Kasus plagiarisme ini tak urung mewarnai dunia pendidikan perguruan tinggi kita. Terfokus di Solo dan sekitarnya, hasil investigasi tim laput Majalah VISI menemukan pos-pos yang mempermudah timbulnya kasus plagiarisme. Baik kategori dilakukan secara mandiri maupun kolektif. Lalu, akankah kita diam saja melihat semua ini?
Ketika menyerahkan skripsi, secara efektif kamu telah mengungkapkan bahwa skripsi tersebut merupakan karya kamu. Kamu letakkan nama kamu di sana, dan kamu serahkan skripsi tersebut ke dosen pembimbing skripsi untuk dinilai dalam proses pendadaran. “Jika Anda menyerahkan karya orang lain seolah-olah merupakan karya Anda sendiri, inilah plagiarisme,” ungkap Jane Stokes.
Menurut Jane Stokes, penulis buku How To Do Media and Cultural Studies (2003), plagiarisme berarti menyalin, mengopi, dan ini merupakan bentuk kecurangan yang sama dengan mencuri. Maka ketika menyalin sebuah karya tanpa memberikan kredit/pengakuan bagi penulisnya, itu telah melanggar kode-kode akademis—kita tidak menghargai sebuah norma profesional yang melindungi karya-karya orang dari penyalahgunaan orang lain.
Puncaknya, plagiarisme skripsi dapat menyebabkan seseorang dikeluarkan dari universitas. Namun konsekuensi ini kadang tidak digubris oleh mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi, terlebih bila ia sudah terancam drop out (DO). “Kasus teman saya membantu temannya yang semester 14 belum mengajukan proposal skripsi. Akhirnya, malah teman saya itu kini membuka jasa membuatkan skripsi,” ujar Anhar Widodo, S.Sos, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Kamis (29/3).
Adapun dalam hasil liputan ini, proses plagiarisme digolongkan menjadi dua. Pertama plagiarisme mandiri, yang berarti aksi mengopi/menyalin tanpa menyebutkan sumber itu dilakukan seorang diri oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kedua, plagiarisme kolektif, mahasiswa tersebut melibatkan pihak lain dalam aksinya mengakui karya orang lain sebagai karyanya.
Plagiarisme Mandiri
Ketika ‘ketakutan’ penyelesaian sebuah skripsi terus menghantui, 1001 cara dilakukan mahasiswa dalam memperoleh contoh skripsi sebagai acuan. Lazimnya mahasiswa mencari sumber ide skripsi itu di perpustakaan. Eko Prasetyo, Senin (26/2), pengamat pendidikan yang juga penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah menyatakan, “Untuk mengatasi kasus plagiatan, mahasiswa harusnya disediakan ruang perpustakaan dan diberi ruang kebebasan untuk mendorong tema-tema praktis.”
Namun selama ini, dunia perpustakaan selalu diidentikkan sebagai tempat bagi orang-orang pintar. Tak pelak, masuk ke perpustakaan kebanyakan karena terpaksa bukan karena kegemaran. Terlebih di ruang khusus koleksi skripsi. “Saya tidak tahu kenapa sepi. Mungkin hanya mahasiswa yang akan mengerjakan skripsi yang datang ke sana. Mungkin juga masih banyak tempat lain yang dijadikan sumber pengetahuan tentang skripsi,” jelas Drs. Harmawan, M.Lib, Kepala UPT Perpustakaan UNS kepada VISI, Selasa (6/2).
Untuk koleksi, berdasarkan lembar Data Koleksi Bahan Pustaka UPT Perpustakaan UNS Tahun 1999 – 2006, jumlah jenis koleksi skripsi hard cover 7.604 judul dan jenis koleksi CD skripsi 1.376 judul. “Skripsi itu wajib dikumpulkan oleh mahasiswa ketika mengurus Surat Bebas Pustaka. Boleh memilih bentuk hard cover atau CD. Tapi, memang tidak semua skripsi yang masuk dapat diproses,” tutur Harmawan.
Kalau di UPT Perpustakaan UNS semua skripsi bisa dijadikan koleksi, tapi di perpustakaan FISIP UNS lain lagi. “Dulu koleksi skripsi yang nilainya 3 ke atas, tapi sekarang hanya yang 3,5 ke atas,” jelas Masriyatun, S.Sos, Kepala Perpustakaan FISIP UNS, Rabu (7/2). Selain yang memperoleh nilai 3,5 itu, kemana larinya skripsi-skripsi yang lain? “Di gudang pendidikan,” jawab Masriyatun singkat.
Untuk urusan fotokopi skripsi, tiap-tiap perpustakaan menerapkan kebijakan berbeda. Hasil investigasi VISI ke beberapa perpustakaan, mungkin Perpustakaan FISIP UNS yang paling longgar. “Mahasiswa bisa mencari sendiri skripsi yang mau difotokopi. Bahkan sejak kasus seringnya skripsi disobekin oleh oknum mahasiswa, pimpinan fakultas mengeluarkan kebijakan semua bab boleh difotokopi,” ungkap Masriyatun.
Lain halnya di perpustakaan Universitas Surakarta (UNSA). “Skripsi hanya boleh dibaca di tempat. Tidak boleh difotokopi apalagi dibawa pulang,” ujar Santoso, Kepala Perpustakaan UNSA, Senin (19/2). “Saya setuju kalau perpustakaan menjadi sarana mahasiswa untuk membuat skripsi tidak origininal. Karena perpustakaan kan tidak bisa menjamin orang yang memfotokopi skripsi tidak menulisnya ulang,” tutur Widodo.
Harmawan mengaku sangat miris kalau perpustakaan dianggap sebagai salah satu sumber plagiarisme mahasiswa. Terutama ketika dikatakan kelonggaran memfotokopi skripsi justru mempermudah terjadinya tindakan tak bermoral itu. “Itulah masalahnya. Padahal di luar negeri saja boleh seperti itu. Indonesia itu kadang-kadang over protektif. Perpustakaan diminta peraturan peminjaman atau pemfotokopian skripsinya diketatin. Ya, untuk apa penelitian, kok hasilnya gak boleh dibaca?” tutur Harmawan, ketika ditemui di ruang kerjanya.
“Saya tidak menyalahkan perpustakaan ketika terjadi plagiarisme. Tapi intinya, ketika ada usaha fotokopi, seharusnya perpustakaan ada lisensi untuk memberikan royalti kepada pembuatnya,” ujar Widodo lagi.
Pasar ‘Kue’ Skripsi
Selain lewat fotokopian skripsi dari perpustakaan, pos plagiarisme mandiri dapat ditemui di pasar skripsi, seperti di Pasar Sriwedari Solo atau di Shopping “Taman Pintar” Yogyakarta. Dua kawasan berkedok jual beli buku bacaan ini, ternyata juga memperdagangkan skripsi. Datangi saja, cukup banyak kios yang menyediakan skripsi dari berbagai judul dan perguruan tinggi. Skripsi-skripsi itu dihargai rata-rata Rp 55 – 70 ribu per buah. Jadi, kalau di perpustakaan kadang masih ada pembatasan halaman yang difotokopi, tapi di pasar ini mahasiswa dapat membeli sebuah skripsi secara utuh.
Bagi mahasiswa yang baru pertama kali mengunjungi pusat perbelanjaan karya ilmiah itu, biasanya akan mengalami tiga runtutan proses. Pertama, penjaga kios atau toko akan menanyakan kita butuh skripsi jurusan apa. Setelah target menyebutkan jurusan, mereka akan memberikan daftar judul skripsi koleksi mereka yang terpampang rapi dalam buku tulis atau bendel daftar judul skripsi.
Kedua, kita akan disuruh menunggu antara 5 – 15 menit karena biasanya koleksi skripsi itu tidak ditaruh di kios. “Saya ambilkan di rumah saya dulu ya, mbak. Boleh diliat dulu, kalau tidak cocok boleh batal,” ujar Mbak Yuli, pemilik TB Yuli A yang berlokasi di Komplek Taman Pintar No. 5 Yogyakarta, ketika VISI berpura-pura ingin melihat skripsi koleksinya, Sabtu (10/2).
Tahap ketiga, andaikan konsumen menyetujui membeli skripsi tersebut, kita kembali diminta menunggu 15 – 30 menit karena mereka harus memfotokopi dulu skripsi pesanan pembeli itu. Dinilai dari nilai uang harga fotokopi sebenarnya mungkin hanya menghabiskan dana sekitar 20.000 rupiah. Keuntungan dari bisnis kotor ini memang sangat menggiurkan. “Lumayan, mbak. Kalau memang secara hukum dilarang, saya pasti cari usaha lain,” tutur Mbak Yuli lagi.
Skripsi-skripsi yang dijual baik di Shopping Yogyakarta maupun Sriwedari Solo dipasok dari berbagai sumber. “Kadang kita sengaja mencari ke perpustakaan-perpustakaan, tapi ada juga orang yang datang sendiri ke sini menjual skripsi secara kiloan,” ujar Pak Beno—bukan nama sebenarnya, yang kiosnya berada di Lantai 2 Shopping Yogyakarta, Sabtu (10/2).
Di TB Yuli A, beberapa judul skripsi sempat VISI catat yang ikut dijual tanpa pemberian royalti bagi pembuatnya itu. Antara lain, Musik dan Realitas Sosial (Studi Deskriptif Tentang Lagu dan Pesan Kritik Sosial Iwan Fals Menurut Persepsi Khalayak) yang dibuat oleh Ade Setiawan (D120001), Ilmu Komunikasi FISIP UNS Tahun 2004. Juga ada, Surat Kabar dan Berita Kriminalitas (Studi Perbandingan Analisa Isi SKH Fajar dan Pedoman Rakyat Ujung Pandang Dalam Menyajikan Berita Kriminal Periode 1 Mei – 31 Juli 1999) yang dikeluarkan oleh UNS tahun 2000.
Ketika menyerahkan skripsi, secara efektif kamu telah mengungkapkan bahwa skripsi tersebut merupakan karya kamu. Kamu letakkan nama kamu di sana, dan kamu serahkan skripsi tersebut ke dosen pembimbing skripsi untuk dinilai dalam proses pendadaran. “Jika Anda menyerahkan karya orang lain seolah-olah merupakan karya Anda sendiri, inilah plagiarisme,” ungkap Jane Stokes.
Menurut Jane Stokes, penulis buku How To Do Media and Cultural Studies (2003), plagiarisme berarti menyalin, mengopi, dan ini merupakan bentuk kecurangan yang sama dengan mencuri. Maka ketika menyalin sebuah karya tanpa memberikan kredit/pengakuan bagi penulisnya, itu telah melanggar kode-kode akademis—kita tidak menghargai sebuah norma profesional yang melindungi karya-karya orang dari penyalahgunaan orang lain.
Puncaknya, plagiarisme skripsi dapat menyebabkan seseorang dikeluarkan dari universitas. Namun konsekuensi ini kadang tidak digubris oleh mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi, terlebih bila ia sudah terancam drop out (DO). “Kasus teman saya membantu temannya yang semester 14 belum mengajukan proposal skripsi. Akhirnya, malah teman saya itu kini membuka jasa membuatkan skripsi,” ujar Anhar Widodo, S.Sos, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Kamis (29/3).
Adapun dalam hasil liputan ini, proses plagiarisme digolongkan menjadi dua. Pertama plagiarisme mandiri, yang berarti aksi mengopi/menyalin tanpa menyebutkan sumber itu dilakukan seorang diri oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kedua, plagiarisme kolektif, mahasiswa tersebut melibatkan pihak lain dalam aksinya mengakui karya orang lain sebagai karyanya.
Plagiarisme Mandiri
Ketika ‘ketakutan’ penyelesaian sebuah skripsi terus menghantui, 1001 cara dilakukan mahasiswa dalam memperoleh contoh skripsi sebagai acuan. Lazimnya mahasiswa mencari sumber ide skripsi itu di perpustakaan. Eko Prasetyo, Senin (26/2), pengamat pendidikan yang juga penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah menyatakan, “Untuk mengatasi kasus plagiatan, mahasiswa harusnya disediakan ruang perpustakaan dan diberi ruang kebebasan untuk mendorong tema-tema praktis.”
Namun selama ini, dunia perpustakaan selalu diidentikkan sebagai tempat bagi orang-orang pintar. Tak pelak, masuk ke perpustakaan kebanyakan karena terpaksa bukan karena kegemaran. Terlebih di ruang khusus koleksi skripsi. “Saya tidak tahu kenapa sepi. Mungkin hanya mahasiswa yang akan mengerjakan skripsi yang datang ke sana. Mungkin juga masih banyak tempat lain yang dijadikan sumber pengetahuan tentang skripsi,” jelas Drs. Harmawan, M.Lib, Kepala UPT Perpustakaan UNS kepada VISI, Selasa (6/2).
Untuk koleksi, berdasarkan lembar Data Koleksi Bahan Pustaka UPT Perpustakaan UNS Tahun 1999 – 2006, jumlah jenis koleksi skripsi hard cover 7.604 judul dan jenis koleksi CD skripsi 1.376 judul. “Skripsi itu wajib dikumpulkan oleh mahasiswa ketika mengurus Surat Bebas Pustaka. Boleh memilih bentuk hard cover atau CD. Tapi, memang tidak semua skripsi yang masuk dapat diproses,” tutur Harmawan.
Kalau di UPT Perpustakaan UNS semua skripsi bisa dijadikan koleksi, tapi di perpustakaan FISIP UNS lain lagi. “Dulu koleksi skripsi yang nilainya 3 ke atas, tapi sekarang hanya yang 3,5 ke atas,” jelas Masriyatun, S.Sos, Kepala Perpustakaan FISIP UNS, Rabu (7/2). Selain yang memperoleh nilai 3,5 itu, kemana larinya skripsi-skripsi yang lain? “Di gudang pendidikan,” jawab Masriyatun singkat.
Untuk urusan fotokopi skripsi, tiap-tiap perpustakaan menerapkan kebijakan berbeda. Hasil investigasi VISI ke beberapa perpustakaan, mungkin Perpustakaan FISIP UNS yang paling longgar. “Mahasiswa bisa mencari sendiri skripsi yang mau difotokopi. Bahkan sejak kasus seringnya skripsi disobekin oleh oknum mahasiswa, pimpinan fakultas mengeluarkan kebijakan semua bab boleh difotokopi,” ungkap Masriyatun.
Lain halnya di perpustakaan Universitas Surakarta (UNSA). “Skripsi hanya boleh dibaca di tempat. Tidak boleh difotokopi apalagi dibawa pulang,” ujar Santoso, Kepala Perpustakaan UNSA, Senin (19/2). “Saya setuju kalau perpustakaan menjadi sarana mahasiswa untuk membuat skripsi tidak origininal. Karena perpustakaan kan tidak bisa menjamin orang yang memfotokopi skripsi tidak menulisnya ulang,” tutur Widodo.
Harmawan mengaku sangat miris kalau perpustakaan dianggap sebagai salah satu sumber plagiarisme mahasiswa. Terutama ketika dikatakan kelonggaran memfotokopi skripsi justru mempermudah terjadinya tindakan tak bermoral itu. “Itulah masalahnya. Padahal di luar negeri saja boleh seperti itu. Indonesia itu kadang-kadang over protektif. Perpustakaan diminta peraturan peminjaman atau pemfotokopian skripsinya diketatin. Ya, untuk apa penelitian, kok hasilnya gak boleh dibaca?” tutur Harmawan, ketika ditemui di ruang kerjanya.
“Saya tidak menyalahkan perpustakaan ketika terjadi plagiarisme. Tapi intinya, ketika ada usaha fotokopi, seharusnya perpustakaan ada lisensi untuk memberikan royalti kepada pembuatnya,” ujar Widodo lagi.
Pasar ‘Kue’ Skripsi
Selain lewat fotokopian skripsi dari perpustakaan, pos plagiarisme mandiri dapat ditemui di pasar skripsi, seperti di Pasar Sriwedari Solo atau di Shopping “Taman Pintar” Yogyakarta. Dua kawasan berkedok jual beli buku bacaan ini, ternyata juga memperdagangkan skripsi. Datangi saja, cukup banyak kios yang menyediakan skripsi dari berbagai judul dan perguruan tinggi. Skripsi-skripsi itu dihargai rata-rata Rp 55 – 70 ribu per buah. Jadi, kalau di perpustakaan kadang masih ada pembatasan halaman yang difotokopi, tapi di pasar ini mahasiswa dapat membeli sebuah skripsi secara utuh.
Bagi mahasiswa yang baru pertama kali mengunjungi pusat perbelanjaan karya ilmiah itu, biasanya akan mengalami tiga runtutan proses. Pertama, penjaga kios atau toko akan menanyakan kita butuh skripsi jurusan apa. Setelah target menyebutkan jurusan, mereka akan memberikan daftar judul skripsi koleksi mereka yang terpampang rapi dalam buku tulis atau bendel daftar judul skripsi.
Kedua, kita akan disuruh menunggu antara 5 – 15 menit karena biasanya koleksi skripsi itu tidak ditaruh di kios. “Saya ambilkan di rumah saya dulu ya, mbak. Boleh diliat dulu, kalau tidak cocok boleh batal,” ujar Mbak Yuli, pemilik TB Yuli A yang berlokasi di Komplek Taman Pintar No. 5 Yogyakarta, ketika VISI berpura-pura ingin melihat skripsi koleksinya, Sabtu (10/2).
Tahap ketiga, andaikan konsumen menyetujui membeli skripsi tersebut, kita kembali diminta menunggu 15 – 30 menit karena mereka harus memfotokopi dulu skripsi pesanan pembeli itu. Dinilai dari nilai uang harga fotokopi sebenarnya mungkin hanya menghabiskan dana sekitar 20.000 rupiah. Keuntungan dari bisnis kotor ini memang sangat menggiurkan. “Lumayan, mbak. Kalau memang secara hukum dilarang, saya pasti cari usaha lain,” tutur Mbak Yuli lagi.
Skripsi-skripsi yang dijual baik di Shopping Yogyakarta maupun Sriwedari Solo dipasok dari berbagai sumber. “Kadang kita sengaja mencari ke perpustakaan-perpustakaan, tapi ada juga orang yang datang sendiri ke sini menjual skripsi secara kiloan,” ujar Pak Beno—bukan nama sebenarnya, yang kiosnya berada di Lantai 2 Shopping Yogyakarta, Sabtu (10/2).
Di TB Yuli A, beberapa judul skripsi sempat VISI catat yang ikut dijual tanpa pemberian royalti bagi pembuatnya itu. Antara lain, Musik dan Realitas Sosial (Studi Deskriptif Tentang Lagu dan Pesan Kritik Sosial Iwan Fals Menurut Persepsi Khalayak) yang dibuat oleh Ade Setiawan (D120001), Ilmu Komunikasi FISIP UNS Tahun 2004. Juga ada, Surat Kabar dan Berita Kriminalitas (Studi Perbandingan Analisa Isi SKH Fajar dan Pedoman Rakyat Ujung Pandang Dalam Menyajikan Berita Kriminal Periode 1 Mei – 31 Juli 1999) yang dikeluarkan oleh UNS tahun 2000.
Plagiarisme Kolektif
Lebih memprihatinkan lagi, tak mampu memplagiasi sendiri, ada oknum mahasiswa yang mempergunakan jasa orang lain untuk membuatkan skripsi mereka. “TESIS SKRIPSI, PR, Ptk, Olda?-RapiCpt-2Bl.Rhs=OK.Jitu:5863817” (A58695)- 2. Sederet kalimat barusan jelas tertera di surat kabar harian Solo Pos terbitan Minggu (25/3) pada rubrik Cesspleng. Bagi masyarakat awam, itu sudah menjadi rahasia umum. Sebuah solusi sekaligus pelacuran intelektual yang tak malu-malu lagi mengungkapkan jati dirinya. “Biasa, mbak. Itu pasti biro skripsi, tempat orang nggandake skripsi,” tutur Erma Suryani, pegawai Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kota Surakarta bagian Tata Usaha, Senin (5/2).
VISI menyempatkan menelpon nomor yang tertera di iklan baris tersebut, Senin (26/3). Seorang lelaki yang mengaku bernama Ari menjawab dari ujung telepon. Suaranya ramah dan menjelaskan dengan detil setiap pertanyaan yang VISI ajukan. Adapun harga pengerjaan skripsi untuk Fakultas Ekonomi (FE) dan FISIP, Ari mematok bersih Rp 1,7 juta. Pembayaran dilakukan dua tahap. Pertama, ketika membuat judul. “Sebagai tanda ikatan, 50 persen biaya harus dibayar di muka,” ujar Ari yang mengaku lulusan S1 Manajemen dan S2 Manajemen Pemasaran Universitas Padjajaran (UNPAD). Kedua, ketika penyerahan bendel skripsi dari Bab I – Bab V. “Untuk revisi tidak ada biaya lagi,” tambahnya.
Beralamat di Jetis Rt. 2 Rw. 3 Kadipiro Solo, usaha Ari yang dilakukan sendiri itu sudah menelurkan 300-an tesis. “Kalau untuk skripsi sudah gak kehitung,” jelas Ari. Menurut penuturannya, ia sudah pernah melayani para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, termasuk UNS, Universitas Atmajaya, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia bangga menyebutkan bila keunggulannya adalah metode yang ia terapkan bagi pasiennya ketika menghadap dosen pembimbing skripsi.
“Saya jamin kerahasiaan klien. Mbak bisa telepon dulu untuk bikin janji. Jadi, bukan saya yang menentukan,” tutur pria yang sudah beristri dan mempunyai satu anak ini. Ari menjanjikan mampu menyelesaikan skripsi pesanan paling lama 2 bulan. Ia bahkan menerima masukan literatur yang diajukan oleh pasien untuk mengantisipasi kecurigaan dosen pembimbing skripsi.
Investigasi lain, VISI lakukan di rental komputer Q_No yang berada di sekitar kampus Universitas Tunas Pembangunan (UTP). Tepatnya di daerah Jl. Bibis, depan SMPN 7 Surakarta. VISI yang kala itu tengah merental komputer, Sabtu (3/3), tak sengaja menyaksikan langsung transaksi antara salah seorang ‘pasien’ skripsi dan pemilik rental. Berpura-pura tertarik melakukan hal yang sama, pemilik rental yang terdiri dari dua orang laki-laki itu pun dengan senang menjelaskan.
Proses di Q_No, awalnya, pasien diwajibkan membeli formulir seharga Rp 50.000,- untuk menunjukkan keseriusan dalam memakai jasa mereka. Lalu untuk biaya pembuatan skripsi sampai maju pendadaran kurang lebih Rp 800 ribu. Pada pasca pendadaran atau revisi skripsi, pasien masih dikenakan biaya untuk mengganti kertas dan tinta, meski dihargai relatif murah. “Cuma sebesar 500 rupiah per lembar,” ujar salah satu mas si pemilik rental yang mengaku sudah menikah itu.
Di kawasan Pasar Sriwedari selain menjual skripsi, bahkan ada yang sekalian membuka biro jasa pembuatan skripsi. Tawaran itu meluncur dari seorang perempuan berperawakan agak gemuk di salah satu kios di Pasar Sriwedari kepada VISI, Rabu (21/3). Namanya Yun, lulusan FE UNS tahun 1995. Ia mengaku punya 8 orang yang membantu usahanya, bahkan salah satunya adalah Pak Wahid, dosen Fakultas Teknik UNS. Jaringan ini merupakan relasi antarteman yang ironisnya berasal dari lulusan perguruan tinggi ternama, seperti UGM dan UNS.
Usaha yang dimulai Yun sejak tahun 2002 itu, mematok harga 1 – 2 juta rupiah per skripsi. “Kalau untuk UNS, selain Psikologi dan Sastra Indonesia harganya 800 ribu sampai 1,5 juta. Kalau Psikologi dan Sastra Indonesia harganya 1 sampai 2 juta,” ujar Yun sambil menyerahkan kartu nama milik salah satu rekan seprofesinya, Khoirul Anam. Kios Wahid Computer, milik Anam yang beralamat di Jl. Kebangkitan Nasional No. 72 Kios Blk. Sriwedari Solo itu menyediakan skripsi, makalah, dan karya tulis. “Langsung ke sana saja mbak, kalau memang ingin pesan,” ujar Yun yang tidak takut usahanya akan digerebek aparat. “Kenapa harus takut? Wong kapolda dan pemkot saja pernah minta dibuatin skripsi ke sini, kok,” Yun berapologi.
Dari keterangan Yun, tahun 2006/2007 ini untuk Fakultas Hukum (FH) UNS saja, ia sudah menyelesaikan 20 skripsi pesanan. Pemesan yang datang kepadanya memang berasal dari beragam universitas, seperti UNS, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), bahkan ada yang dari Semarang dan Jakarta. Ketika ditanya kenapa tidak mencari pekerjaan lain, Yun hanya tersenyum. “Kerja kayak gini tuh enak, mbak. Dianggep hobi. Bisa sambil tidur, ngerjakke bisa malem,” ujarnya.
Di lain pihak, Widodo yang mengaku banyak memiliki teman yang berprofesi sebagai pembuat skripsi, yakin bahwa mereka yang terjun ke profesi itu bukan karena pintar mengerjakan skripsi, tapi benar-benar karena alasan ekonomi. “Cukup punya koleksi skripsi juga bisa! Aku pernah masuk ke server komputer temenku, skripsi dari mahasiswa UNS itu banyak banget kok! Lha wong 20 giga penuh untuk skripsi saja,” ujar Widodo.
Kambing Hitam yang Original
Banyak pihak menyayangkan ramainya pos-pos plagiarisme itu, baik secara mandiri maupun kolektif. Pemeo “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada kesempatan, tapi juga karena ada niat pelakunya. Jadi waspadalah!” patut dicamkan.
Tugas perpustakaan adalah menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi. Masalah mahasiswa kemudian memplagiasi skripsi yang ia fotokopi, selayaknya kembali kepada mahasiswa yang bersangkutan dalam menghindarkan diri dari hal itu. Lalu pada pos pasar skripsi, kasus dasarnya sama seperti di perpustakaan. “Selama karya ilmiah itu tidak menyebutkan sumber, artinya itu adalah murni pendapatnya,” ujar Drs. Marsusi, MS, Dekan Fakultas MIPA UNS, Selasa (6/2).
Untuk keilegalan biro jasa skripsi sesungguhnya nyata karena tidak ada izin khusus bagi jenis biro jasa seperti itu. “Memang belum ada peraturan yang mengatur tentang Surat Izin Usaha bagi biro jasa skripsi. Pemkot tidak berwenang untuk menegur, yang lebih berwenang adalah DIKTI,” ujar Totok Amanto, Koordinator Unit Pelayanan Terpadu Pemkot Surakarta, Senin (5/2).
Ketika VISI menyampaikan pernyataan Pemkot di atas, Prof. Drs. Haris Mudjiman, MA, Ph.D, pengamat pendidikan Solo sekaligus Direktur Program Pascasarjana UNS menjawab, “Seandainya Pemkot mendalami UU Sistem Pendidikan, di sana sudah ada cantolan-cantolan untuk melakukan tindakan tegas. Meski memang masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah yang direkomendasi oleh DIKTI agar segala penyimpangan dapat segera ditindak.”
Namun Haris juga menambahkan, bahwa hingga kini DIKTI masih mengenyampingkan persoalan tentang plagiarisme skripsi. “Kualitas pendidikan kita memang masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dan saat ini, DIKTI masih ramai-ramainya mengurusi stratifikasi guru dan dosen. Jadi, untuk soal skripsi ini, tampaknya nanti-nanti dulu,” ungkap Haris, Rabu (7/2).
Kasus plagiarisme skripsi biasanya memang hanya berhenti pada pencabutan gelar kesarjanaan pelaku. Tidak ada penghargaan yang cukup tinggi bagi para mahasiswa yang berhasil menyusun skripsinya dengan baik. “Kalau ingin dapat royalti, skripsi anda dijadikan buku saja. Kampus jelas tidak sanggup bila ingin mendaftarkan semua skripsi agar dilindungi Hak Ciptanya,” tutur Drs. Djoko Sutanto, M.Si, Kepala Lembaga Pengembangan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNSA, Senin (19/2).
Sedangkan Widodo memberikan solusi secara individual untuk mengatasi hal tersebut, “Kalau peraturan kita seperti UU Hak Cipta dan HaKI belum mampu, ciptakanlah kesadaran untuk tidak menggunakan biro jasa seperti itu. Nanti kalau semuanya tidak pakai jasa pembuatan skripsi itu, mereka akan mati sendiri.” ***
Lebih memprihatinkan lagi, tak mampu memplagiasi sendiri, ada oknum mahasiswa yang mempergunakan jasa orang lain untuk membuatkan skripsi mereka. “TESIS SKRIPSI, PR, Ptk, Olda?-RapiCpt-2Bl.Rhs=OK.Jitu:5863817” (A58695)- 2. Sederet kalimat barusan jelas tertera di surat kabar harian Solo Pos terbitan Minggu (25/3) pada rubrik Cesspleng. Bagi masyarakat awam, itu sudah menjadi rahasia umum. Sebuah solusi sekaligus pelacuran intelektual yang tak malu-malu lagi mengungkapkan jati dirinya. “Biasa, mbak. Itu pasti biro skripsi, tempat orang nggandake skripsi,” tutur Erma Suryani, pegawai Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kota Surakarta bagian Tata Usaha, Senin (5/2).
VISI menyempatkan menelpon nomor yang tertera di iklan baris tersebut, Senin (26/3). Seorang lelaki yang mengaku bernama Ari menjawab dari ujung telepon. Suaranya ramah dan menjelaskan dengan detil setiap pertanyaan yang VISI ajukan. Adapun harga pengerjaan skripsi untuk Fakultas Ekonomi (FE) dan FISIP, Ari mematok bersih Rp 1,7 juta. Pembayaran dilakukan dua tahap. Pertama, ketika membuat judul. “Sebagai tanda ikatan, 50 persen biaya harus dibayar di muka,” ujar Ari yang mengaku lulusan S1 Manajemen dan S2 Manajemen Pemasaran Universitas Padjajaran (UNPAD). Kedua, ketika penyerahan bendel skripsi dari Bab I – Bab V. “Untuk revisi tidak ada biaya lagi,” tambahnya.
Beralamat di Jetis Rt. 2 Rw. 3 Kadipiro Solo, usaha Ari yang dilakukan sendiri itu sudah menelurkan 300-an tesis. “Kalau untuk skripsi sudah gak kehitung,” jelas Ari. Menurut penuturannya, ia sudah pernah melayani para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, termasuk UNS, Universitas Atmajaya, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia bangga menyebutkan bila keunggulannya adalah metode yang ia terapkan bagi pasiennya ketika menghadap dosen pembimbing skripsi.
“Saya jamin kerahasiaan klien. Mbak bisa telepon dulu untuk bikin janji. Jadi, bukan saya yang menentukan,” tutur pria yang sudah beristri dan mempunyai satu anak ini. Ari menjanjikan mampu menyelesaikan skripsi pesanan paling lama 2 bulan. Ia bahkan menerima masukan literatur yang diajukan oleh pasien untuk mengantisipasi kecurigaan dosen pembimbing skripsi.
Investigasi lain, VISI lakukan di rental komputer Q_No yang berada di sekitar kampus Universitas Tunas Pembangunan (UTP). Tepatnya di daerah Jl. Bibis, depan SMPN 7 Surakarta. VISI yang kala itu tengah merental komputer, Sabtu (3/3), tak sengaja menyaksikan langsung transaksi antara salah seorang ‘pasien’ skripsi dan pemilik rental. Berpura-pura tertarik melakukan hal yang sama, pemilik rental yang terdiri dari dua orang laki-laki itu pun dengan senang menjelaskan.
Proses di Q_No, awalnya, pasien diwajibkan membeli formulir seharga Rp 50.000,- untuk menunjukkan keseriusan dalam memakai jasa mereka. Lalu untuk biaya pembuatan skripsi sampai maju pendadaran kurang lebih Rp 800 ribu. Pada pasca pendadaran atau revisi skripsi, pasien masih dikenakan biaya untuk mengganti kertas dan tinta, meski dihargai relatif murah. “Cuma sebesar 500 rupiah per lembar,” ujar salah satu mas si pemilik rental yang mengaku sudah menikah itu.
Di kawasan Pasar Sriwedari selain menjual skripsi, bahkan ada yang sekalian membuka biro jasa pembuatan skripsi. Tawaran itu meluncur dari seorang perempuan berperawakan agak gemuk di salah satu kios di Pasar Sriwedari kepada VISI, Rabu (21/3). Namanya Yun, lulusan FE UNS tahun 1995. Ia mengaku punya 8 orang yang membantu usahanya, bahkan salah satunya adalah Pak Wahid, dosen Fakultas Teknik UNS. Jaringan ini merupakan relasi antarteman yang ironisnya berasal dari lulusan perguruan tinggi ternama, seperti UGM dan UNS.
Usaha yang dimulai Yun sejak tahun 2002 itu, mematok harga 1 – 2 juta rupiah per skripsi. “Kalau untuk UNS, selain Psikologi dan Sastra Indonesia harganya 800 ribu sampai 1,5 juta. Kalau Psikologi dan Sastra Indonesia harganya 1 sampai 2 juta,” ujar Yun sambil menyerahkan kartu nama milik salah satu rekan seprofesinya, Khoirul Anam. Kios Wahid Computer, milik Anam yang beralamat di Jl. Kebangkitan Nasional No. 72 Kios Blk. Sriwedari Solo itu menyediakan skripsi, makalah, dan karya tulis. “Langsung ke sana saja mbak, kalau memang ingin pesan,” ujar Yun yang tidak takut usahanya akan digerebek aparat. “Kenapa harus takut? Wong kapolda dan pemkot saja pernah minta dibuatin skripsi ke sini, kok,” Yun berapologi.
Dari keterangan Yun, tahun 2006/2007 ini untuk Fakultas Hukum (FH) UNS saja, ia sudah menyelesaikan 20 skripsi pesanan. Pemesan yang datang kepadanya memang berasal dari beragam universitas, seperti UNS, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), bahkan ada yang dari Semarang dan Jakarta. Ketika ditanya kenapa tidak mencari pekerjaan lain, Yun hanya tersenyum. “Kerja kayak gini tuh enak, mbak. Dianggep hobi. Bisa sambil tidur, ngerjakke bisa malem,” ujarnya.
Di lain pihak, Widodo yang mengaku banyak memiliki teman yang berprofesi sebagai pembuat skripsi, yakin bahwa mereka yang terjun ke profesi itu bukan karena pintar mengerjakan skripsi, tapi benar-benar karena alasan ekonomi. “Cukup punya koleksi skripsi juga bisa! Aku pernah masuk ke server komputer temenku, skripsi dari mahasiswa UNS itu banyak banget kok! Lha wong 20 giga penuh untuk skripsi saja,” ujar Widodo.
Kambing Hitam yang Original
Banyak pihak menyayangkan ramainya pos-pos plagiarisme itu, baik secara mandiri maupun kolektif. Pemeo “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada kesempatan, tapi juga karena ada niat pelakunya. Jadi waspadalah!” patut dicamkan.
Tugas perpustakaan adalah menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi. Masalah mahasiswa kemudian memplagiasi skripsi yang ia fotokopi, selayaknya kembali kepada mahasiswa yang bersangkutan dalam menghindarkan diri dari hal itu. Lalu pada pos pasar skripsi, kasus dasarnya sama seperti di perpustakaan. “Selama karya ilmiah itu tidak menyebutkan sumber, artinya itu adalah murni pendapatnya,” ujar Drs. Marsusi, MS, Dekan Fakultas MIPA UNS, Selasa (6/2).
Untuk keilegalan biro jasa skripsi sesungguhnya nyata karena tidak ada izin khusus bagi jenis biro jasa seperti itu. “Memang belum ada peraturan yang mengatur tentang Surat Izin Usaha bagi biro jasa skripsi. Pemkot tidak berwenang untuk menegur, yang lebih berwenang adalah DIKTI,” ujar Totok Amanto, Koordinator Unit Pelayanan Terpadu Pemkot Surakarta, Senin (5/2).
Ketika VISI menyampaikan pernyataan Pemkot di atas, Prof. Drs. Haris Mudjiman, MA, Ph.D, pengamat pendidikan Solo sekaligus Direktur Program Pascasarjana UNS menjawab, “Seandainya Pemkot mendalami UU Sistem Pendidikan, di sana sudah ada cantolan-cantolan untuk melakukan tindakan tegas. Meski memang masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah yang direkomendasi oleh DIKTI agar segala penyimpangan dapat segera ditindak.”
Namun Haris juga menambahkan, bahwa hingga kini DIKTI masih mengenyampingkan persoalan tentang plagiarisme skripsi. “Kualitas pendidikan kita memang masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dan saat ini, DIKTI masih ramai-ramainya mengurusi stratifikasi guru dan dosen. Jadi, untuk soal skripsi ini, tampaknya nanti-nanti dulu,” ungkap Haris, Rabu (7/2).
Kasus plagiarisme skripsi biasanya memang hanya berhenti pada pencabutan gelar kesarjanaan pelaku. Tidak ada penghargaan yang cukup tinggi bagi para mahasiswa yang berhasil menyusun skripsinya dengan baik. “Kalau ingin dapat royalti, skripsi anda dijadikan buku saja. Kampus jelas tidak sanggup bila ingin mendaftarkan semua skripsi agar dilindungi Hak Ciptanya,” tutur Drs. Djoko Sutanto, M.Si, Kepala Lembaga Pengembangan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNSA, Senin (19/2).
Sedangkan Widodo memberikan solusi secara individual untuk mengatasi hal tersebut, “Kalau peraturan kita seperti UU Hak Cipta dan HaKI belum mampu, ciptakanlah kesadaran untuk tidak menggunakan biro jasa seperti itu. Nanti kalau semuanya tidak pakai jasa pembuatan skripsi itu, mereka akan mati sendiri.” ***
(Note: Artikel yang sudah diediting sudah diterbitkan dalam Majalah VISI Edisi 25 Tahun 2007 di rubrik Laporan Utama dengan judul "Originalitas Skripsi yang Dijual Murah")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar