiwa-jiwa yang renta. Aku takkan terlalu berharap pada bintang. Ia takkan jatuh sebelum terkikis. Takkan ada yang utuh untuk sebuah penantian yang semu. Kutahu, kuharus berbuat sesuatu. Mengejar cintaku!!!
Saat cinta telah dimiliki, akankah untuk selamanya? Semoga selalu satu. Demikian doaku di setiap helaan nafasku.
Kuingin selalu bersamamu… Making Love with U…
Yeah, tak ada yang terlewat dalam pikiranku. Aku manusia, semua dimengerti. Toh, masa kecilku pun telah lama berlalu.
Usiaku beranjak dewasa. Hingga saatnya nanti, kuingin kau…
Hanya kau… Tak mau yang lain…
(Nita/Mlangi, 19 Desember 2002)
1 komentar:
Yuk yang suka Taruhan Online Bisa Kunjungi kita di BandarVIP.com
Posting Komentar