BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang penduduknya berjumlah 220 juta orang, 565 suka bangsa, 17.508 kepulauan, dan luas wilayah 5.800.000 km2, serta dengan letak yang strategis di antara negara-negara di dunia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Baik dari segi suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Kondisi sosial masyarakat Indonesia itu pula yang cenderung mempermudah munculnya disentegrasi nasional. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya dapat diarahkan untuk mewujudkan terciptanya integrasi nasional.
B. Masalah
Bagaimana peran komunikasi antar budaya dalam integrasi nasional?
C. Tujuan
Untuk mengetahui peran komunikasi antar budaya dalam integrasi nasional.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang penduduknya berjumlah 220 juta orang, 565 suka bangsa, 17.508 kepulauan, dan luas wilayah 5.800.000 km2, serta dengan letak yang strategis di antara negara-negara di dunia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Baik dari segi suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Kondisi sosial masyarakat Indonesia itu pula yang cenderung mempermudah munculnya disentegrasi nasional. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya dapat diarahkan untuk mewujudkan terciptanya integrasi nasional.
B. Masalah
Bagaimana peran komunikasi antar budaya dalam integrasi nasional?
C. Tujuan
Untuk mengetahui peran komunikasi antar budaya dalam integrasi nasional.
PEMBAHASAN
A. Komunikasi Antar Budaya
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188).
Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189).
Komunikasi antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
B. Hubungan Timbal Balik dan Tak Terpisahkan Antara Komunikasi dan Kebudayaan
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi oleh Sarbaugh (1979:2) dengan pendapatnya bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikaasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, menurut Serbaugh, apabila disadari bahwa:
Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu.
Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi.
Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA di dalam Komunikasi Antar Budaya (2002), menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.”
Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat:
Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi.
Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Integrasi Nasional
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu :
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.
4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam terwujudnya integrasi nasional, yakni dapat dilakukan dengan :
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dan sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.
D. Masalah Budaya Komunikasi Nasional dan Global
Dengan masuknya Indonesia pada era penduniaan (gobalisasi), maka tidak ada satu pun aspek kehidupan bangsa yang tidak terpengaruh, termasuk sistem informasi dan komunikasi yang ada. Pertanyaan yang timbul ialah bagaimana kita mengembangkan budaya komunikasi nasional ditengah-tengahnya derasnya pengaruh nilai-nilai komunikasi modern, seperti horisontal (tidak top down), dialogis demokratis, egaliter dan lain sebagainya. Di sisi lain kita juga menyadari berbagai “keterbatasan” yang ada pada masyarakat, baik keterbatasan karena rendahnya tingkat pendidikan, maupun karena faktor-faktor budaya yang ada. Terlebih saat pluralisme bangsa ini pun masih rawan akan terjadinya disentegrasi nasional. Maka, disadari bahwa keberlangsungan budaya komunikasi modern tersebut (sampai batas tertentu) memerlukan “kesiapan” masyarakat, baik yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pendidikan maupun kesiapan mental. Di sinilah, peran komunikasi antar budaya harus benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian persoalannya adalah bukan masalah setuju atau tidak setujunya kita terhadap berbagai nilai budaya tersebut, namun bagaimana menyiapkan masyarakat agar kondusif bagi diterimanya berbagai nilai budaya komunikasi modern.
Dalam rangka menyiapkan masyarakat tersebut, pendidikan sebagai wahana pembudayaan sebagaimana dikemukakan diatas memegang peranan penting. Oleh karena pengertian pendidikan juga meliputi pendidikan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, maka diperlukan juga upaya-upaya nyata untuk itu di kedua wahana pendidikan tersebut, baik melalui proses pembiasaan, peneladanan, maupun pelembagaan. Persoalan lain yang perlu diantisipasi lagi adalah yang menyangkut formulasi “budaya komunikasi nasional” dihadapkan pada “budaya komunikasi global”, yang salah satunya mengandung tata nilai budaya modern di atas. Dengan ungkapan lain, kita haruslah dapat mengembangkan budaya komunikasi nasional yang berdasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa, termasuk nilai dasar Pancasila dan UUD 1945, di tengah pergaulan dunia dengan budaya komunikasi globalnya.
PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo. Jakarta
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Mulyana. Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 1989. Komunikasi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya. Bandung.
A. Komunikasi Antar Budaya
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188).
Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189).
Komunikasi antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
B. Hubungan Timbal Balik dan Tak Terpisahkan Antara Komunikasi dan Kebudayaan
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi oleh Sarbaugh (1979:2) dengan pendapatnya bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikaasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, menurut Serbaugh, apabila disadari bahwa:
Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu.
Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi.
Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA di dalam Komunikasi Antar Budaya (2002), menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.”
Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat:
Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi.
Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Integrasi Nasional
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu :
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.
4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam terwujudnya integrasi nasional, yakni dapat dilakukan dengan :
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dan sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.
D. Masalah Budaya Komunikasi Nasional dan Global
Dengan masuknya Indonesia pada era penduniaan (gobalisasi), maka tidak ada satu pun aspek kehidupan bangsa yang tidak terpengaruh, termasuk sistem informasi dan komunikasi yang ada. Pertanyaan yang timbul ialah bagaimana kita mengembangkan budaya komunikasi nasional ditengah-tengahnya derasnya pengaruh nilai-nilai komunikasi modern, seperti horisontal (tidak top down), dialogis demokratis, egaliter dan lain sebagainya. Di sisi lain kita juga menyadari berbagai “keterbatasan” yang ada pada masyarakat, baik keterbatasan karena rendahnya tingkat pendidikan, maupun karena faktor-faktor budaya yang ada. Terlebih saat pluralisme bangsa ini pun masih rawan akan terjadinya disentegrasi nasional. Maka, disadari bahwa keberlangsungan budaya komunikasi modern tersebut (sampai batas tertentu) memerlukan “kesiapan” masyarakat, baik yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pendidikan maupun kesiapan mental. Di sinilah, peran komunikasi antar budaya harus benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian persoalannya adalah bukan masalah setuju atau tidak setujunya kita terhadap berbagai nilai budaya tersebut, namun bagaimana menyiapkan masyarakat agar kondusif bagi diterimanya berbagai nilai budaya komunikasi modern.
Dalam rangka menyiapkan masyarakat tersebut, pendidikan sebagai wahana pembudayaan sebagaimana dikemukakan diatas memegang peranan penting. Oleh karena pengertian pendidikan juga meliputi pendidikan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, maka diperlukan juga upaya-upaya nyata untuk itu di kedua wahana pendidikan tersebut, baik melalui proses pembiasaan, peneladanan, maupun pelembagaan. Persoalan lain yang perlu diantisipasi lagi adalah yang menyangkut formulasi “budaya komunikasi nasional” dihadapkan pada “budaya komunikasi global”, yang salah satunya mengandung tata nilai budaya modern di atas. Dengan ungkapan lain, kita haruslah dapat mengembangkan budaya komunikasi nasional yang berdasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa, termasuk nilai dasar Pancasila dan UUD 1945, di tengah pergaulan dunia dengan budaya komunikasi globalnya.
PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo. Jakarta
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Mulyana. Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 1989. Komunikasi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya. Bandung.
(Tugas Mata Kuliah Komunikasi Antar Budaya, S1 Ilmu Komunikasi UNS, Tahun 2006)
3 komentar:
salam kenal deh.. bagus artikel menambah wawasan budaya kita kunjungi balik dong web budya kita
mantap bnt nuii mbkkk???
sangat2 membantu wawasan saya>>
hehehe>>
boleh dunkzzz ajarin kode2 nye nampilkan slide sebgus ini>>>
seperti persons nyaa???
ehhehe
waylima: salam kenal jg yaaa... makasih utk komentarnya & siap bkunjung balik ke web budayanya...
hamka scout: makasih hamka. :) kode slide apa maksudnya? mohon dperjelas... mungkin bisa mbantu klo ud mnangkap maksudnya.
Posting Komentar