Jumat, Desember 05, 2008

Cinta di SMU Plus N 17 Palembang

“HH… Aku pulang, Jok!”
“Ni, nggak ikutan makan model? Ini urusan perut, ntar kamu nyesel.”
Aku menggeleng, “Bagian aku buat kamu aja. Aku lagi nggak nafsu…”
Bejok memandangku kesal. Sejak pertama, dia memang tidak suka bila aku masih memikirkan lelaki itu. Aku terlalu bermimpi katanya. Aku tidak cocok dengan dia, dengan temanku yang paling istimewa sejak di SMP, Saphoe. Dia menyuruhku untuk mencari yang lain. “Kan banyak Ni yang suka sama kamu. Kenapa sih masih nungguin dia?” ujarnya suatu ketika.
Tapi, aku cuma bisa menggeleng lemah. Aku sudah pernah mencoba tapi sia-sia. Aku masih memikirkannya. Dia begitu berarti dalam hidupku. Tak ada yang kan mengerti akan perasaan ini.
Aku urung untuk pulang, aku menuju kelas perwalianku, sekedar duduk, sekedar mendiamkan diri sejenak.
Aku terus memandangi tumpukan buku-buku di ruang Tata Negara itu. Sesekali memandang keluar kelas. Sepi, sebagian besar anak-anak sudah pulang. Aku masih menyendiri. Aku agak syok dengan kejadian ketika jam istirahat tadi.

* * *

Semula, aku akan ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Tapi gara-gara kebelet, jadinya aku ke WC terlebih dahulu. Satu, dua, kulangkahkan kakiku perlahan. Sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan, aku melihatnya.
Di bawah kerindangan pohon beringin sekolah, kulihat tiga orang adik kelas I putri menghampiri sekelompok anak-anak putra kelas III IPA yang biasa nongkrong di sana. Klise, di antara ketiganya ada yang terlihat malu-malu, sedang yang lain terlihat genit memberikan semangat. Sok jadi Mak Comblang yang profesional.
Semula ingin kuanggap angin lalu. Namun, aku terkesima saat melihat cowok yang didorong-dorong untuk menerima sebuah amplop berwarna pink itu. Dia, dia… “Saphoe”.
“Jangan terima! Jangan terima!” teriak hatiku saat melihat Saphoe bimbang, memandang ragu untuk mengambil surat itu.
Sampai akhirnya, hatiku hancur berkeping dan tak bersisa saat menatapnya dengan menahan ribuan rasa kecewa dan cemburu yang membara.
Yah, Saphoe mengambil surat itu yang serta merta diikuti sorakan seluruh anak-anak.
Muak, muak, aku sungguh muak. Tapi, itu kan artinya aku sudah terbebas dari janjiku… Sayang, saat itu aku masih sangat terkejut. Buku yang kupegang, tiba-tiba jatuh dan menimpa sebuah gelas yang tergeletak begitu saja di ujung lorong WC sekolahku.
“Praaang!”
Aku terkejut, tak cuma aku, semua mata itu pun menatapku. Aku ingin berlari, namun tak bisa. Aku harus membuang pecahan gelas itu terlebih dahulu.
“Oh..!” Jeritku tertahan. Telunjukku berdarah, tergores pecahan kaca saat aku memungutnya. Bergegas aku menyelesaikannya, lalu beranjak meninggalkan tempat itu. Tapi sebelumnya, refleks aku melihat ke arah Saphoe berdiri.
Ia semula tidak melihatku, namun saat itu secara refleks ia pun melihatku. Aku diam, lalu mencoba tersenyum manis padanya. Dia kaku, tak berekspresi. Lalu, aku pun berlalu dari situ.

* * *

“Hei, ngelamun aja. Belum pulang, Ni?” Ozzy menegurku tiba-tiba, ia masuk ke dalam kelas.
“Masih ada keperluan sedikit,” ujarku sambil membuang muka, menghapus air mata yang tak kusadari mengalir begitu saja.
“Kamu kenapa, Ni?”
“Ah, nggak apa-apa, kok. Ehm, kayaknya keperluanku udah selesai. Zy, aku pulang duluan ya..?” Segera, setelah memanggul tas punggung yang terasa berat, aku keluar dari kelas itu.
Tapi, tangan itu tiba-tiba menarik tanganku.
“Kalau kuantar, bagaimana?” tawarnya.
“Oh, nggak usah. Terima kasih, Zy.”
“Ni, kamu kenapa sih. Masih marah ya?”
“Nggak, kok!” jawabku datar.
“Aku cuma ingin mengantar kamu. Nggak ada salahnya kan, Ni? Dulu kamu juga sering kuantar kan!”
“Bukankah aku selalu bilang, kalau di sekolah, kita harus jaga sikap, Zy. Keadaannya udah nggak sama kayak dulu,” ujarku.
“Nggak sama gimana, Ni. Kita kan udah jadi temen sekarang. Kok kamu jahat gitu sih. Kamu nggak ikhlas maafin aku ya?” kejarnya.
Aku tersentak, mendengar Ozzy tiba-tiba ngomong seperti itu. Aku tak percaya, dia masih berani menyalahkanku.
“Sebenarnya, apa sih mau kamu?” tanyaku.
“Yah, aku ingin kita kayak dulu lagi. Bisa cerita-cerita, maen, saling curhat…”
“Stop, kamu mimpi, Zy!” teriakku, lalu melangkahkan kaki keluar. Ozzy, tiba-tiba menarik tanganku lagi.
“Maksud kamu apa, Ni?”
“Kamu keterlaluan!”
“Keterlaluan bagaimana, sih. Jelasin dong!”
Aku diam, menatap Ozzy sebentar, lalu menggelengkan kepala. “Kamu seharusnya bersyukur sudah kumaafkan dan masih kuanggap ada di dunia ini.”
Ozzy tersentak mendengarku berbicara seperti itu.
“Kamu masih ingat, siapa sih yang sudah menyebabkan adanya keadaan ini? Bukankah kamu yang menginginkan aku untuk pergi. Kamu membuang aku, bukan untuk kali pertama tapi sudah untuk yang kedua kalinya. Kamu pikir aku apa Zy? Apa? Aku masih punya harga diri,” lanjutku.
“Tapi, Ni… bukankah kita sudah sepakat untuk melupakan masa lalu yang buruk, cukup mengingat yang baiknya saja…”
“Huh, tentu saja bagi kamu mudah, karena semua masa lalu yang buruk itu kamulah penyebabnya. Apa sih yang mesti dibanggakan dari hubungan kita. Dua kali, Zy. Dua kali… kamu mutusin aku gara-gara orang ketiga. Kamu pikir aku cewek nggak laku apa. Dasar playboy brengsek! Udah, kalau kamu nggak nerima perlakuanku sekarang. Silahkan benci aku dan nggak usah temuin aku lagi!”
Aku bergegas melangkahkan kaki keluar. Hampir, hampir aku mencapai pintu. Ozzy lagi-lagi menarik tanganku. Tidak berhenti sampai di situ, tiba-tiba ia memelukku. Erat.
Aku meronta.
“Aku sangat mencintaimu, Ni. Aku kehilangan kamu. Maafin aku…”
“Lepasin aku, Zy! Kamu gila ya?”
“Aku tahu, kamu pasti masih mencintaiku juga kan?”
“Lepasin, brengsek!” teriakku. Tapi, pelukan itu makin erat.
“Aku tahu, kamu setia padaku seperti dulu. Kamu belum punya penggantiku karena kamu masih menantikan aku kembali kan?”
Aku tertawa. Ini lucu.
“Kenapa kamu tertawa? Aku benar kan?”
“Ha.. ha.. ha.. Kamu nggak cuma brengsek tapi juga bodoh. Lepasin aku, dan aku akan jawab, apakah aku masih menantikan kamu, apa tidak!”
Perlahan Ozzy melepaskan pelukannya. Aku merasa lega sekali, meski tubuhku masih terasa sakit karenanya. Lalu, aku mulai mengatakan padanya semua apa yang ada dalam isi hatiku.
“Zy, aku sudah mengubur semua masa laluku tentang kamu. Sedikit pun, aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padamu. Jika ingat betapa setianya aku menjaga cinta kita dulu, sungguh aku semakin jijik kenapa aku pernah merasakannya. Asal kamu tahu, Zy.. aku tidak punya pacar sekarang karena aku sudah berjanji dengan seseorang. Aku berjanji untuk tidak pacaran sampai aku tahu bila dia sudah punya pacar. Atau mungkin, sampai dia… dia… menjadi pacarku.”
Ozzy sangat terkejut mendengar ucapanku. Ada kecewa yang bergelayut di matanya. Sedikit banyak aku merasa puas dengan keadaan kami sekarang, memang sudah terbalik jika dibandingkan dulu.
“Udah puas? Dan sekarang, jangan halangi aku untuk pulang!”
“Marni! Tolong katakan siapa dia?”
Aku menatapnya kasihan.
“Untuk apa kamu tahu, sekarang kita tak punya kepentingan untuk saling mengurusi. Kita sudah berjalan di alur kita masing-masing. Kalau pun aku kini kembali ke terminal tempat aku memulai perjalanan cinta ini, itu karena aku tahu, di sanalah tempat aku berlindung. Dia menghargai kehadiranku meski ia selalu diam. Aku tidak akan bisa melupakannya, sekalipun ia tak pernah menjadi pacarku.”

* * * * *

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...