Kamis, Desember 04, 2008

Saat UU No. 32 Tahun 2004 Tak Hanya Harapan

Ada berjuta harapan indah saat Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disusun. Harapan terindah adalah terciptanya desentralisasi dan otonomi daerah yang menyeimbangkan antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, lokal dan masyarakat. Namun meski telah tiga tahun ditetapkan, realitas di lapangan masih memunculkan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan tidak mendukung harapan itu tercipta. Dicatat oleh Rudy S. Pontoh[1], bahwa sebelum SBY-JK terpilih dan diangkat menjadi Presiden dan Wapres Republik Indonesia 2004-2009, pada acara “Dialog Penajaman Visi, Misi dan Program Capres-Cawapres” yang diselenggarakan oleh KPU di Hotel Hilton, Jakarta, Selasa 14 September 2004, telah berjanji tentang keberlanjutan Otonomi Daerah. Tiga janji yang mereka jual, yaitu: (1) Menata reformasi birokrasi propinsi dan kota, (2) Penataan ulang efektifitas dan kewenangan di tiap tingkat pemerintahan, dan (3) Mekanisme pemekaran terhadap kabupaten/kota yang dilandasi dengan prinsip-prinsip yang jelas.
Ketiga janji tersebut, mungkin sedikit banyak telah dijalankan. Namun tak dapat dipungkiri bila jalan yang dilakukan tidak seindah harapannya. Memang peningkatan reformasi birokrasi yang lebih baik telah diawali dengan kedinamisan politik, khususnya pada seleksi kepemimpinan lokal melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, baik pada level pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota. Meski masih banyak titik kelemahan dalam mekanisme pilkada langsung berdasarkan UU itu, terlebih ketika realitas politik lokal tetap dihadapkan pada kenyataan untuk mengimplementasikannya karena telah diresmikan sebagai sebuah kebijakan publik. Dikatakan oleh Teguh Yowono[2], bahwa sikap-sikap politik yang tidak profesional dapat menutup peluang kemunculan pemimpin-pemimpin lokal yang potensial di luar kader partai politik, dan hal ini merupakan kelemahan dasar UU No. 32/2004. Bagaimana tidak, asas modernisme partai terus dianggap tidak realistik dengan perkembangan yang terjadi karena penguatan masyarakat sipil, hal ini tentunya bisa menghambat mekanisme eksklusif yang bisa dimainkan oleh partai politik pada tingkat lokal.
Maka meski pelaksanaan otonomi daerah terlihat sederhana, nyatanya mengandung pengertian yang cukup rumit. Menurut E. Koswara[3], didalam pelaksanaan otonomi daerah tersimpul berbagai makna pendemokrasian, meliputi arti pendewasaan politik rakyat daerah, pemberdayaan masyarakat, serta mensejahterakan rakyat yang berkeadilan. Tak pelak tuntutan pemerataan dan keadilan yang sering dilancarkan, baik menyangkut bidang ekonomi maupun politik pada akhirnya akan selalu menjadi ‘relatif’ dan ‘dilematis’ karena hal itu tergantung pada tinjauan perspektif yang berbeda. Misal, pemerataan pembangunan ekonomi dari perspektif nasional telah dipandang cukup merata, tetapi daerah justru menganggap hasil sumber-sumber kekayaan daerah yang ditarik ke pusat tidak sepadan dengan hasil yang dikembalikan kepada daerah. Juga di bidang politik yang bila dari perspektif pusat, pengaturan tentang jabatan-jabatan politik di daerah sudah dianggap cukup longgar, namun kontradiksi dengan daerah menganggap intervensi pusat terlalu dalam sehingga menghambat pelaksanaan otonomi daerah dan pengembangan demokrasi. Perbedaan perspektif ini bila semakin tajam dapat mengarah pada kecemburuan daerah. Akibatnya timbul tuntutan atau gugatan daerah, terutama setelah beralihnya pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Orde Reformasi, dan bila ini terus berkepanjangan tidak mustahil akan menjurus pada disintegrasi bangsa.
Sejak 33 tahun yang lalu atau sejak UU No. 5/1974 ditetapkan sebagai realisasi pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa", secara empirik penerapan UU tersebut dinilai gagal. Budaya birokrasi kaku pada masa lalu menggambarkan bahwa pemerintahan daerah hanya dijadikan sebagai alat retorika daripada untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah secara operasional. Kekeliruan yang sangat mendasar ialah menjadikan ‘daerah otonom’ sekaligus sebagai ‘daerah administrasi’ (fused model) yang seharusnya posisi ‘daerah otonom’ terpisah dari ‘daerah administrasi’ (split model) dan menjadikan daerah otonom bertingkat, yang secara operasional mendudukan Daerah Tingkat II menjadi ‘bawahan’ Daerah Tingkat I.
Beberapa contoh prospek UU No. 23/2004 turut terlihat pada dampak pemberlakuan UU tersebut bagi masyarakat banyak. Di beberapa tempat ada berbagai keuntungan yang diperoleh dengan diberlakukannya otonomi daerah. Seperti Wonosobo, Jawa Tengah, yang masyarakat lokal dan LSM-nya telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayannya dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka. Namun di wilayah lain, otonomi daerah malah semakin memperburuk keadaan. Di Kalimantan Timur[4], bupati dikabarkan telah mengeluarkan ratusan Hak/Izin/HPH konsensi penebangan kayu bagi 100 perusahaan skala kecil senilai Rp 50 juta dan Rp 100 juta. Para raja kayu dengan HPH yang lebih besar dan sudah habis sekarang mulai memanipulasi dan memanfaatkan penduduk lokal untuk membentuk koperasi guna mendapatkan HPH penebangan kayu. Barangkali masyarakat lokal pun mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pembayaran yang mereka terima. Tetapi dalam jangka panjang mereka dirugikan dengan rusaknya sumber daya keamanan sosial mereka. Laporan serupa tentang masalah ini muncul juga dari berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita[5], otonomi daerah seharusnya berprinsip untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, memperbaiki derajat kesejahteraan dan kelayakan hidup rakyat, di mana pemerintahan dan pembangunan dikelola dalam proses-proses yang demokratis. Dalam proses-proses pengelolaan daerah seperti itu, pemerintah daerah memiliki ruang bebas untuk berkreatifitas membuat kebijakan yang dituangkan dalam perda, dengan melibatkan stakeholders yang ada di daerahnya. Muara dari semua kebijakan dan perda yang dibuat oleh pemerintah daerah itu, berkembang dan bergantung pada kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan sebagai tujuan akhir. Maka UU No. 32/2004 sebagai kebijakan dan strategi baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah selayaknya mampu menyamakan persepsi setiap penyelenggaranya dalam menentukan langkah-langkah kongkrit guna membentuk jati diri bangsa terutama dalam rangka mengatasi krisis multidimensi dewasa ini. Sekaligus juga dibutuhkan profesionalisme yang mampu mengartikulasi aspirasi terwujudnya kesatuan masyarakat kuat, cerdas dan berkualitas. Adapun cara yang paling mendasar adalah dengan mewujudkan peningkatan komunikasi dan interaksi positif antara supra struktur dan infrastruktur politik, memasyarakatkan dan meningkatkan pemahaman konstitusional sebagai perkembangan paradigma otonomi daerah dalam koridor NKRI, serta menciptakan iklim yang kondusif, harmonis, dinamis, dan konstruktif dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan gotong-royong.***
[1] Rudy S. Pontoh, 2004, Janji-Janii & Komitmen SBY-JK: Menabur Kata, Menuai Bukti, Yogyakarta: Media Pressindo, Halaman 68-69.
[2] Teguh Yuwono, Rabu, 22 Desember 2004, Prospek di Era SBY, http://www.suaramerdeka.com.
[3] E. Koswara, 2007, Upaya Reformasi Perundang-Undangan Tentang Otonomi Daerah: Telaah Tentang Prinsip-Prinsip Yang termuat Dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah, http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6kolom_2.html
[4] ---, Down to Earth Nr. 51, November 2001, Otonomi Daerah: Masa Depan yang Suram, http://dte.gn.apc.org/51idc.htm
[5] Ginandjar Kartasasmita, 1 Februari 2006, Otonomi dan Layanan Publik, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/ 122006

(Sumber: Artikel Nita yang dibuat untuk diikutsertakan dalam Lomba Artikel HIMAGARA FISIP UNS Tahun 2007 dengan tema “Meneropong Prospek UU No. 32. Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”. Akhirnya, menang Juara 1)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...