Selasa, Desember 09, 2008

Menilai Etika Komunikasi pada Setting Film “Wag the Dog”

Sinopsis
Ketika minggu-minggu kampanye pemilu presiden hampir berakhir, Presiden Amerika Serikat terlibat pada sebuah skandal seks, itulah waktu yang tepat bagi penasehat Gedung Putih, RONNIE BREAN (Robert de Niro) untuk menutupinya. Dalam waktu yang singkat, Ronnie bekerja sama dengan seorang produser Hollywood berdarah dingin, STANLEY MOSS (Dustin Hoffman) dalam keputusasaan mereka berusaha agar perhatian warga negara Amerika Serikat teralih dari skandal seks sang presiden.
Mereka memutuskan untuk menyedot sorotan media ke sebuah berita perang yang direkayasa. Para artis “palsu” dipanggil untuk melakukan adegan selayaknya situasi sedang perang dan bintang rock pun dilibatkan untuk meluncurkan lagu hit mengenai kebebasan. Isu “perang” secara cepat menjadi perhatian dan warga negara Amerika Serikat yang sebelumnya ricuh dengan skandal seks sang presiden, kini malah mendukung tindakan presidennya atas perang palsu tersebut.
Masalah datang ketika Senator WILLIAM TAYLOR (Craig T. Nelson) mulai menangkap keganjilan dari isu perang tersebut. Hal itu pun membuat Ronnie dan Stanley harus berpikir cepat untuk mengubah taktiknya dengan yang lebih nekat. Saat itu moral telah pergi entah kemana, diburu oleh perselisihan ego dan ketegangan yang semakin dekat dengan waktu pemilihan. Akhirnya, mereka berhasil melakukan tipu daya yang lebih kreatif dan licik tersebut yang mengakibatkan melonjaknya suara bagi sang presiden. Hingga pada detik terakhir, rekayasa tersebut tetap terpeti es dengan keironisan dibunuhnya sang produser oleh si penasehat Gedung Putih.

Pilihan Setting
Saat “Old Shoes” menjadi trend. Padahal tidak ada yang namanya perang, terlebih lagi prajurit yang tertawan yang kemudian dianalisir sebagai mahluk suci yang berjasa dalam menegakkan citra bangsa Amerika Serikat dalam melawan terorisme. Diceritakan bahwa rencana pertama Ronnie dan Stanley menjadi berantakan akibat dipecundangi oleh pihak CIA, sehingga mereka pun melanjutkan dengan rencana kedua yang lebih menyimpan kebohongan yang luar biasa, yakni memunculkan sosok pahlawan perang “palsu”.
Sosok pahlawan tersebut diumumkan sebagai “Old Shoes”. Lucunya, tokoh “Old Shoes” sendiri belum diketahui siapa dan apa pekerjaannya. Hingga diketahui faktanya, bila sang “Old Shoes” adalah narapidana kasus pemerkosaan. Dukungan warga negara yang meminta dipulangkannya “Old Shoes” menjadi berkah sendiri bagi perancang muslihat, Ronnie dan Stanley, saat “Old Shoes” tidak sengaja mati tertembak. Kebohongan pun menjadi sempurna karena “Old Shoes” mati yang kemudian diperlakukan seolah-olah memang sebagai pahlahwan bangsa.

Penilaian Etika Komunikasi
Sejak awal etika komunikasi/kehumasan yang digambarkan dalam film “Wag the Dog” ini sama sekali tidak ada. Padahal dalam dunia kehumasan, kredibilitas itu mutlak penting. Terlebih pada sosok seorang presiden, ia tidak hanya harus dipercaya oleh rakyatnya, tapi juga harus senantiasa mengemukakan segala sesuatu seperti apa adanya, sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Kebohongan dalam bentuk apapun tetap akan menjadi sisi gelap dalam kehidupan. Meski peristiwa “Old Shoes” ternyata mampu mendongkrak suara sang presiden dan berhasil membawanya kembali ke kursi kekuasaannya.
Peristiwa “Old Shoes” sangat dekat dengan propaganda dan memang memaksakan ide-ide tertentu —sosial dan politik—kepada masyarakat. Ia pun tidak menunjuk pada perbaikan citra atau image sang presiden, namun jauh ke manipulasi calon pemilih untuk kembali memberikan suaranya. Padahal dalam dunia humas, kita bertanggung jawab untuk menyajikan informasi faktual secara akurat, tanpa pengurangan atau penambahan. Para penerima informasi itulah yang kemudian berhak menentukan sikap atau memberi komentar terhadapnya.
Oleh karena itu, seandainya saja pihak majikan (dalam film “Wag the Dog” adalah Presiden AS) meminta para praktisi humas (dalam film “Wag the Dog” adalah tim kampanyenya) untuk melakukan sesuatu yang tidak etis, mereka harus mau dan mampu menolaknya karena hal itu jelas bertentangan dengan kode etik profesional yang harus mereka anut dan junjung tinggi. Meski dalam buku Public Relations – Frank Jefkins (Hal.165-Erlangga-2002) pun dikatakan “Kode etik IPRA memang punya permen karet untuk dikunyah, tapi tidak memiliki gigi untuk mengunyahnya.” Artinya, selama pelanggaran etika tersebut tidak diketahui oleh publik meskipun sudah ada kode etiknya, tetap saja akan cenderung diabaikan karena sampai sejauh ini belum ada tindak pelanggaran yang dikenai sanksi nyata.
Kesimpulannya, dari film “Wag the Dog” yang ditonton sebagai salah satu cara pemahaman mahasiswa D-3 Public Relations tentang etika kehumasan, dapat diasumsikan bahwa sangat sulit bagi praktisi PR dalam bertindak “benar” pada tugasnya. “Benar” disini, bila dikaitkan antara moral dan kepentingan pihak yang memberikan salary bagi praktisi PR tersebut. Nilai sebuah keidealisan yang seharusnya dapat dijunjung tinggi menjadi hilang seketika saat perusahaan pun tengah menghadapi peristiwa genting (manajemen krisis) yang harus segera diselamatkan meski dengan cara apapun.
Ada tujuh hal yang seharusnya dapat diterapkan dalam etika komunikasi/kehumasan dalam peristiwa “Old Shoes” film “Wag the Dog”, yakni :
1) Integritas Komunikasi; Tim kampanye harus senantiasa berusaha keras untuk tidak menerbitkan suatu informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
2) Kerahasiaan Informasi; Setiap anggota wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diterima atau dipercayakan kepadanya selama melangsungkan kegiatan-kegiatan profesionalnya, sehingga ia tidak sepantasnya menerbitkan, menyebarluaskan, atau membuka informasi tersebut, kecuali atas perintah pengadilan.
3) Kerugian terhadap Anggota Lain; Masing-masing anggota tidak diperkenankan melakukan suatu hal yang dapat mencemarkan atau merugikan reputasi profesional dari anggota lainnya.
4) Reputasi Profesi; Tidak melakukan sesuatu hal yang semata-mata atas dasar kemauannya sendiri sehingga akan merusak reputasi Asosiasi atau nama baik dari praktek penyelenggaraan komunikasi-komunikasi yang bersifat internal di suatu perusahaan/organisasi (Gedung Putih).
5) Syarat-syarat Legal; Media komunikasi yang dimiliki sudah sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku.
6) Tindak Pelanggaran
7) Penegakan Kode Etik

(Tugas Mata Kuliah Etika Kehumasan, D3 Public Relations UGM, Tahun 2004)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...